HTI

Fokus (Al Waie)

Mandulnya Peran Militer Di Dunia Islam


Militer bagi suatu negara memiliki peran yang sangat penting dan strategis. Di antaranya adalah untuk menangkal setiap bentuk ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah serta keselamatan rakyat dan negara. Dalam sejarahnya yang panjang, Khilafah Islamiyah pun telah menjadikan militer sebagai salah satu penopang utama aktivitas dakwah Islam ke seluruh dunia. Karena itu sangat terkenal pada masa itu bahwa politik luar negeri negara Khilafah adalah dakwah dan jihad.Namun, kondisi umat Islam sejak keruntuhan Khilafah terus mengalami degradasi hingga saat ini. Umat ini terpuruk hampir di segala bidang, termasuk di bidang keamanan. Sangat tragis, militer yang dulu diarahkan untuk menjaga keamanan dan keselamatan umat Islam, kini justru digunakan oleh rezim sekular di negeri-negeri Islam untuk menangkap dan membunuh umat Islam.
 
Militer di Dunia Islam

Seharusnya keberadaan militer di Dunia Islam dapat melindungi nasib umat Islam dari berbagai bahaya yang mengancam mereka. Sayang, kondisinya saat ini justru bertolak belakang dengan hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal berikut:

Pertama, militer gagal berperan membela negeri-negeri Islam yang tertindas seperti di Suriah, Palestina, Rohingya, dan sebagainya. Misalnya untuk kasus penghancuran Aleppo, observatorium Suriah untuk HAM mengatakan lebih dari 50.000 orang dari sekitar seperempat juta penduduk kota itu telah mengungsi akibat serangan terhadap wilayah Aleppo Timur. Duta Besar Prancis untuk PBB, Francois Delattre, mengatakan bahwa Aleppo menjadi salah satu pembantaian terbesar terhadap penduduk sipil sejak Perang Dunia II. Warga Aleppo Timur juga telah melaporkan penggunaan amunisi bom cluster, yakni bom yang berisi ratusan bom-bom kecil yang meledak dan terbakar di wilayah yang luas sehingga membakar seluruh lingkungan yang dibom.1

Semua kejahatan tersebut terjadi di hadapan para penguasa negeri Islam yang berbatasan dengan Suriah seperti Yordania, Arab Saudi dan Turki. Negeri-negeri tersebut memiliki militer dan persenjataan yang kuat, namun tidak digunakan untuk membela umat Islam yang dizalimi di Aleppo. Sebagaimana yang diberitakan oleh islammemo.cc (30/8/2016) bahwa Vladimir Putin dan John Kerry telah sepakat untuk melancarkan operasi bersama antara Amerika Serikat dan Rusia melawan faksi-faksi pejuang revolusi di Aleppo Utara. Ini menjadi bukti bahwa pembantaian umat Islam di Aleppo adalah hasil operasi militer AS dan Rusia. Sangat memilukan karena pembantaian itu terjadi di hadapan para penguasa negeri Islam yang hanya meletakkan militer dan senjatanya di barak mereka.

Hal serupa juga menimpa etnis Muslim Rohingnya yang digempur oleh militer Myanmar menggunakan helikopter, meriam dan tank. Daerah yang menjadi sasaran adalah Myaw Taung, Dargyizar, Yekhechaung Kwasone, Pwinpyu Chaung, Thu Oo La, Longdun, Kyin Chaung, dan Wabaek di utara Maungdaw yang memang dihuni oleh komunitas Muslim di sana. Warga yang mencoba melarikan diri dihadang dan ditembak di sawah-sawah dan sungai. Bahkan sebagian korban dikurung dan dibakar hidup-hidup di kampung Yekhechaung Kwasone. Organisasi Nasional Arakan Rohingya memperkirakan sejak ketegangan meletus di Rakhine 9 Oktober lalu, korban di pihak Rohingya mencapai 350 orang meninggal dan 300 orang lainnya cedera. Arab News (30/10/2016) melaporkan bahwa setidaknya delapan perempuan dari desa U Shey Kya, Rakhine, telah ditangkap dan diperkosa oleh militer Myanmar di bawah todongan senjata.

Para penguasa negeri Islam hanya mengutuk peristiwa pembantaian di Rohingnya tersebut. Padahal semestinya mereka menggerakkan militernya untuk mencegah dan menghukum militer Myanmar yang telah melakukan kezaliman secara sadis terhadap etnis Muslim Rohingnya.

