Kondisi Indonesia belakangan makin mengkhawatirkan. Rezim Jokowi yang berkuasa saat ini cenderung makin menunjukkan anti Islam dan represif. Anti Islam tampak dari pidato Megawati pemimpin tertinggi PDIP yang menjadi penopang utama kekuasaan sekarang. Dalam pidatonya di ulang tahun PDIP, meskipun tidak secara terbuka dan spesifik menyebutkan Islam, Megawati sangat tampak mengarah pada Islam.
Apalagi, seperti disebut dalam pidato itu, dikaitkan dengan peristiwa di penghujung tahun lalu. Kita tentu paham peristiwa besar yang dimaksud adalah Aksi Bela Islam membela al-Quran dan ulama yang dihina Ahok saat menjabat Gubernur DKI Jakarta. Bagi kelompok sekular, Aksi Bela Islam, sering dianggap mengancam kebhinekaan dan persatuan negara.
Dalam pidatonya Megawati, meskipun tidak langsung menu menuding Islam, mengkritik ideologi tertutup yang mengancam negara. Ideologi ini, tudingnya, bersifat dogmatis; muncul dari satu kelompok tertentu yang lalu dipaksakan agar diterima di seluruh masyarakat; menjadikan teror dan propaganda untuk mencapai kekuasaan dan kekuasaan yang dibangun bersifat represif dan otoriter.
Kesan menyerang Islam makin jelas ketika disebutkan para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa “self fulfilling prophecy”, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi pada masa datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya. Apalagi yang dimaksud kalau bukan ‘akhirat’ dalam konsep Islam.
Pasca pidato ini serangan terhadap Islam pun makin menjadi-jadi. Kapolri menuding Aksi Bela Islam telah mengancam kebhinekaan. Tito juga menyoal fatwa MUI, yang dia sebut telah digunakan untuk membuat resah masyarakat.
Serangan terhadap ulama makin meningkat. Di Sintang, Kalimantan Barat, KH Tengku Zulkarnaen, Wakil Sekjen MUI Pusat, yang memenuhi undangan resmi Bupati Sintang, tiba-tiba dihadang oleh kelompok tertentu sambil mengacung-acungkan senjata tradisional di apron Bandara Sintang ketika hendak turun dari pesawat terbang. KH Habib Rizieq Shihab terus-menerus dicari-cari kesalahannya. Beliau antara lain diminta untuk memenuhi panggilan Polda Jabar atas kasus yang diada-adakan. Saat pemeriksaan, terjadi kasus penyerangan FPI yang mengawal kehadiran Habib Rizieq Shihab oleh GMBI yang diduga kuat dihadirkan oleh Kapolda Jabar.
Jika bukan kriminalisasi terhadap ulama, lalu bagaimana bisa kelompok yang melakukan tindakan anarkis itu masuk apron bandara bahkan membawa senjata? Itu hanya mungkin terjadi jika ada pembiaran oleh polisi. Polisi tahu bahwa Ustadz Tengku itu akan datang jam itu dengan pesawat tersebut. Alhasil, di sini yang disebut gabungan antara kekuasaan legal, intelijen dan akses kepada kelompok-kelompok anarkis sangat nyata.
Lalu terkait kasus penyerangan FPI oleh GMBI di Bandung, bagaimana juga kekerasan itu bisa terjadi tak jauh dari Mapolda Jabar. Yang lebih mengherankan adalah respon setelah itu. Alih-alih korban dilindungi, justru malah dipersalahkan. Sebaliknya, pihak yang melakukan kekerasan malah dilindungi dan dijenguk Polisi. Lalu disebarkan melalui akun resmi Humas Polri bahwa GMBI adalah korban dari anarkisme FPI. Padahal faktanya, FPI yang diserang GMBI.
Jubir HTI Ustadz Ismail Yusanto mengkhawatirkan semua itu bisa terjadi karena ada kolaborasi kekuatan legal, intelijen dan anarkis. Ia mempertanyakan, bagaimana negara ini memiliki aparat kepolisian yang begini rupa. Ini sangat berbahaya karena akan memperuncing pertentangan antarkelompok dan konflik horisontal. Menurut Ismail, ini merupakan aksi balas dendam akibat terganggunya kepentingan asing, aseng dan asong pasca penistaan agama yang dilakukan Ahok. Pasalnya, ini semua terjadi setelah Aksi 212. Aksi 212 itu kan aksi super damai. Semestinya semua orang bergembira. Namun, nyatanya ada yang berduka dan geram karena kok damai sehingga mereka tidak punya alasan untuk memojokkan umat Islam, khususnya para ulamanya.
Di belakang Ahok ini ada kepentingan politik besar yang terkait dan berkelindan dengan kepentingan bisnis. Bisnis tersebut terkait dengan pejabat. Di situ ada korupsi dan kolusi sebagaimana tampak pada kasus Reklamasi dan Sumber Waras yang kasusnya terus diulur-ulur oleh KPK. Namun, ketika Ahok menista agama, aparat sudah tidak bisa berkelit lagi karena umat Islam marah. Puncaknya terjadi Aksi 212. Jadi, tampak sekali, dan sangat menyedihkan, aparat hukum menjadi alat politik jahat dari kelompok tertentu.
Kecenderungan represif rezim ini pun makin tampak. Dibredelnya beberapa sosial media dengan tudingan hoax, radikal, intoleran, menjadi bukti. Ironisnya, lagi-lagi umat Islam menjadi sasaran. Nyaris situs-situs yang dibredel adalah situs-situs yang dikenal selama ini berpihak pada umat Islam, membela MUI dan ulama, terutama dalam kasus penghinaan al-Quran yang dilakukan Ahok. Sebaliknya, situs-situs yang pro Ahok nyaris tidak tersentuh.
Di lapangan, sebagaimana yang dilaporkan banyak elemen umat, pelarangan-pelarangan terhadap pengajian, tablig akbar, seminar atau ceramah, yang mengkritisi kebijakan Pemerintah mulai dipersulit. Ulama-ulama yang dikenal berperan besar dalam Aksi Bela Islam pun mulai dihalang-halangi untuk mengisi pengajian-pengajian di tengah-tengah umat.
Saat ini terdapat upaya-upaya kuat untuk membubarkan organisasi-organisasi Islam yang dikenal teguh membela umat dan memperjuangkan syariah Islam. Mereka pun berupaya membangun dukungan publik untuk pelarangan ormas Islam. Rezim sekarang sedang getol untuk merevisi UU ormas dan terorisme. Tujuannya tidak lain untuk membubarkan kelompok Islam dengan tudingan teroris, terkait teroris, atau mengancam ideologi negara.
Kepada rezim Jokowi, kita perlu ingatkan, berbagai makar yang dilakuan untuk mencegah kebangkitan Islam pasti akan sia-sia. Kebangkitan Islam adalah ketentuan Allah SWT yang tidak bisa dihentikan oleh siapapun. Tindakan represif sekeras apapun tidak bisa memadamkan semangat perjuang umat Islam, membuat umat Islam takut, atau berhenti memperjuangkan Islam. Sudah banyak bukti, tindakan represif justru makin membakar keteguhan umat untuk memperjuangkan Islam.
Sebaliknya, rezim-rezim represif, sekuat apapun dia, banyak yang berakhir tragis. Bermusuhan dengan umat Islam apalagi memusuhi Islam adalah kebodohan dan berakhir dengan kondisi yang hina.
Sebaliknya, keberhasilan perjuangan umat makin di depan mata, atas izin Allah SWT. Allahu Akbar. [Farid Wadjdi]