HTI

Analisis (Al Waie)

Peran Strategis Militer Dalam Pandangan Islam


Militer di negeri-negeri Islam saat ini kehilangan peran dan kekuatan nyata. Hal itu karena militer tidak menempati posisi semestinya, baik untuk menjaga kesatuan negeri, juga sebagai benteng  pertahanan  dari invasi bersenjata kaum kafir.  Bahkan tentara Islam tidak bisa berbuat banyak saat darah umat  ditumpahkan di tanah kelahiran mereka sendiri.

 

Degradasi Peran Tentara

Tentara Islam saat ini cenderung menjadi alat kekuasaan penguasa sekular untuk membangun dan memelihara kekuasaan mereka. Kehendak politik umat sering dihadang oleh kekuatan militer ketika formatnya tidak sesuai dengan keinginan penguasa. Kasus FIS di Aljazair menjadi bukti bahwa kekuatan militer di negeri itu digunakan oleh penguasa sekular untuk menopang dan mempertahankan eksistensi mereka.

Yang lebih tragis, tentara Islam digunakan oleh peguasa  sekular  untuk membunuh anak negeri sendiri. Contohnya adalah tindakan militer sporadis rezim  di Mesir saat mayoritas umat Islam tidak setuju sistem politik Mesir yang dirancang oleh kapitalis Barat . Tentara Mesir telah membunuh tidak kurang dari 2.000 (dua ribu) kaum Muslim demi untuk mempertahankan sistem sekular.

Militer di Dunia Islam juga telah digunakan Barat untuk memuluskan  program makar mereka terhadap kaum Muslim. Koalisi militer  34 negara Timur Tengah  terbukti tidak digunakan untuk membela kehormatan Islam.  Arab Saudi, sebagai penggagas koalisi, nyata-nyata mengungkap bahwa tujuan koalisi adalah untuk memberantas tindak terorisme.  Kita semua paham, perang melawan terorisme dari awal adalah program Amerika dan sekutunya untuk memerangi Islam dan kaum Muslim. Bukti lain bahwa kolasi tentara ini bukan untuk melindungi Islam  adalah ketika Aleppo dibom oleh tentara Rusia. Koalisi tentara  tersebut moncong senjatanya tidak diarahkan ke Rusia.

Selama sistem pemerintahan yang bercokol di negeri-negeri Islam adalah sistem sekular, jangan harap kekuatan militer Islam  bisa berperan untuk meindungi Islam dan kaum Muslim. Rahasinya karena militer  adalah  alat yang menjadi bagian  penjaga  sistem ideologi negara.  Selama ideologi negara sekular, ke sanalah kekuatan militer akan digunakan.   

Tembok besar yang juga menghalangi kekuatan militer Islam untuk membela Islam dan kaum Muslimin adalah ikatan nasionalisme.  Nation state (bentuk negara Nasional) menjadikan potensi dan kekuatan militer Islam menjadi pecah dan lemah.  Tidak ada komando yang bisa memimpin tentara Islam untuk membela kaum Muslim. Dengan alasan batas negara, tentara Islam di Turki berdiam diri atas kaum Muslim yang dibom  di  Aleppo. Tentara Mesir, Suriah, Libanon, Arab Saudi, Emirat Arab, Indonesia hingga Malaysia, sama sekali tidak merasa berkepentingan untuk membela saudara seiman, karena dihalangi dinding ego nasional negara masing-masing.

Dalam kooptasi sistem sekular dan sekat nasionalisme, tentara-tentara Islam juga kehilangan ruh jihad fi sabilillah. Sistem sekularlah yang mengkader tentara-tentara Muslim tersebut. Ruh jihad, berperang dalam membela agama Allah, telah sirna dalam dada mereka. Sungguh sangat berbeda dengan tentara-tentara Islam pada zaman Rasulullah dan para sahahat pada masa Kekhilafahan.

Padahal Jihad adalah puncak amal dalam Islam. Tidak ada amal lain yang bisa menandingi jihad.  Saat Nabi saw. ditanya perihal amal yang bisa menandingi jihad, beliau menjawab: “Aku tidak menemukannya.”

Abu Hurairah berkata, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang (pahalanya) sebanding dengan jihad fi sabilillah?”  Beliau menjawab: “Kalian tidak akan sanggup menjalankannya”.  Mereka (para sahabat) mengulangi pertanyan tersebut dua atau tiga kali, dan jawaban beliau atas setiap pertanyaan itu sama, “Kalian tidak akan sanggup mengerjakannya”. Kemudian beliau bersabda:

مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَفْتُرُ مِنْ صَلَاةٍ وَلَا صِيَامٍ حَتَّى يَرْجِعَ

Perumpamaan mujahid fi sabilillah adalah seperti orang yang berpuasa yang mendirikan shalat lagi lama—yang  tidak pernah berhenti dari puasa dan shalatnya—hingga ia pulang (HR Mutaffaq ‘alayh).