Kedua, militer gagal menjaga kesatuan negeri-negeri Islam seperti kasus disintegrasi Sudan dan Timor Timur. Sebagaimana diketahui, Sudan Selatan akhirnya terpisah dari Sudan lewat referendum pada Januari 2011 lalu. Ini merupakan keberhasilan negara Barat penjajah merealisasikan rencananya untuk memecah-belah Sudan. Perselisihan antarsuku di wilayah Sudan itu menyebabkan perang saudara yang berkepanjangan. Lalu Amerika Serikat menengahi melalui Perjanjian Damai Naivasha pada tahun 2005, yang berpuncak pada berakhirnya perang saudara antara Pemberontak Sudan Selatan (SPLA) dan Pemerintah Sudan.

Persyaratan dalam Perjanjian Naivasha tersebut di antaranya adalah memberikan otonomi bagi wilayah Sudan Selatan. Amerika secara aktif membantu dan mendukung pemberontak minoritas Kristen di Sudan Selatan dengan menyediakan senjata. The Sunday Times (17/11/1996) pernah mengungkapkan bahwa pemerintahan Clinton telah meluncurkan kampanye untuk membuat ketidakstabilan di Sudan. Lebih dari 20 miliar dolar peralatan militer dikirim oleh Amerika ke Eritrea, Etiopia, Uganda, termasuk pula ke tentara Pemberontak Sudan Selatan (SPLA).

Kasus yang menimpa Sudan ini telah terlebih dulu menimpa Indonesia yang menyebabkan Timor Timur terlepas. Bermula dari kelompok anti-integrasi yang dipimpin oleh Fretilin yang terus melakukan perjuangan bersenjata dan diplomasi baik di dalam maupun luar negeri, akhirnya Indonesia menerima usulan PBB untuk melakukan referendum mengenai Timor Timur. Referendum yang dilaksanakan pada 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET (United Nations Mission for East Timor) itu menetapkan pemenangnya adalah kelompok anti-integrasi.

Peristiwa disintegrasi Sudan Selatan dan Timor Timur itu terjadi di hadapan militer Sudan dan Indonesia. Namun, militer tidak mampu menghalangi disintegrasi tersebut karena penjajah Barat telah memborgol para penguasa melalui berbagai perjanjian yang berujung pada referendum. Padahal jelas sekali bahwa disintegrasi tersebut akan memperlemah dan memecah belah negeri-negeri Islam.

Saat ini Indonesia juga sedang menghadapi masalah Papua yang terancam kasus disintegrasi. Sayangnya, rezim Jokowi terkesan membiarkan berbagai organisasi atau kelompok yang sering menyuarakan isu Papua merdeka. Di antaranya adalah Organisasi Papua Merdeka (OPM), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Australia West Papua Asocciation (AWPA), dan Internastional Lawyers for West Papua (ILWP) di Inggris. Sebagai contoh, meskipun telah berulang melakukan pembunuhan terhadap aparat keamanan Indonesia, OPM yang diduga keras sebagai pelakunya hanya disebut sebagai gerombolan pengacau keamanan (GBK) atau kelompok kriminal bersenjata (KKB), bukan sebagai organisasi teroris atau kelompok makar yang perlu ditumpas melalui kekuatan militer.

Ketiga, militer menjadi penjaga rezim yang zalim terhadap rakyatnya. Misalnya bisa dilihat bagaimana represifnya penguasa Mesir ketika menggerakkan militernya (central security forces) untuk melakukan kekerasan terhadap rakyatnya pada saat terjadi revolusi di Tahrir Square beberapa waktu yang lalu. Demikian juga yang terjadi di Yaman. Rezim Ali Abdullah Saleh telah menggerakkan militer elitnya yakni Pasukan Garda Republik untuk menyerang rakyatnya sendiri ketika terjadi demonstrasi pada peristiwa Arab Spring. Hal serupa juga menimpa rakyat Tunisia, Bahrain, Libia, Suriah, dan sebagainya.

Para penguasa di negeri tersebut telah memperalat militer sebagai garda terdepan untuk memusuhi rakyatnya sendiri dengan cara represif terhadap umat Islam yang berupaya menentang kebijakannya yang zalim.

