Momentum akbar bela Quran 212 (2 Desember 2016) yang lalu telah menampakkan betul mana umat Islam di Indonesia yang tulus membela Quran dan mana kaum munafik. Karena al Quran adalah al Furqon (pembeda), yang memisahkan antara yang haq dan bathil. Jauhnya agama dari kehidupan, termasuk di sekolahan membuat umat Islam tidak sepenuhnya mencintai dan mengenal al Quran. Keberadaan kaum munafik ini bahkan berasal dari kalangan cendekia yang terpelajar, fenomena ini menggelitik dan sesungguhnya adalah buah dari perjalanan panjang sekulerisasi pendidikan di negeri ini. Tulisan ini mencoba mengupas hubungan antara keberadaan kaum Munafik dan jauhnya agama dalam dunia pendidikan.
Sekulerisasi pendidikan di Indonesia mungkin setua Republik ini berdiri. Sekulerisasi secara struktural berlangsung secara intensif di ranah pendidikan formal, dimana sejak awal negeri ini memisahkan jalur pendidikan Islam dengan jalur pendidikan umum di bawah dua kementrian yang berbeda. Pendidikan Islam di bawah Kementerian Agama, dan pendidikan umum di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, ini berlaku untuk semua jenjang dari dasar hingga tinggi.
Membaratkan Kiblat Pendidikan Islam
Sejak enam dekade terakhir trend belajar Islam secara formal di Indonesia beralih kiblat dari negara-negara Timur Tengah mengarah ke negara-negara Barat. Barat tidak hanya menghegemoni penguasaan sains dan teknologi, tapi juga sudah merambah ke pada bidang keilmuan dan pemikiran Islam. Peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit dan semakin banyak terutama kalangan mahasiswa-mahasiswa Muslim yang belajar di perguruan tinggi Islam.
Yang terbaru bahkan Kementerian Agama RI berkomitmen untuk semakin meningkatkan kerja sama di bidang pendidikan tinggi Islam dengan pemerintah Kanada khususnya dalam proyek yang digagas pemerintah Kanada sejak 2011 yakni Supporting Islamic Leadership in Indonesia/Local Leadership for Development (SILE/LLD), telah berlangsung sejak 2011. Kerjasama Kementerian Agama dengan Pemerintah Kanada dalam bidang pendidikan telah melewati sejarah panjang. Ratusan doktor dalam bidang Islamic Studies serta ilmu-ilmu sosial dan humaniora telah dihasilkan berkat kerjasama yang sudah dimulai sejak tahun 1950-an. Setiap periode tertentu, Pemerintah Kanada dengan pemerintah Indonesia mempertahankan pola kemitraan tersebut meski dengan nomenklatur dan fokus yang berbeda. (Kemenag.go.id, January 2017)
Dari data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’s Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Dan sekarang, perkembangannya jauh lebih besar dan lebih dasyat. Umumnya, sebagian lulusan studi Islam di Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Untuk tahun 2015 saja, Kementerian Agama telah mengirim 82 orang dosen di PTAI ke luar negeri dengan rincian 54 pria dan 28 wanita, namun lebih didominasi oleh perguruan tinggi Eropa dari pada perguruan tinggi Islam yang berada di Timur Tengah.
Derasnya pembaratan perguruan tinggi Islam sebagai faktor eksternal, dilengkapi dengan kondisi internal umat yang mengalami tren kemunduran akibat sudah kehilangan kekayaan pemikiran dan metode berpikirnya yang khas. Hingga sampai level paling nadir, dimana untuk belajar Islam pun kaum Muslim hari ini berkiblat ke Barat untuk merujuk metode orientalis mempelajari Islam. Ironis.
Sebenarnya telah terjadi sebuah proses liberalisasi secara sistematis terhadap Perguruan Tinggi Islam. Dan itu diakui sendiri oleh para pelaku dan pengambil kebijakan dalam Pendidikan Islam. Simaklah sebuah buku berjudul: IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos, 2002). Buku ini diterbitkan atas kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Dalam buku ini diceritakan sejarah perubahan kampus IAIN, dari lembaga dakwah menjadi lembaga akademis yang berkiblat ke Barat.
Lutfie Assyaukanie dari aktivis Islam Liberal (JIL) pernah berkata, “Asiknya belajar Islam di Barat.” Inilah yang dikritik tajam oleh Dr. Syamsudin Arif yang menyatakan jika ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas- universitas di Barat bukanlah tempatnya. Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadits, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali?