 

Pudarnya semangat jihad pada pasukan militer Islam tersebut melalui proses yang panjang dan tersistematisasi. Semua bermula dari sistem pendidikan sekular yang semakin menjauhkan aktivitas  kehidupan dengan agama (akidah dan syariah). Orientasi pendidikan kapitalis sekular senantiasa pada materi. Proses pendidikan lepas dari dasar akidah Islam. Akibatnya, nilai-nilai perjuangan dan pembelaan terhadap Islam pun menjadi kering. Orientasi pendidikan   selalu disudutpandangi materi (uang). Bahkan cara-cara dalam menempuh jenjang pendidikan pun tidak jarang melalui pelicin uang, termasuk dalam karir pendidikan militer. Tujuan meniti karir  pendidikan militer dalam sistem sekarang bukan untuk membela Islam, namun lebih berorientasi materi dan kedudukan. Masuk  sekolah di militer pun sudah menjadi rahasia umum sangat sulit ditembus tanpa uang. Sudah sedemikian lumrah juga lulusan-lulusan akademi militer yang bergengsi,  posisi penting dalam jabatan militer  dinilai dengan materi. Proses karir pendidikan militer seperti ini semakin mengosongkan tentara terbaik Muslim dari ruh jihad.

 

Peran Mulia Tentara dalam Pandangan Islam

Negara Khilafah tercatat dalam sejarah memiliki keagungan dan mampu bertahan lebih dari 1000  tahun; terbentang dari Maroko sampai Merauke; menyatukan negeri-negeri Islam dalam satu komando kepemimpinan.  Kekuasaan yang begitu luas tersebut tidak bisa bertahan lama tanpa kekuatan militer. Militer merupakan bagian dari struktur negara Khilafah (jihâz ad-dawlah) yang  memiliki  fungsi strategisnya.

Fungsi pertama: Menjaga kesatuan negeri-negeri Islam. Sistem Khilafah Islamiyah adalah sistem kesatuan. Militer Islam berfungsi menjaga keutuhan kesatuan negeri-negeri tersebut. Kaum Muslim di seluruh dunia wajib dalam satu negara dan tidak boleh ada kecuali satu Khalifah.  Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan, bahwa dia mendengar Rasulullah saw. bersabda:

وَ مَنْ بَايَعَ إَمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخِرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقُ الآخِر

Siapa membaiat seorang imam, lalu dia memberikan genggaman tangan dan buah hatinya, maka hendaklah dia menaatinya, jika dia mampu. Lalu jika datang orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang lain tersebut (HR Muslim).

 

Sistem negara kesatuan ini tidak memberi sedikit pun peluang negeri-negeri Islam memisahkan dari kesatuan kaum Muslim. Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Arfajah yang mengatakan, “Siapa saja yang datang kepada kalian, sementara urusan kalian berkumpul di tangan seseorang (Khalifah), kemudian dia hendak merobek kesatuan kalian dan memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah.” (HR Muslim).

Imam Muslim juga telah menuturkan riwayat dari Abu Said al-Khudi, dari Rasulullah saw., bahwa beliau pernah bersabda:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا أَخِرَ مِنْهُمَا

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya  (HR Muslim).

 

Kedua hadis ini, dengan masing-masing pengertian (mafhûm)-nya, menunjukkan larangan untuk membagi-bagi negara, dan mendorong untuk tidak membiarkan adanya pembagian negara, sekaligus merupakan larangan untuk memisahkan diri dari negara (Khilafah). Jika hal ini terjadi, tentara akan menyelesaikannya dengan tindakan militer.

Dalam  menghadapi bughât (pemberontak),  misalnya, jika perbuatan mereka tidak bersenjata, maka negara  akan menyelesaikan-nya dengan Departemen Keamanan Dalam Negeri tanpa senjata. Namun, jika pelaku bughât atau muharribîn  keluar menentang negara, mengangkat senjata dan bertahan di suatu tempat tertentu menjadi suatu kekuatan yang tidak memungkinkan untuk Departemen Keamanan Dalam Negeri (kesatuan kepolisian) menanganinya,  maka  pembangkangan mereka harus dihentikan dengan kekuatan militer.   Hal demikianlah yang dilakukan oleh Imam Ali bin Abi Thalib yang memerangi kaum Khawarij. Beliau pertama kali menyeru mereka. Jika mereka meninggalkan perbuatan mereka menentang negara, maka perang terhadap mereka dihentikan.

Fungsi kedua: Menjadi benteng penjaga negeri-negeri Islam dari serangan musuh. Militer negara Khilafah secara praktis memberikan perlindungan nyata atas negeri Islam dan kaum Muslim. Rasul saw. bersabda:

إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرِائِهِ وِ يُتَّقَى بِهِ

Imam/Khalifah itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya (HR Muslim).

