Keberadaan pendidikan di negeri Arab sangatlah tragis, dan mengalami krisis yang parah. Benar bahwasanya pendidikan tidak dapat mengatasi seluruh negeri Arab dengan cara yang sama, dalam penelitian dan analisis fakta pendidikan di negeri Arab. Ditinjau bahwa tiap negara memiliki perhatian masing-masing, dan relasi peristiwa-peristiwa internal mulai dari demo, pemberontakan, kontroversi, hingga peperangan, dan lain sebagainya dari peristiwa yang berdampak pada pendidikan juga lingkungan dan yang lainnya. Akan tetapi walaupun kondisi tiap negara berbeda, keadaan pendidikan di negeri Arab hampir bersatu dan memiliki permasalahan yang sama.
Maka berbagai macam permasalahan antara tiap negara ini mengakibatkan turunnya kualitas pendidikan di negeri Arab. Sungguh negeri Arab telah mendapatkan kedudukan yang rendah dalam indeks kualitas pendidikan (Diterbitkan oleh Forum Ekonomi Internasional 2015/2016). Sebagai contoh bahwa Bahrain menempati posisi ke-33, Yordania di posisi ke-45, Tunisia di posisi ke-85 skala internasional, sedangkan Maroko menduduki posisi ke-101, Jazair menempati posisi ke-119, Mauritania di posisi ke-129, dan Mesir meduduki posisi sebelum akhir dalam taraf 140 negara, tercantum dalam laporan.
Kemerosotan dalam pendidikan ini tentu kembali kepada beberapa sebab, yang paling penting yaitu terkait dengan kurikulum dan metode pendidikan yang diterapkan atas dasar talqin dan menghafal tanpa adanya analisis dan memahaminya, dan tidakadanya pelajaran yang meningkatkan perasaan dan pola pikir para pelajar, sebagai contoh kita menukil apa yang dikatakan oleh salah seorang ibu Mesir dari perkumpulan ibu-ibu saat “Demo ibu-ibu kontra kurikulum”: Kurikulum saat ini tidaklah menghasilkan ilmu dan perkembangan yang hakiki di akal anak-anak, dengan sejauh mana yang mereka rasakan dari rasa letih di waktu dzuhur dan beratnya buku-buku pelajaran di dalam tas sekolah mereka”. Juga tidak lupa atas kegagalan dari politik pendidikan seperti ditingkatkannya jam pertemuan untuk para pelajar. Juga dari sebab-sebab ini, takaran khusus bagi pendidikan masih saja kurang dan jauh dari kesetaraan dengan takaran-takaran khusus dari bagian yg lainnya, sebagai contoh bahwa sebuah catatan internasional yang diterbitkan oleh pengamat hak-hak masyarakat dan ekonomi meninjau kembali bahwa pemerintah menginfaqkan hartanya untuk pendidikan di Yordania semenjak tahun 2000 hingga sekarang, dan ketika itu infaq dari pemerintah mencapai 13% di tahun yang sama dan menurun hampir 9% di tahun 2010. Ditambah dengan tidak adanya kepedulian negeri Arab dengan penelitian ilmiah, dengan laporan negara yang terperinci bahwasanya di Maroko dan Tunisia kurang dari 0,8% kepedulian mereka terhadap penelitian ilmiah ini, di Mesir dan di Yordania kurang dari 0,5%, di Saudi Arabia, Jazair, dan Kuwait kurang dari 0, 2%.
Akhirnya negeri Arab tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang baik dengan kesempatan yang sama untuk masyarakatnya yang disebabkan oleh rusaknya serta buruknya rancangan pendidikan. Beberapa sekolah juga mengalami kurangnya tingkatan bangunan.
Kemerosotan ini memengaruhi kualitas pendidikan, serta hilangnya perhatian dan kepedulian untuk para kreatif dan para pemilik bakat di dalam negeri. Ditambah lagi dengan tidakadanya penyediaan peluang bekerja bagi para alumni, sehingga mendorong para mereka untuk pindah ke negeri Barat untuk menutut ilmu atau bekerja setelah lulusan. Beberapa riset yang dilakukan oleh Universitas Negeri Arab dan UNESCO juga Bank Internasional mengungkapkan bahwa sepertiga para penghijrah berpartisipasi dalam jasa perkembangan negara, dan 50% dari dokter, 23% dari arsitektur, 15% jumlah alumni Arab meninggalkan negaranya dan menuju ke Eropa, USA, dan Kanada. Tercantum dalam laporan bahwa 54% pelajaran asal Arab tidak kembali lagi ke negaranya, dan Mesir menempati peringkat pertama dalam eskpor cendikiawan dan ilmuwan mereka ke Eropa, khususnya Kanada, USA, dan Jerman, Sebagaimana yang tercatat di data perserikatan Mesir dan Negara Eropa. Juga jumlah ilmuwan dan akademikus Mesir yg tinggal di Eropa mencapai sekitar 86 ribu jiwa, dan 1883 orang dr mereka memiliki keahlian di bidang nuklir yang sangat langka. Sebagaimana yang dilampirkan oleh 42 Ketua Universitas Internasional.
