Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS tidak hanya memberikan ketidakpastian bagi kondisi ekonomi domestik Amerika Serikat, namun juga perekonomian dunia, khususnya negara-negara yang selama ini menjadi mitra utama negara itu. Beberapa janji Trump saat kampanye memang menuai banyak kekhawatiran. Apalagi dominasi Partai Republik baik di Senat maupun di Kongres membuat janji-janji tersebut lebih mudah direalisasikan. Hal ini berbeda dengan kebijakan Obama yang berasal dari Partai Demokrat, yang banyak terganjal di Kongres yang didominasi oleh Partai Republik.
Perubahan Kebijakan
Meskipun kepemimpinan Obama telah mengembalikan angka pengangguran yang pernah mencapai 11%, ke angka 5 persen, sebagaimana yang terjadi sebelum krisis 2008, Trump berenca mengubah kebijakan rezim sebelumnya. Trump, misalnya, berencana memangkas pajak korporasi dari 35% ke 15%. Selain itu pajak perseorangan akan lebih banyak menguntungkan 1% orang kaya di AS. Pada saat yang sama lebih dari delapan juta keluarga akan mengalami kesulitan secara finansial dengan rencana tersebut. Pemotongan pajak tersebut memang ditujukan agar investasi di negara itu kembali tumbuh dan mendorong kembalinya investasi perusahaan-perusahaan AS di luar negeri yang menghindari tingginya pajak di negara negara itu.
Kebijakan Trump yang akan memangkas pajak dan mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran akan mendorong pertumbuhan utang Pemerintah menjadi lebih tinggi. Pada tahun 2017, nilai utang Pemerintah mencapai US$18,5 triliun dolar. Angka tersebut setara dengan 97 persen dari PDB negara itu. Dalam 10 tahun ke depan utang pemerintah diperkirakan mencapai US$30 triliun. Lebih dari separuh utang tersebut dipegang oleh investor swasta dan pemerintah asing. Jepang dan Cina menjadi negara pemegang terbesar dengan nilai US$1,11 triliun dan US$ 1,05 triliun. Porsi kepemilikan investor swasta yang besar tersebut menjadi salah satu pertimbangan yang cukup penting dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri dan ekonomi negara itu. Kepanikan investor yang mendorong pelepasan surat utang AS akan memberikan dampak yang cukup serius bagi negara itu.
Trump juga berencana mengevaluasi kebijakan Obamacare, asuransi kesehatan yang memperluas cakupan Medicare dan Medicaid, subsidi asuransi kesehatan kepada penduduk miskin, penduduk yang berusia di atas 65 tahun, dan mereka yang menderita penyakit tertentu. Obamacare dianggap sebagai salah satu penyebab utama peningkatan defisit anggaran Pemerintah yang berkontribusi pada penggelembungan utang Pemerintah. Meskipun demikian, sistem penyediaan jasa layanan kesehatan yang berbentuk komersial di negara itu tetap tidak berubah. Penduduk di negara itu harus membayar jasa kesehatan terutama dengan membayar asuransi baik dilakukan secara pribadi; melalui perusahaan tempat seseorang bekerja; ataupun melalui subsidi yang diberikan Pemerintah kepada sebagian penduduk yang berpendapatan hingga empat kali di atas garis kemiskinan. Sistem pelayanan kesehatan di negara itu menjadi ladang bisnis yang sangat legit bagi perusahaan-perusahaan asuransi, rumah sakit, perusahaan farmasi dan perusahaan alat-alat kesehatan. Bahkan menurut Commonwealth Fund, Amerika merupakan negara dengan sistem pelayanan kesehatan termahal di dunia dengan performa yang paling buruk jika dibandingkan dengan negara-negara di Eropa.
Janji Trump lainnya yang juga cukup radikal adalah kebijakan proteksi perdagangan untuk membatasi masuknya produk-produk impor ke negara itu, terutama dari Cina dan Meksiko. Trump bahkan berencana menaikkan tarif impor dari Cina sebesar 45 persen. Selama ini neraca perdangangan AS dengan Cina mengalami defisit yang paling besar, yakni sebesar US$367.2 miliar pada tahun 2015. Rendahnya biaya produksi di Cina, terutama dalam hal tenaga kerja dibandingkan dengan negara itu, membuat impor terus meningkat tajam. Dampaknya, mengutip Economic Policy Study, pada tahun 2001-2003, defisit perdagangan AS dengan Cina membuat 3,2 juta pekerja di AS tereliminasi dari pekerjaannya. Dengan peningkatan tarif impor tersebut, Trump berharap harga barang dari Cina akan menjadi lebih mahal.
Hal yang sama juga akan diterapkan pada perusahaan-perusahaan AS yang membangun pabrik di Meksiko. Produk-produk mereka yang diekspor ke AS akan dikenakan tarif hingga 35%. Rencana Trump ini memang akan membuat harga barang impor dari kedua negara itu menjadi semakin mahal. Hanya saja yang akan menanggung dampaknya adalah masyarakat AS sendiri. Apalagi selain biaya produksi yang mahal, khususnya tenaga kerja, banyak barang-barang yang diimpor dari Cina misalnya tidak memiliki produk substitusi dari dalam negeri.