 

Contoh pertama  militer Islam dalam menjaga negeri adalah peristiwa Perang Khandaq (Ahzab) pada bulan Syawal tahun 5 H. Saat itu Negara Islam Madinah dikepung tentara Koalisi Kaum Kafir Quraisy Mekkah, Bani Murra, Khaybar, Huyyay bin Auf Murri, Bani Ghathfan, Bani Asad, Bani Shuja, Yahudi Bani Nadir dan Yahudi Bani Qainuqa.  Meski militer Rasul saat itu berjumlah 3000 orang, dan pasukan koalisi 10.000 orang, Rasulullah saw.  menerapkan strategi membangun parit (khandaq) untuk bertahan.  Rasul saw. juga melakukan berbagai manufer politik  membuat manajemen konflik atas musuh. Dengan izin Allah, strategi militer demikian menjadikan pasukan kolisi putus asa dan patah semangat, dan kaum Muslim memperoleh kemenangan.

Rasulullah saw. selalu menempatkan pasukan-pasukan militer di perbatasan negeri Islam untuk menjaga negara dari serangan musuh. Dalam Islam dikenal istilah ar-Ribâth atau al-Murâbithûn, yakni tentara Muslim yang menjaga perbatasan negeri-negeri Islam dari serangan musuh. Dalam Kitab Al-Muwaththa’ terdapat riwayat dari Abdullah bin Umar yang mengatakan, “Allah mewajibkan jihad untuk menumpahkan darah orang-orang musyrik, sementara ribâth untuk melindungi darah kaum Muslim.  Melindungi darah kaum Muslim lebih aku cintai daripada menumpahkan darah orang-orang musyrik.”

Demikian juga Abu Hurairah ra. berkata, “Sungguh ribâth (berjaga-jaga diperbatasan) satu malam di jalan Allah, lebih aku sukai daripada aku mendapati malam lailatul qadar pada saat berada dekat hajar aswad.”

Untuk melindungi negara dari serangan musuh, pada zaman Umar bin al-Khaththab dibangun markas-markas militer dengan bangunan permanan, seperti benteng di Basrah, Kufah, Fustat (Kairo) untuk mengantisipasi serangan musuh.

Fungsi ketiga: Menjadi ujung tombak fisik dalam politik luar negeri negara khilafah (futûhât). Futûhât pertama dengan kekuatan militer yang dahsyat dilakukan Rasulullah saw. saat menaklukkan Kota Makkah pada tahun 630 M, tepatnya tanggal 10 Ramadhan tahun 8 H. Pasukan militer Rasulullah saw. berjumlah 10.000, dan berhasil menguasai Makkah tanpa setetes pun darah tertumpah.

Futûhât adalah gambaran kemuliaan Islam.  Allah SWT telah memuliakan kaum Muslim dengan menjadikan mereka sebagai pengemban risalah Islam ke seluruh dunia, dengan dakwah dan jihad fi sabilillah. Allah SWT berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ

Perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (QS al-Anfal [8]: 39).

 

Rasul saw. pernah memimpin secara langsung komando pasukan dan panglima perang dalam futuhat. Beliau juga pernah mengangkat para komandan detasmen, yaitu pasukan yang keluar untuk berperang tanpa keikutsertaan beliau dalam pasukan tersebut. Detasemen pasukan ini dikenal dengan istilah sariyah.

Pada beberapa kondisi, beliau menetapkan komandan pengganti seandainya komandan tersebut gugur sebagaimana yang terjadi pada perang Mu’tah. Imam al-Bukhari telah menutur-kan riwayat dari Abdullah bin Umar yang mengatakan Rasulullah saw. pernah mengang-kat Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang dalam Perang Mu’tah. Beliau bersabda, “Jika Zaid gugur maka Ja‘far (menggantikannya sebagai panglima). Jika Ja‘far gugur maka Abdullah bin Rawahah (sebagai penggantinya).”

Pada abad ke-6 H, tepatnya tahun 586 H, terjadi futûhât (pembukaan wilayah) oleh Khalifah besar-besaran. Pada tahun ini Sulthan Salahuddin berhasil menaklukkan bahyak wilayah di Syam yang sebelumnya berada di tangan Eropa selama 91 tahun.  Sultan Salahuddin bersama pasukan militer berhasil menghancurkan halangan fisik dan mengubah gereja menjadi bangungan-bangunan sekolah.

Demikianlah peran strategis dan mulia militer (tentara) Islam dalam torehan sejarah. Fungsi strategis militer ini menjadikan Islam dan kaum Muslim penuh wibawa dan pernah  menguasai lebih dari ¾ belahan bumi lebih dari 1000 tahun. Keadaan ini akan segera berulang dengan tegaknya Khilâfah Islâmiyyah ats-Tsaniyah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah. Insya Allah. [Luthfi Hidayat]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*