Sekulerisasi Melalui Kurikulum Islam Moderat
Infrastruktur pendidikan Islam di Indonesia yang dibawahi Kemenag saja memiliki aset 76.000 madrasah dengan 9 juta murid, 30.000 pesantren, dan 700-an perguruan tinggi. Pendidikan Islam di Indonesia mulai tahun 2016 menggunakan kurikulum pendidikan Islam yang baru, yang diberi nama pendidikan Islam rahmatan lil`alamin karena menekankan pada pemahaman Islam yang damai, toleran, dan moderat. Menteri Agama RI menambahkan bahwa kurikulum baru pendidikan agama Islam ini adalah respon pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelajaran agama yang mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran doktrin kekerasan dan radikal di lembaga akademis.
Di tahun yang sama tepatnya Desember 2016, Kementerian Agama Indonesia juga telah memfasilitasi forum sinergi Ulama dan Pesantren Asia Tenggara yang diberi nama Halaqah Ulama ASEAN 2016 demi mempromosikan Islam Moderat. Menteri Lukman melaporkan kegiatan halaqah tersebut dilatarbelakangi tuntutan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) untuk menyebarkan nilai moderatisme Islam yang dianut oleh masyarakat ASEAN.
Dengan kebijakan revisi kurikulum pendidikan Islam ini dan juga konsolidasi pesantren untuk menyebarkan Islam moderat dalam rangka meredam radikalisme agama, lengkaplah sudah sekulerisasi pendidikan Islam di semua jenjang meski dijalankan secara lebih halus atas nama Islam moderat. Setelah sebelumnya di jenjang pendidikan tinggi upaya lebih ekstrim dan intensif melalui penetrasi ide Islam Liberal dilakukan sejak beberapa dekade lalu di level perguruan tinggi Islam.
Mengadopsi Islam Moderat sebagai ruh dalam kurikulum pendidikan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia ini bukan hanya salah kaprah, tapi sudah berbahaya dan menyesatkan. Karena baik gagasan Islam moderat maupun Islam liberal sesungguhnya merupakan konstruk ide sekuler yang memiliki definisi problematis dan berbahaya karena tidak digali dari referensi sumber hukum Islam itu sendiri, melainkan dari nilai-nilai Barat dengan metode orientalis. Ide Islam Moderat sesungguhnya bukan pemahaman orisinil dari Islam dan tidak memiliki historis keilmuan di kalangan fuqaha (ahli fikih). Bahkan Hizbut Tahrir menggolongkan ide ini sebagai pemahaman berbahaya untuk memukul Islam, dan menancapkan peradaban Barat.
Dalam konteks politik, gagasan Islam moderat ini sesungguhnya adalah salah satu strategi penting untuk mengontrol perubahan di dunia Islam agar jauh dari kebangkitan Islam. Seperti yang terbaca jelas dari rekomendasi lama RAND Corporation tahun 2007 bahwa untuk mencegah apa yang mereka sebut sebagai Islam radikal, perlu dibuat jejaring Islam Moderat di dunia Muslim. Adalah laporan penelitian masyhur RAND berjudul “Building Moslem Moderate Network” yang menghasilkan temuan penting bahwa “Amerika Serikat perlu menyediakan dan memberikan dukungan bagi para aktivis Islam moderat dengan membangun jaringan yang luas, serta memberikan dukungan materi dan moral kepada mereka untuk membangun sebuah benteng guna melawan jaringan fundamentalis.” Jelas ini adalah agenda AS untuk mempertahankan hegemoninya di dunia Islam.
Melekatkan Ciri Kemunafikan
“Yang paling saya takutkan atas umat ini adalah orang munafik yang berilmu”
(Umar bin Khattab)
Membiarkan sekulerisasi pendidikan sama saja mencerabut keberkahan ilmu dari pola pikir (aqliyah) manusia, akibat tersingkirkannya wahyu sebagai otoritas akademik. Dimana pemikiran manusia yang jauh dari wahyu ini tentu berpengaruh pada pola sikap (nafsiyah) dan kepribadiannya secara keseluruhan.
Di sisi lain, sekulerisasi ilmu pengetahuan juga memfasilitasi tsaqofah asing dan pemikiran-pemikiran sekuler liberal merasuki benak kaum terpelajar. Sehingga wajar hari ini kaum munafik di tengah umat benar-benar nampak. Karena tsaqofah asing yang bertentangan dengan Aqidah Islam adalah bahan bakar kemunafikan. Selain itu asas sekulerisme juga telah menjadi pintu masuk bagi kapitalisasi pendidikan, yang semakin menyuburkan lahirnya kaum pragmatis yang materialistic, akibat pendidikan dijadikan komoditas bisnis.