Dan juga dari permasalahan pendidikan di negeri Arab yang memengaruhi kualitasnya yaitu penentuan guru-guru yang tidak sesuai dan tidak memiliki kemampuan untuk mengajar para murid, lebih khususnya dalam kelas dasar yang dipelajari di dalam keterampilan dasar, membaca, menulis, menghitung. Atau menuntaskan dengan paksaan pada guru-guru untuk mengajar para murid dipelajaran yang selain bidang kuliahnya. Dalam catatan tahunan mengenai pendidikan, pada tahun 2014 UNESCO mencatat bahwa 43% anak-anak negeri Arab membutuhkan ajaran-ajaran dasar pendidikan yang disebabkan merosotnya kadar guru-guru, serta kebutuhan mereka (guru) dalam pelatihan menjalankan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Dan dari sisi lain bahwa para guru Arab merasa terbebani dengan biaya kehidupan dan juga gaji mereka yang tidak sepadan dengan kerjanya, yang akibatnya memaksa mereka untuk melakukan pekerjaan tambahan yang tidak sesuai dengan bidangnya untuk meringankan biaya kehidupan. Sama halnya bahwa mereka merasa keberatan dengan jadwal mengajar yang padat serta permintaan-permintaan dari kementerian mengenai sketsa, media, keaktifan pengajar, tidak terpenuhinya peluang, alat yang membantu dalam memenuhi pekerjaannya. Ditambah lagi dengan sedikitnya rasa hormat kepada para guru dan jatuhnya martabat guru-guru yang memengaruhi pekerjaannya dan hasilnya, sebagaimana yang diamati oleh para pengamat.
Apabila kita membicarakan tentang pendidikan di negeri Arab tentu tak luput dari perbincangan mengenai sekolah-sekolah di negeri Arab dan juga lemahnya sturktur bawahannya. Dapat ditemukan bahwa sebagian daerah tidak memiliki jumlah guru yang cukup untuk, akhirnya mengakibatkan para guru-guru melakukan perjaannya dari pagi hingga sore hari (dua waktu). “Contohnya 80% guru daerah Gaza mengajar dari pagi hingga sore hari,” tegas Duktur Ali Khalifah (Ketua umum kantor pendidikan). Ditambah dengan permasalahan tidak tersedianya sekolah-sekolah yang cukup, beberapa sekolah pun kekurangan ruang kelas yang memadai, sehingga ruang kelas penuh dan sesak dalam pembelajaran yang memengaruhi daya paham dan daya ingat mereka yang disebabkan keramaian dan banyaknya jumlah mereka, dan juga memengaruhi pengajaran guru, contohnya jumlah murid dalam satu kelas di beberapa sekolah Mesir mencapai 120 murid [Sesuai dengan website BBC] dan kebanyakan di sekolah Yaman mengkhususkan jumlah murid dalam satu kelas mulai dari 90 hingga 120 murid, di beberapa Sekolah Yordania jumlah muridnya dalam satu kelas mencapai 50 orang. Dan kekurangannya tidak hanya sebatas pada kelas pembelajaran akan tetapi juga pada fasilitas-fasilitasnya seperti lapangan, perpustakaan, laboratorium komputer, dan laboratorium ilmiah. Beberapa sekolah juga mengalami kekurangan standar yang layak dari kebersihan, penghangatan, kipas angin (pendingin), ventilasi, dan juga tidak memiliki jumlah yang cukup untuk unit kesehatan dan wc, dan bahkan yang lebih buruk bangunan sekolahnya telah berkarat dan rembesan air yang memasuki kelas saat musim dingin (hujan), seperti itulah yang terjadi disejumlah SD dan SMP di pendalaman Negara Tunisia pada bulan Desember tahun 2016, bahwa KBM di SMP dinonaktifkan dikarenakan genangan air yang merendam sekolah yang tidak memungkinkan para murid untuk belajar. Demikian rupa KBM Sekolah Dasar (SD) dinonaktifkan akibat hujan deras yang sampai membanjiri 6 ruangan, dan bocoran air dari atap yang membasahi dua ruangan. Delegasi juga menegaskan nonaktifnya KBM di Sekolah Dasar Salim Basyir setelah terendamnya beberapa ruangan belajar.
Putus pendidikan ini terhitung sebagai salah satu masalah pendidikan yang dialami negeri Arab, menurut statistik dari USA pada tahun 2015 bahwasanya sekitar 21 juta anak-anak di negeri Arab telah putus pendidikan atau berisiko putus pendidikan. Tentu saja ini (putus pendidikan) disebabkan oleh beberapa sebab, yang paling penting yaitu rendahnya prestasi akademik siswa, kesusahannya dalam pembelajaran, juga faktor ekonomi yang memaksa mereka untuk meninggalkan pendidikan demi membantu keluarganya dalam memenuhi kebutuhan kehidupan lebih khususnya apabila orang tuanya telah wafat atau dalam keadaan sakit sehingga tidak mampu bekerja.