Keempat, militer di negeri Islam banyak yang tunduk pada negara asing penjajah. Bukannya memerangi, penguasa di negeri Islam tersebut justru menjadikan militernya sebagai pelindung kepentingan penjajah. Misalnya penguasa Qatar telah memberikan dua tempat strategisnya, yaitu al-Udaid dan as-Sailiyah, sebagai pangkalan militer Amerika Serikat. Militer Qatar ikut menjadi penjaga pangkalan tersebut. Padahal melalui pangkalan itulah pesawat AS diterbangkan pada tahun 2003 untuk menghancurkan dan menduduki Irak. Di Arab Saudi, militer AS juga punya akses melalui pangkalan udara Sultan di Riyadh.

Di Amman, AS juga memiliki basis angkatan udara di mana sejumlah pesawat tempur B-1 ditempatkan. di UAE, AS memiliki pangkalan udara untuk mendukung logistik dengan dua pelabuhan penting untuk kapal-kapal militer AS yang besar. Di Yordan, Amerika memiliki dua pangkalan militer, yaitu al-Ruwaisyid dan Wadil Murabba’. AS juga memiliki pangkalan militer di Irak, di al-Anad Yaman, di Lemoniah Djibouti, di Afganistan, serta yang paling strategis bagi AS adalah pangkalan militernya di Incirlik Turki.

Melalui pangkalan militer itulah negara penjajah yang dikomandani AS melakukan penyerangan terhadap negeri-negeri Islam. Dari pangkalan Incirlik Turki, pesawat tempur AS dan Rusia melakukan pengeboman terhadap umat Islam di Suriah. Tanpa pangkalan tersebut sebenarnya AS akan mengalami kesulitan untuk menyerang negeri-negeri Islam. Alhasil, para penguasa dan militer yang mengijinkan keberadaan pangkalan militer AS tersebut di negerinya sebenarnya mereka telah berkhianat kepada umat Islam.

 

Potensi Kekuatan Militer di Dunia Islam

Militer di negeri-negeri Islam saat ini sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar sehingga sangat memungkinkan untuk melawan ancaman militer dari negara-negara penjajah.

Pertama: Potensi jumlah personil militer. Gabungan negeri-negeri Islam sangat berpotensi untuk menjadi suatu negara adidaya, yakni Khilafah Islamiyah, dengan kekuatan militer yang sangat besar. Berdasarkan data The Military Balance yang dipublikasikan oleh The International Institute for Strategic Studies (2014)2, gabungan lima negeri Islam yang terkuat militernya saja yakni Pakistan, Iran, Turki, Mesir dan Indonesia sudah memiliki jumlah militer aktif sebanyak 2.51 juta personil. Hal ini sudah melebihi jumlah militer aktif berbagai negara kuat di dunia, seperti Cina yang memiliki jumlah militer aktif sebanyak 2.33 juta, Amerika Serikat 1.49 juta dan Rusia 0.85 juta. Bahkan Israel yang saat ini masih menjajah bumi Islam Palestina hanya memiliki militer aktif sekitar 0.18 juta personil.

Apabila umat Islam berhasil membangun negara Khilafah dengan menyatukan sekitar 50 negeri Islam yang saat ini terpecah-belah, akan ada kekuatan militer terbesar di dunia. Sebagai gambaran, jika Khilafah berhasil menggabung-kan 22 negeri Islam saja yang cukup besar personil militernya, yakni Pakistan, Iran, Turki, dan seterusnya hingga Kuwait, akan diperoleh kekuatan militer yang sangat dahsyat yakni 5.18 juta militer aktif, 2.93 juta militer cadangan dan 2.61 juta paramiliter, sehingga totalnya 10.73 juta personil. Angka ini sudah melebihi kekuatan militer gabungan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yakni Cina, AS, Rusia, Inggris dan Prancis. Mereka memiliki 5.06 juta militer aktif, 3.46 juta militer cadangan, 1.30 juta paramiliter, totalnya 9.82 juta personil.

Padahal militer lima negara itulah yang telah menyebabkan berbagai malapetaka di negeri-negeri Islam, seperti di Irak, Afganistan, Suriah dan sebagainya. Mereka bisa dengan leluasa melakukan pengrusakan di negeri-negeri Islam karena para penguasa di negeri-negeri Islam tersebut tidak memerintahkan gabungan militernya untuk melawan mereka. Lebih tragis lagi, sebagian militer negeri Islam berkoalisi dengan negara penjajah dibawah komando NATO untuk menyerang negeri Islam lainnya. Itulah fakta yang terjadi di Suriah saat ini.
 

