Konferensi mengenai Timur Tengah yang dihadiri 70 negara di Paris yang mengukuhkan solusi dua negara tidak lain untuk kepentingan legalisasi penjajah Yahudi. Sebagaimana dilaporkan BBC berbahasa Indonesia online (16/1), Konferensi mengenai Timur Tengah di Ibukota Prancis, Paris, ditutup dengan penegasan kembali komitmen masyarakat internasional terhadap solusi dua negara antara Israel dan Palestina.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan di akhir pertemuan pada Minggu (15/01), negara-negara peserta menyatakan bahwa hanya solusi dua negara yang dapat menyelesaikan konflik antara Palestina dan Israel.
Ditambahkan, kedua pihak tidak boleh mengambil langkah sepihak yang dapat mengancam perundingan damai pada masa mendatang. Kedua pihak, disebutkan dalam komunike, hendaknya menghindari langkah-langkah yang “membahayakan hasil perundingan tentang masalah status final, termasuk antara lain (status) Jerusalem, perbatasan, keamanan, pengungsi”.
Konferensi selama satu hari ini diselenggarakan tanpa partisipasi Israel maupun Palestina. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut konferensi internasional itu sia-sia. Wartawan BBC di Paris, Hugh Schofield, melaporkan pertemuan digelar di tengah ketidakpastian kebijakan Timur Tengah yang akan ditempuh oleh pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah presiden terpilih Donald Trump.
Trump sebelumnya mengatakan akan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Jerusalem, suatu langkah yang sangat kontroversial dan berbeda sekali dengan kebijakan Amerika selama puluhan tahun belakangan, bahwa status kota itu harus diputuskan lewat perundingan langsung.
Hasil konferensi ini serta merta ditolak rakyat Palestina. Khaled Abdul-Majid, Sekretaris Koalisi Faksi-faksi Perlawanan Palestina menyebut Konferensi Paris sebagai rencana untuk ”pengakuan terhadap rezim Zionis dan kelanjutan pembangunan distrik-distrik Zionis serta pencabutan hak kembalinya para pengungsi Palestina”. Ia menekankan kelanjutan perjuangan dan Intifada sebagai satu-satunya opsi untuk mengakhiri penjajahan Israel di Palestina.
Pasalnya, solusi dua negara tidak lain adalah upaya melegalkan keberadaan penjajah Yahudi itu di Tanah Palestina. Hizbut Tahrir Palestina, melalui Maktab I’lamy Palestina, pada pers rilisnya tanggal 18 Rabi’ ats-Tsani 1438 H (16/1/2017 M), menegaskan seluruh peserta yang hadir pada konferensi di Paris ini telah melakukan konspirasi jahat terhadap Palestina.
Ditegaskan Hizbut Tahrir Palestina, Tanah Palestina adalah tanah negeri Islam yang diduduki Yahudi dengan mendirikan entitas teroris di negeri Islam itu, mengusir penduduknya dengan bantuan Prancis yang mensponsori konferensi ini, dan dengan bantuan Inggris melalui Deklrasi Balfaur. Amerika Serikat lalu mengokohkan entitas penjajah ini dengan bantuan dana, persenjataan dan resolusi internasional yang tidak adil.
Ditambahkan, yang dibutuhkan oleh Palestina adalah pembebasan dari penjajahan. Solusi-solusi yang diklaim perdamaian melalui negoisasi justru akan mencegah pembebasan Palestina dan sebaliknya melegitimasi penjajahan entitas teroris Yahudi yang menduduki Palestina.
Hizbut Tahrir Palestina juga mengecam kehadiran para penguasa negeri Islam termasuk Arab yang hadir berpartisipasi dalam konferensi itu termasuk yang menyambut hasil konferensi sebagai pengkhianat terhadap bumi Palestina yang diberkahi. Tindakan mereka merupakan bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab utama mereka, yaitu mengirimkan pasukan-pasukan tentara untuk membebaskan Palestina.
Partisipasi Indonesa
Indonesia, sebagai salah satu peserta konferensi, juga menyambut solusi dua negara. Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia A.M. Fachir yang hadir dalam konferensi ini menyatakan, solusi dua negara adalah jalan keluar dari penyelesaian konflik Israel dan Palestina. Hal itu disampaikan Fachir bersamaan dengan saat konferensi Paris. “Konflik Palestina-Israel telah berlangsung terlalu lama. Sudah saatnya masyarakat internasional mengambil tindakan nyata untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah melalui solusi dua negara,” ucap Fachir, seperti tertuang dalam siaran pers Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Fachir kemudian menekankan perdamaian di Timur Tengah, khususnya kemerdekaan Palestina, hanya dapat dicapai apabila seluruh isu utama, seperti pemukiman ilegal, pengungsi Palestina, status kota Yerusalem, status perbatasan dan masalah keamanan serta air dapat diselesaikan. Oleh karena itu, lanjut Fachir, Pemerintah RI menyambut baik pengesahan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2334 tentang Pemukiman Ilegal Israel di Palestina pada 23 Desember 2016. “Indonesia akan senantiasa membantu masyarakat Palestina melalui dukungan politik, kemanusiaan dan peningkatan kapasitas. Posisi tersebut adalah mandat Konstitusi Indonesia dan program prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi,” ucapnya.