Dan juga buta huruf (ummiyah) merupakan faktor utama yang dihadapi pendidikan di negeri Arab. Menurut catatan dari UNESCO bahwa satu dari lima remaja di negeri Arab mengalami buta huruf (Ummiyah). Dan juga Muritania tercatat sebagai negara Arab terbesar yang penduduknya menderita buta huruf (ummiyah). Dan 10 juta penduduk Negara Maroko menderita buta huruf (ummiyah), ini menunjukkan bahwa sensus penduduk Negara Maroko yang mencapai 34 juta jiwa, sepertiganya menderita buta huruf (ummiyah). Dan juga separuh penduduk Maroko yang di atas 15 tahun mengalami buta huruf (ummiyah). Sedangkan di Mesir, seperempat remajanya menderita buta huruf (ummiyah). Sebagaimana yang dikonfirmasi organisasi dalam catatannya bahwa 43% anak-anak negeri Arab membutuhkan ajaran-ajaran dasar untuk pendidikan. Sesuai dengan laporan bahwa satu dari empat anak kecil di negeri Arab (negara miskin) tidak dapat membaca walaupun hanya satu kata.
Ini hanyalah gambaran singkatnya dari keadaan pendidikan di negeri Arab dan merupakan permasalah yang sering nampak dari permasalahan lain yang dihadapi. Ditambah dengan permasalahan internal lainnya yang timbul di setiap negara, seperti penghancuran sekolah, paksaan pindah untuk pelajar dan guru dari negara mereka menuju negara yang banyak terjadi peperangan dan demo di dalamnya seperti Suriah, Irak, dan Yaman. Juga kesulitan yang dialami oleh para murid dan guru di Palestina untuk sampai ke sekolahnya yang disebabkan penghalang atau pagar yang diletakkan oleh kaum Yahudi. Dan masalah yang lainnya sampai tidak dapat disebutkan.
Akhirnya timbul pertanyaan yaitu; Apa cara untuk memperbaiki situasi ini dan untuk bangkitnya pendidikan di negeri Arab?!
Sebagian dari mereka menyeru untuk mengimpor pelopor metode-metode pendidikan internasional dan penerapannya di negara kita untuk membangkitkan pendidikan. Dan telah nampak bahwa beberapa sekolah di Uni Emirat menerapkan metode pendidikan Finlandia, dan Mesir berusaha menerapkan metode pendidikan Singapura kadang-kadang akan tetapi mereka kembali pada kesepakatan untuk menerapkan metode pendidikan Jepang di sekolahan. Akan tetapi alternatif ini tidaklah berhasil, karena bagaimana kita datang dengan tunas (metode) dari luar dan menanamnya di negara lain yang tidak tersedia pekerjaan yang cocok untuknya dan berharap untuk tumbuh dan hidup disana?!
Maka politik pendidikan dan metode pendidikan di negeri Arab tumbuh dari aturan yang diterapkannya, begitu juga struktur peraturan pendidikan, keberhasilan, ketidaklulusan, dan metode pembelajaran yang mereka adopsi berbeda dengan apa yang kita terapkan, dan faktor paling sederhana yang mengarah pada gagalnya penerapan metode ini adalah percobaan. Negeri Arab menjadikan pendidikan sebagai prioritas dan didasari oleh para guru-guru, dan tersedianya infrastruktur serta komponen-komponen yang diperlukan untuk keberhasilan proses pendidikan, dan hal tersebutlah yang hilang dari negara kita (Arab). Dan bahwa negeri Arab menbayar para guru dengan gaji yang hanya dapat mencukupi perbekalan kehidupan, dan menjadikan mereka kosong dari pembelajaran, dan membuat perkara baru, serta mengadakan sesi pelatihan bagi para guru untuk memperbarui kualifikasi mereka juga mengembangkan kemampuan mereka dalam bidangnya, dan memenuhi infrastruktur (prasarana) bantuan dan memotivasi para guru dan murid dari segi bangunan dan fasilitas umum seperti laboratorium, serta perpustakaan, dan juga memenuhi alat-alat teknologi yang dibutuhkan seperti komputer, Lcd, bahkan Negara Jepang memasukkan robot di sekolahnya.
Sesungguhnya perubahan potret suram pendidikan di negeri Arab, dan kebangkitan pendidikan, serta peningkatan kualitas secara global, dengan melalui dari segi politik (kebijakan) pendidikan efektif yang layak bagi anak-anak bangsa sebagai bangsa Islam, kebijakan ini tidak mempertimbangkan untuk lembaga pendidikan dengan alasan menguntungkan lembaga untuk menghasilkan uang bagi negara, akan tetapi mempertimbangkan misi-misi umat (generasi) dan membentuk pemikiran islami. Dan ini tidak akan bisa terwujud kecuali dengan terpenuhinya peraturan-peraturan yang benar dari ideologi negara (Daulah Mabdaiyyah) yang mengatur urusan umatnya tak hanya terbatas pada bidang pendidikan saja, akan tetapi mecajup seluruh aspek kehidupan, dan negara itu adalah Daulah Islamiah yang berdiri atas metode kenabian di waktu dekat ini atas izin Allah.[]