HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

Penguasa Pengkhianat

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرْفَعُ لَهُ بِقَدْرِ غَدْرِهِ أَلاَ وَلاَ غَادِرَ أَعْظَمُ غَدْرًا مِنْ أَمِيرِ عَامَّةٍ»

Dari Abu Sa’id al-Khudzri, Rasulullah saw. bersabda, “Setiap pengkhianat diberi panji pada Hari Kiamat yang diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya daripada pemimpin masyarakat (penguasa).” (HR Muslim, Ahmad, Abu ‘Awanah dan Abu Ya’la).

 

Abdullah bin Umar ra. menuturkan: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءً يُعْرَفُ بِقَدْرِ غَدْرَتِهِ وَإِنَّ أَكْبَرَ الْغَدْرِ غَدَرُ أَمِيرِ عَامَّةٍ

Sungguh setiap orang yang berkhianat diberi liwâ’ (panji) yang diangkat sesuai kadar pengkhianatannya dan sesungguhnya pengkhianatan paling besar adalah pengkhianatan pemimpin masyarakat (penguasa) (HR Ahmad).

 

Kata ghâdir merupakan isim fâ’il dari al-ghadru. Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwâdzî menyatakan, al-ghadru adalah dhiddu al-wafâ‘ (lawan dari memenuhi) yakni al-khâ‘in li insânin ‘âhadahu aw amanahu (yang mengkhianati orang yang punya perjanjian dengannya atau yang mengamanahinya).

Mula Ali al-Qari dalam Mirqâtu al-Mafâtih Syarh Misykâtu al-Mashâbih menjelaskan bahwa al-ghâdir yakni orang yang melanggar perjanjian dan tidak memenuhi. Al-Qadhi mengatakan, al-ghadru pada asalnya adalah tidak memenuhi (tarku al-wafâ‘).

Adapun al-liwâ‘, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani, adalah ar-râyah dengan makna panji yang dibawa di dalam perang. Dengan panji itu diketahui pemimpin pasukan. Kadang panji itu dibawa amir pasukan dan kadang dibawa ke bagian terdepan pasukan.

Menurut Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, ahli bahasa mengatakan bahwa al-liwâ‘ adalah ar-râyah (panji) besar yang hanya dipegang oleh pemimpin pasukan perang atau komandan pasukan dan orang-orang mengikutinya.

Makna sabda Nabi saw, “likulli ghâdirin liwâ`un yawma al-qiyâmah” menurut Badruddin al-Ayni dalam ‘Umdatu al-Qâri, yakni sebagai tanda yang membuat dia dikenal luas oleh orang-orang. Sebabnya, posisi liwa’ dikenal sebagai tanda posisi pemimpin. Mula Ali al-Qari dalam Mirqâtu al-Mafâtih menjelaskan, itu adalah tandanya atau hasilnya atau sanksinya. Sebabnya, pengkhianatan itu merupakan skandal yang gamblang di depan mata orang-orang.

Jadi, pada Hari Kiamat, orang yang berkhianat diberi panji yang menandai dia untuk mengekspos dirinya bahwa dia berkhianat atau pengkhianat.  Ini ditegaskan dalam salah satu ungkapan pendek hadis di atas. Rasul saw. bersabda:

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُعْرَفُ بِهِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ

Untuk setiap pengkhianat ada panji pada Hari Kiamat yang dengan itu ia dikenal, dikatakan ini pengkhianatan fulan (HR Muslim).

 

Sabda Nabi saw. “yurfa’u lahu biqadri ghadrihi”, yakni ukuran panji itu panjang dan lebarnya sesuai dengan kadar pengkhianatannya dari sisi jumlah dan tatacara. Jadi, makin besar pengkhianatan pelakunya, makin besar pula panjinya. Dengan begitu orang-orang dengan mudah tahu seberapa besar pengkhianatan orang itu.

Kata al-ghadru itu bersifat umum; mencakup pengkhianatan kepada seseorang, jamaah atau kepada negara; juga mencakup apa saja yang dicakup dalam makna al-ghadru (pengkhianatan), apapun bentuknya, besar ataupun kecil.

Kemudian Nabi saw. memperingatkan “wa lâ ghâdira a’zhamu ghadran mi amîr[in] ‘âmat[in]”, yakni pengkhianat yang paling besar pengkhianatannya adalah pengkhianatan pemimpin masyarakat atau penguasa. Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan, di dalam hadis ini terdapat pernyataan keras tentang keharaman pengkhianatan, terutama oleh pemilik kekuasaan publik. Sebabnya, bahaya pengkhianatannya itu bisa menimpa banyak orang. Dikatakan pula, sebabnya karena ia tidak terpaksa untuk berkhianat karena kemampuannya untuk memenuhi, seperti dalam hadis sahih tentang besarnya kedustaan raja. Yang masyhur, di dalam hadis ini dinyatakan tentang celaan terhadap pemimpin yang berkhianat.

Al-Qadhi Iyadh menyebutkan bahwa ini adalah larangan bagi pemimpin untuk berkhianat dalam perjanjiannya kepada rakyatnya, kepada kaum kafir dan selain mereka; atau mengkhianati amanah yang ia sandang untuk rakyatnya; sementara ia sudah berkomitmen untuk melaksanakan amanah itu dan menjaga rakyatnya. Kapan saja dia mengkhianati mereka, atau tidak bermurah hati, atau tidak berlaku lembut kepada mereka, sungguh dia telah mengkhianati perjanjiannya.

Bentuk al-ghadru dari seorang pemimpin yang mengurusi masyarakat itu banyak. Seorang amir diangkat untuk mengurusi urusan rakyat dan memperhatikan kemaslahatan rakyat. Jika dia mengabaikan urusan rakyatnya berarti dia telah berkhianat kepada mereka. Seorang pemimpin juga harus mengutamakan kepentingan rakyat. Jika dia mendahulukan kepentingan dirinya, kelompoknya, kroni dan koleganya, para kapitalis, dan lainnya, dibanding kepentingan rakyat, maka itu juga bagian dari al-ghadru. Ketika penguasa menyerahkan harta milik rakyat kepada para kapitalis apalagi asing, juga menghalangi rakyat dari apa yang menjadi hak mereka, maka saat itu dia mengkhianati rakyat. Ketika penguasa mengangkat seseorang menjadi pejabat atau petugas yang mengurusi rakyat, sementara ada orang lain yang lebih layak, lebih punya kapasitas dan kapabilitas, lebih amanah, dan dia tahu itu, maka penguasa itu pun telah berkhianat seperti yang dijelaskan dalam hadis Nabi saw. Ketika penguasa atau pejabat itu korupsi, melakukan manipulasi, menerima suap, dan mengambil harta secara tidak syar’i, itu juga termasuk al-ghadru. Jika penguasa atau orang yang mengurusi urusan kaum Muslim melakukan hal itu artinya ia menipu kaum Muslim. Itu adalah kemaksiatan besar yang membuat surga diharamkan atas dirinya . Rasul saw. bersabda:

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Tidaklah seorang hamba—yang  Allah angkat untuk mengurusi urusan rakyat—mati pada hari kematiannya, sementara dia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga atas dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*