Tabel 1. Rekapitulasi Kekuatan Personil Militer
Negara Militer Aktif Militer Cadangan Paramiliter Total
China 2,333,000 510,000 660,000 3,503,000
Amerika Serikat 1,492,200 843,750 14,000 2,349,950
Rusia 845,000 2,000,000 519,000 3,364,000
Perancis 222,200 29,650 103,400 355,250
Inggris 169,150 79,100 0 248,250
India 1,325,000 1,155,000 2,288,407 4,768,407
Jerman 186,450 40,320 0 226,770
Israel 176,500 465,000 8,000 649,500
Gabungan Pakistan, Iran, Turki, Mesir, Indonesia 2,511,400 2,157,700 1,124,200 5,793,300
a. Negara Khilafah 5,183,450 2,933,000 2,610,950 10,727,400
b. Anggota Tetap DK PBB 5,061,550 3,462,500 1,296,400 9,820,450
c. Total Dunia 20,887,439 25,294,560 19,232,567 65,414,566
Sumber: Direkap dari data The Military Balance yang dipublikasikan oleh The International Institute for StrategicStudies, 2014

 
Kedua: Potensi kekuatan persenjataan. Tidak hanya personil militer yang besar, negara Khilafah tersebut juga memiliki potensi persenjataan yang cukup kuat. Bahkan beberapa negeri Islam memiliki kemampuan mengembangkan senjata nuklir. Misalnya, Pakistan yang pada tahun 1998 secara resmi melakukan uji coba nuklirnya di Chagai Hills. Iran juga telah melakukan pengembangan teknologi pengayaan uranium yang sangat penting untuk keperluan senjata nuklirnya meskipun selalu dihalangi oleh PBB. Pada 4 Februari 2006, Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency atau IAEA) secara resmi melaporkan Iran ke Dewan Keamanan PBB sehubungan dengan program nuklir tersebut. Semua itu menunjukkan bahwa Iran memang memiliki kemampuan untuk mengembangkan senjata nuklir.

Pada 2003, pemerintah Saudi Arabia menyatakan bahwa karena hubungan yang memburuk dengan Amerika Serikat, Saudi Arabia terpaksa harus mempertimbangkan pengembangan senjata nuklir. Pada Maret 2006, sebuah majalah Jerman, Cicero, melaporkan bahwa Arab Saudi sejak 2003 telah menerima bantuan dari Pakistan untuk mengembangkan rudal nuklir. Foto satelit memperlihatkan sebuah kota di bawah tanah untuk pengembangan senjata nuklir dengan roket Ghauri di Ibukota Riyadh3. Hal itu juga menunjukkan bahwa Saudi Arabia memiliki potensi untuk mengembangkan persenjataan yang berbasis pada teknologi nuklir.

 

Kesimpulan

Kemandulan militer di Dunia Islam saat ini sebenarnya lebih diakibatkan oleh kebijakan para penguasa di Dunia Islam tersebut, bukan karena potensinya yang lemah. Berdasarkan fakta di atas dapat diketahui bahwa gabungan negeri-negeri Islam memiliki potensi kekuatan militer dan persenjataan yang memungkinkan untuk menjadi militer terkuat di dunia, tentu ketika mereka disatukan dalam satu payung institusi negara Khilafah Islamiyah.

Tidak hanya potensi kekuatan personil militer dan persenjataannya, negeri-negeri Islam yang kelak akan disatukan dalam negara Khilafah Islamiyah tersebut juga menempati posisi strategis. Misalnya, benua Afrika, Timur Tengah, Laut Mediterania, Teluk Persia, Semenanjung India, Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Hormuz, dan Selat Malaka berada dalam wilayah negeri Islam. Kawasan tersebut memiliki nilai geopolitik yang sangat penting di dunia, baik sebagai rute perdagangan dan perekonomian maupun sebagai basis pertahanan dan keamanan.

Alhasil, nanti begitu Khilafah Islamiyah tegak, dengan menguasai kawasan strategis tersebut serta didukung oleh potensi militer, ekonomi, demografi, dan ideologi, maka dalam waktu singkat Khilafah Islamiyah akan menjelma menjadi negara adidaya baru di dunia. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

 

[Dr. M. Kusman Sadik; Penulis adalah Ketua Lajnah Khusus Intelektual DPP HTI]

 

Catatan Kaki

  1. http://www.hizb.org.uk/current-affairs/aleppo-the-graveyard-of-syria.
  2. https://en.wikipedia.org/wiki/list_of_countries_by_number_of_military_and_paramilitary_personnel.
  3. Saudia Arabia working on secret nuclear program with Pakistan help – report “, AFX News 2006.

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*