Persis seperti yang digambarkan oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani bahwa mereka adalah kaum terpelajar yang terpisah dari umat, perasaan mereka terpisah dari pemikiran dan akal rakyat mereka, dan mereka -secara alami- menjadi orang-orang yang terpisah dari umat, serta terpisah dari perasaan dan kecenderungan umat.
Inilah kenapa di kala mayoritas umat membela Quran dan murka dengan penistanya, para cendekia ini justru membela penista Quran atas nama pluralism dan toleransi. Melalui kasus Ahok dengan pelecehan terhadap QS al-Maidah ayat 51-nya, Allah SWT benar-benar telah menunjukkan kepada umat Islam jatidiri siapa Muslim sejati dan siapa yang termasuk golongan munafik. Sehingga penampakan kaum munafik bisa dilihat oleh khalayak kaum muslimin di berbagai tempat dan media. Allah SWT berfirman:
﴿ وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَا كَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ﴾
“Kalau Kami menghendaki, niscaya Kami menunjukkan mereka (kaum munafik) kepada kamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dari tanda-tanda mereka dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka” (QS Muhammad [47]: 30).
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya, Islam and Secularism, merumuskan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghasilkan orang yang baik (to produce a good man). Kata al-Attas, “The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab.”. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya.
Di poin inilah kegagalan pendidikan modern hari ini yang berasaskan sekulerisme. Karena gagal menghasilkan manusia-manusia beradab, manusia baik yang berkepribadian Islam yang merupakan insan kamil. Cacatnya bahkan sudah sejak asas.
Sesungguhnya pendidikan ala Barat telah melekatkan ciri kemunafikan bahkan sejak karakter mendasarnya. Mari kita melihat sedikit ilustrasi kontras yang membandingkan antara profil intelektual bentukan Barat dengan Islam. Oxford dan Cambridge adalah simbol penting pendidikan di Inggris. Oxbridge, begitu biasa disingkat– jadi pusat riset ilmu dan teknologi yang menyangga peradaban Inggris dari abad ke abad. Banyak peraih penghargaan Nobel beralmamater di kedua kota ini. Namanya juga sangat bergengsi.
Madinah merupakan kota pendidikan yang lebih dahsyat dari Oxford dan Cambridge. Bukan karena fasilitasnya, tetapi karena pendidikan di Madinah menghasilkan peradaban ilmu yang menyatukan iman, ilmu, amal, dan jihad.
Di Oxbridge seorang profesor bisa sangat pakar dalam ilmu fisika atau filsafat etika, pada saat yang sama dia bisa saja seorang homoseks, alcoholic, dan meremehkan gereja. Dia akan tetap dihormati karena penguasaan pengetahuannya. Di Madinah, jika seorang ilmuwan memisahkan “aqidah, akhlaq dengan ilmu yang dikuasainya, kealimannya batal. Seorang yang menjadi salah satu simpul sanad bagi sebuah hadits, jika dia ketahuan berdusta sekali saja, namanya akan tercatat sampai akhir zaman di kitab musthalahal hadits sebagai kadzab (pendusta) yang riwayatnya tidak valid. Apalagi kalau dia sampai meninggalkan shalat dan bermaksiat.
Tradisi keilmuan Islam kaya dengan contoh-contoh ulama yang sangat tinggi ilmunya dan sekaligus orang-orang yang memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi. Imam al-Syafii, Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Hanafi, al-Ghazali, Ibn Taymiyah, dan sebagainya adalah contoh-contoh ulama yang hingga kini menjadi teladan kaum Muslim. Dalam sistem sosial Islam, tidak ada kesempatan bagi seorang yang berilmu tinggi tetapi tidak menjalankan ilmunya. Sebab, ia akan dicap tidak adil, fasik, dan secara otomatis akan tersisih dari tata sosial Islam, karena ditolak kesaksiannya dan pemberitaannya diragukan.
Penutup
Demikianlah ilustrasi kontras di atas menunjukkan pada kita ternyata erat sekali hubungan antara mengakarnya sekulerisasi pendidikan di Indonesia dengan kemunculan kaum munafik. Hal ini karena pendidikan sekuler ala Barat sungguh telah memusnahkan wahyu sebagai ilmu tertinggi dan luhur yang harus dipahami setiap Muslim, sehingga merusak kepribadian Islam para pembelajar. Sekulerisasi ilmu pengetahuan sudah menjelma menjadi musuh dalam selimut umat Islam yang menggerogoti keimanan dan identitas umat, sehingga suburlah kemunafikan di tengah kaum terpelajar dengan banyak wajah dan kategori.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir