Menurut az-Zarqani di Manâhil al-‘Irfân, para ahli bahasa menggunakan kata al-ihkâm dalam banyak makna, tetapi meski beragam kembali ke satu makna yakni al-man’u (menghalangi). Mereka juga menggunakan at-tasyâbuh dalam apa yang menunjukkan persekutuan dalam keserupaan dan kemiripan yang pada galibnya menyebabkan kerancuan. Jadi, al-mutasyâbih itu mengandung kerancuan, artinya maknanya tidak jelas.
Al-Muhkam adalah lawan dari al-mutasyâbih, artinya jelas; tidak mengandung kerancuan.
Ayat-ayat al-Quran sebagiannya adalah al-muhkam dan sebagian lainnya al-mutasyâbih. Allah SWT berfirman:
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ…
Dialah Yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamât. Itulah pokok-pokok isi al-Quran. Yang lain (ayat-ayat) mutasyâbihât (QS Ali Imran [3]: 7).
Menurut al-Jashshash di dalam Ahkâm al-Qur’ân, al-muhkam adalah lafal yang tidak ada isytirâk (keragaman makna) di dalamnya; tidak mengandung kecuali satu makna saja bagi yang mendengarnya. Sebaliknya, al-mutasyâbih adalah lafal yang mengandung lebih dari satu makna.
Al-Mawardi, mengacu pada Imam Syafii, menjelaskan bahwa al-muhkam adalah lafal yang hanya mengandung takwil satu arah saja, sedangkan al-mutasyâbih adalah lafal yang mengandung lebih dari satu arah. Menurut asy-Syaukani di dalam Fathu al-Qadîr, al-muhkam adalah yang jelas maknanya dan tampak dalalah-nya; sedangkan al-mutasyâbih adalah yang tidak jelas maknanya atau tidak tampak dalalah-nya.
Dengan demikian, seperti yang disebutkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah (Jilid III), al-muhkam adalah lafal yang maknanya tampak jelas dan tersingkap secara sempurna dan kemungkinannya terangkat (hilang). Artinya, al-muhkam itu maknanya jelas dan hanya mengandung satu makna saja, dan tidak ada kemungkinan dua makna atau lebih. Contohnya firman Allah:Wwa ahallallâh al-bay’a wa harrama ar-ribâ (QS al-Baqarah [2]: 275); QS al-Ikhlash [112]: 1, 3; QS al-Maidah [5]: 38; dsb.
Adapun al-mutasyâbih adalah lawan dari al-muhkam, yaitu lafal yang mengandung kemungkinan lebih dari satu makna, baik dengan sisi/aspek yang setara atau tidak dengan aspek/sisi yang setara. Contoh yang dengan aspek/sisi yang setara adalah kata qurû‘ dalam QS al-Baqarah: 228. Kata qurû’ itu memiliki dua makna: haid atau suci. Contoh lain, kata al-ladzî biyadihi ‘uqdatu an-nikâh (orang yang memegang ikatan nikah) dalam QS al-Baqarah: 237. Frase tersebut bisa bermakna suami atau wali.
Contoh yang tidak dengan aspek/sisi yang setara adalah firman Allah SWT: Wa yabqâ wajhu Rabbika (QS ar-Rahman [55]: 27); min mâ ‘amilat aydînâ (QS Yasin [36]: 71). Semua itu disebut mutasyâbih karena kesamaran atau kerancuan maknanya bagi orang yang mendengar.
Tentang siapa yang mengetahui makna al-mutasyâbih, Allah SWT berfirman:
…وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا…
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka berkata, “Kami mengimani ayat-ayat yang mutasyâbihât; semuanya dari sisi Tuhan kami.” (TQS Ali Imran [3]: 7).
Apakah huruf wâwu dalam firman Allah wa ar-râsikhûna fî al-‘ilmi merupakan wâwu ‘athaf, jadi ar-râsikhûna fî al-‘ilmi di-athaf-kan ke lafal AlLâh sehingga ar-râsikhûna fî al-‘ilmi juga mengetahui takwil mutasyâbih? Ataukah ia merupakan wâwu isti’nâf dan waqaf lâzim-nya pada lafal AlLâh sehingga mereka tidak mengetahui takwilnya, dan ar-râsikhûna fî al-‘ilmi menjadi awal kalimat baru?
Syaikh Atha’ bin Khalil Abu Rasytah menjelaskan dalam Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr, bahwa dengan men-tadabburi ayat tersebut jelaslah bahwa wâwu itu merupakan wâwu ‘athaf karena dua sebab: Pertama, Jika wâwu itu wâwu isti’naf sehingga hanya Allah saja yang mengetahui makna al-mutasyâbih, itu berarti bahwa di dalam al-Quran ada ayat yang tidak bisa dipahami maknanya. Hal itu bertentangan QS Ali Imran [3]: 138 yang menyatakan bahwa al-Quran merupakan penjelasan untuk manusia. Sebab, selama ada ayat al-Quran yang tidak bisa diketahui maknanya berarti al-Quran tidak menjadi penjelasan (bayân). Jadi al-mutasyâbih itu bukan apa yang tidak diketahui maknanya atau hanya Allah saja yang mengetahui maknanya.
Kedua, Allah SWT menyatakan sifat tambahan pada ulama, yaitu ar-rûsûkh fî al-‘ilmi. Dalam bahasa Arab penyebutan sifat tambahan itu sesuai dengan hukum yang terkait. Jika wâwu tersebut wâwu isti’nâf, maka ar-râsikhûna adalah kalimat baru. Itu artinya, sifat tambahan itu berkaitan dengan “yaqûlûna amannâ bihi”. Hal itu membuat siat tambahan tersebut tidak sesuai, sebab baik ulama atau bukan bisa beriman, jadi untuk beriman itu tidak perlu sifat ar-rusûkh fî al-‘ilmi. Adapun jika merupakan wâwu ‘athaf maka sifat ar-rusûkh fî al-‘ilmi itu kembali untuk mengetahui takwil al-mutasyâbih. Ini adalah benar karena al-mutasyâbih itu memiliki lebih dari satu kemungkinan makna sehingga sulit untuk menentukan mana makna yang dimaksudkan. Untuk mengetahui takwilnya diperlukan sifat ar-rusûkh fî al-‘ilmi. Dengan begitu sifat tambahan itu sesuai untuk mengetahui takwil al-mutasyâbih. Dengan demikian, yang lebih râjih, wâwu itu merupakan wâwu ‘athaf.
Ayat tersebut sekaligus menjelaskan bahwa al-muhkâmât adalah ummu al-kitâb yakni pokoknya dan yang menjadi kembali. Artinya, makna nash yang mutasyâbih harus dibawa atau dikembalikan ke yang muhkam. Makna yang râjih dari nas mutasyâbih bisa diketahui dengan merujuk pada yang muhkam, ditambah menafsirkan nas menurut makna lafal sesuai uslûb bahasa Arab, di antaranya hakikat dan majaz; serta dari penjelasan nas-nas lainya.
Contoh, firman Allah: Wa yabqâ wajhu rabbika, maknaya harus dibawa kepada nas muhkam: laysa kamitslihi syay‘un. Jadi, tidak boleh ditafsirkan wajah secara hakiki. Namun, juga tidak boleh ditafsirkan: wajhun wa laysa ka al-wajhi (wajah tetapi tidak seperti wajah) karena itu tidak sesuai dengan makna menurut bahasa Arab. Sebabnya, makna hakiki di sini terhalang sehingga dibawa ke maknanya secara majazi. Orang Arab menggunakan kata wajhu secara majaz untuk zat orang itu sendiri. Jadi, “wa yabqâ dzâtu Rabbika” bermakna: tetap kekallah Zat Tuhanmu.
Adapun huruf-huruf hijaiyah di awal surat, maka yang lebih râjih bahwa itu merupakan nama surat. Hal itu sesuai dengan uslûb bahasa yang digunakan oleh orang Arab. Selain itu, menurut az-Zamakhsyari, huruf-huruf itu merupakan bukti kenabian Muhammad saw. Sebabnya, semua al-Quran tersusun dari kata yang tersusun dari huruf-huruf itu. Karena itu, jika kalian mampu, buatlah yang semisal. Jika kalian tidak mampu, itu adalah bukti bahwa al-Quran berasal dari Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Karena itu galibnya huruf-huruf di awal surat itu diikuti dengan penjelasan tetang al-Quran, misalnya dalam surat al-Baqarah, Yasin, Qaf, Shad, al-Jatstsiyah, dsb.
Contoh penentuan makna râjih dari mutasyâbih tentang hukum, firman Allah: “fa [a]ghsilû wujûhakum wa aydiyakum ilâ al-marâfiqi wa [i]msahû bi ru`ûsikum wa arjulakum ilâ al-ka’bayn (QS al-Maidah [5]: 6). Ada dua qirâ’ah mutawâtir, yaitu “wa arjulikum” dan “wa arjulakum”. Qirâ’ah “wa arjulikum” adalah mutasyâbih karena punya dua makna: Pertama, di-jar-kan karena berdekatan dengan manshûb secara mahal[an], artinya ‘athaf secara mahal pada ghaslu al-aydi (membasuh kedua tangan). Kedua, di-jar-kan dengan di-‘athaf-kan pada ar-ru`ûs, artinya mengusap. Adapun qirâ’ah “wa arjulakum” adalah muhkam karena hanya puya satu makna, yaitu ‘athaf pada ghaslu al-aydi. Dengan demikian makna yang râjih (kuat) adalah kembali ke yang muhkam, yaitu membasuh kedua kaki sampai mata kaki.
Contoh lain, tentang yang membatalkan wudhu pada frasa “aw lâmastum an-nisâ`a”. Di situ ada dua qirâ’ah mutawâtir, yaitu “aw lamastum” dan “aw lâmastum”. Qirâ’ah “aw lâmastum” adalah mutasyâbih karena punya lebih dari satu makna, yaitu menyentuh, senggama dan saling menyentuh. Adapun qirâ’ah “aw lamastum” adalah muhkam, hanya punya satu makna, yaitu jasysyu bi al-yad (menyentuh dengan telapak tangan) dan bukan saling menyentuh. Jadi makna yang râjih (kuat) kembali ke yang muhkam. Dengan begitu, yang membatalkan wudhu adalah menyentuh dengan telapak tangan, dan yang batal adalah yang menyentuh, sementara yang disentuh tidak batal.
Begitu pula firman Allah: Wa lâ taqrabûhunna hattâ yathhurna. Di sini ada dua qirâ’ah, yaitu yathhurna dan yaththaharna (dengan syiddah pada huruf tha’). Qirâ’ah “yaththaharna” adalah mutasyâbih karena memiliki dua makna, yakni suci dan bersuci. Adapun qirâ’ah yathhurna adalah muhkam karena hanya punya satu makna, yaitu suci. Dari sini yang lebih râjih (kuat) adalah maknanya harus dibawa ke yang muhkam. Karena itu suami boleh menggauli istrinya ketika sudah selesai haid, yaitu setelah berhenti keluar darah haid meski belum mandi junub. Ini hukumnya mubah. Adapun setelah suci dan mandi junub maka hukumnya sunnah, yakni berpahala, seperti yang dijelaskan dalam kelanjutan ayat tersebut.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]