Selama ini, Indonesia selalu menegaskan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Presiden Jokowi dalam pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Jakarta, Selasa (21/4/2015, menyatakan Palestina adalah satu-satunya negara yang masih dalam penjajahan dan hal ini harus diakhiri. Presiden RI ini pun menegaskan akan ada tindak lanjut dari pernyataannya.
Berkaca dari pengalaman sebelumnya, sering dukungan terhadap kemerdekaan Palestina hanya sekadar retorika politik kosong, tanpa ada bukti nyata. Sekadar pencitraan untuk mencari simpati umat yang memang sangat berharap penjajahan Palestina bisa dihentikan. Retorika mendukung Palestina dari penguasa negeri Islam baik itu dari Turki, Iran, Saudi, Indonesia dan negara-negara lainnya, cuma basa-basi. Buktinya, saat Gaza dibombardir oleh entitas penjajah Yahudi, para penguasa negeri Islam itu tidak melakukan tindakan apapun untuk mencegah pembantaian itu, misalnya dengan mengirim pasukan perang. Padahal hanya dengan pasukan peranglah kebiadaban entitas penjajah Zionis itu bisa dihentikan.
Selama ini penguasa negeri Islam, untuk menunjukkan kepeduliannya, cukup hanya membantu dengan mengirim bantuan obat-obatan, makanan, atau dana bagi pembangunan gedung-gedung yang dihancurkan. Tak pernah ada upaya konkret menghentikan serangan pelaku kejahatan, yakni Israel. Setelah para korban ditolong, gedung-gedung dibangun, penjajah Yahudi kembali membombardir, tanpa ada yang mencegah.
Hakikat kemerdekaan Palestina juga harus dipertanyakan. Kalau dengan tetap membiarkan keberadaan penjajah Yahudi, maka kemerdekaan itu hanyalah semu. Sebab, keberadaan penjajah Yahudilah yang menjadi pangkal krisis dan malapetaka di Palestina.
Solusi Dua Negara
Solusi dua negara merupakan bagian dari langkah usulan Amerika terhadap problem Palestina, yaitu adanya dua negara merdeka di Palestina (two states solution) dengan batasan negara berdasarkan garis batas 1967, yang berarti mengakui keberadaan entitas penjajah Yahudi. Usulan Amerika ini pernah ditegaskan pada tahun 2009 oleh George Mitchell (utusan khusus AS untuk Timur Tengah) usai bertemu Presiden Mesir Husni Mubarak saat itu. Mitchell menyatakan, ‘Telah menjadi kebijakan AS bahwa solusi bagi konflik Israel-Palestina adalah solusi dua negara’ (Kompas, 21/04/2009).
Presiden AS Barack Obama sendiri menegaskan untuk pertama kalinya, pada Kamis (19/5/2011), bahwa perbatasan antara Israel dan negara mendatang Palestina harus berdasarkan atas garis batas 1967 dan diselesaikan dengan pertukaran wilayah.
“Two states solution” berarti merupakan pengakuan terhadap keberadaan penjajah Israel di Palestina. Solusi ini bukan hanya merupakan pengkhianatan terhadap umat Islam, tetapi juga pengkhianatan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Sebabnya, Tanah Palestina adalah milik umat Islam; merupakan tanah kharajiyah yang dibebaskan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Tidak ada satu pihak pun, baik Hamas ataupun Fatah, ataupun penguasa Arab yang berhak memberikannya kepada penjajah.
Persoalan Palestina akan selesai kalau penjajah Yahudi dilenyapkan dari Bumi Palestina. Hal itu tidak akan bisa ditempuh lewat jalan diplomasi ala Barat atau lewat PBB. Sebabnya, solusi yang mereka tawarkan tetap dalam kerangka mempertahankan keberadaan penjajah Yahudi.
Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan Palestina adalah tindakan kongkret perang jihad fi sabilillah. Inilah jalan satu-satunya untuk melenyapkan Yahudi. Namun, hal ini tidak cukup hanya menyandarkan pada Hamas yang telah menunjukkan keberanian dan kepahlawanan luar biasa mempertahankan Palestina selama ini. Jihad fi sabilillah ini harus dilakukan dengan mengirim pasukan perang dari tentara-tentara reguler dunia Islam dari Mesir, Saudi, Turki, Pakistan, Indonesia dan lain-lain.
Di sinilah letak pentingnya umat Islam memiliki Khilafah yang akan menyatukan dan memobilisasi tentara-tentara di negeri Islam membebaskan Palestina dan melenyapkan keberadaan penjajah Yahudi di bumi Palestina. Tidak terbayangkan, bagaimana menyatukan para tentara negeri Islam, memobilisi mereka tanpa ada Khilafah. [Farid Wadjdi]