Beberapa kebijakan perdagangan luar negeri seperti NAFTA (North American Free Trade Agreement) juga akan dikoreksi oleh Trump. Namun, langkah ini ditolak oleh sebagian anggara Partai Republik di Kongres. Demikian pula dengan Trans Pasific Partnership (TPP) yang digagas oleh Obama juga tidak disetujui oleh Trump. Dengan demikian, berbagai rancangan kesepakatan dengan 12 negara yang telah mendukung kerjasama tersebut terancam dibatalkan. Kebijakan tersebut sejalan dengan janji Trump untuk mengambil sikap yang keras dengan negara-negara yang menjadi kompetitor AS dan upayanya untuk menarik perusahaan-perusahaan AS yang selama ini banyak berinvestasi di negara lain untuk kembali ke negara itu. Harapannya, tenaga kerja akan lebih banyak tercipta.
Meskipun demikian, terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa Pemerintah AS akan menarik diri dari kebijakan pasar bebas yang oleh pemerintah-pemerintah AS sebelumnya dipandang sebagai strategi jitu untuk memajukan ekonomi negara itu. Pasalnya, sepanjang sejarahnya, meskipun strategi (uslûb) masing-masing presiden AS berubah-ubah, metode negara itu sebagai pelopor dan penjaga sistem ekonomi Kapitalisme tidak akan pernah berubah. Lagi pula Trump hanya akan merenegosiasi kebijakan-kebijakan perdagangan yang selama ini dianggap merugikan negara itu. Dengan kata lain, kebijakan-kebijakan perdagangan yang selama ini dianggap menguntungkan akan tetap didukung. Meskipun Trump pernah mengkritik WTO, regulasi perdagangan yang dikeluarkan oleh lembaga itu akan tetap didukung. Pasalnya, lembaga tersebut banyak menguntungkan negara-negara maju seperti AS. Kemenangan AS atas Indonesia pada sidang WTO pada Desember 2016, yang menggugat proteksi pangan yang menghambat masuknya produk-produk asal AS, menunjukkan betapa efektifnya lembaga itu dalam memuluskan kepentingan AS.
Dari sisi moneter, kebijakan Trump yang akan mendorong pembangunan infrastruktur besar-besaran di dalam negeri juga diperkirakan akan mendorong inflasi lebih tinggi. Untuk merespon situasi tersebut, Bank Sentral AS, The Fed, telah berancang-ancang menaikkan suku bunga acuannya (Federal Fund Rate). Sejak akhir 2016, The Fed memang telah mulai melakukan pelonggaran moneter dengan menaikkan suku bunga yang nyaris nol persen sejak krisis tahun 2008 lalu. Kebijakan ini tidak hanya akan berefek pada kenaikan suku bunga domestik, namun juga akan mendorong meningkatnya aliran modal ke negara itu terutama dari negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Hal tersebut kemudian berdampak pada fluktuasi nilai tukar mata uang di negara-negara tersebut, terutama akibat kegiatan spekulasi di pasar uang dan pasar modal. Namun, di sisi lain, imbas dari masuknya modal tersebut ke AS akan memperkuat nilai tukar dolar. Barang-barang impor akan menjadi lebih mahal. Kebijakan tersebut, ditambah dengan penaikan tarif impor, akan membuat biaya yang dikeluarkan konsumen AS akan semakin tinggi. Pada saat yang sama, kenaikan suku bunga The Fed akan mendorong kenaikan suku bunga perbankan dan suku bunga obligasi. Dengan demikian biaya investasi dan beban utang investor dan korporasi menjadi lebih mahal. Dengan kata lain, rencana-rencana Trump juga mengandung sejumlah risiko.
Trump juga akan kembali melakukan pelonggaran kebijakan di sektor finansial. Salah satunya adalah membekukan Undang-undang Dodd–Frank yang dikeluarkan pada tahun 2010. UU itu dibuat sebagai respon atas sangat liberalnya di sektor tersebut yang kemudian memicu krisis di sektor finansial. Tujuan peraturan itu sendiri adalah meregulasi sektor keuangan dan melindungi konsumen dari praktik nakal perbankan dalam pemberikan kredit termasuk kredit properti. Bagi Trump dan Partai Republik, regulasi seperti ini hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat karena membatasi ruang gerak perbankan dalam memberikan pinjaman.
Dengan kebijakan Trump ini, sektor keuangan negara itu kembali diberi ruang yang lebih longgar untuk memperbesar gelembung transaksi keuangan termasuk di sektor properti. Menteri keuangan Trump, Steve Mnuchin, merupakan mantan CEO Goldman Sachs, salah satu lembaga keuangan terbesar di dunia. Dengan demikian kekhawatiran bahwa AS akan kembali ke jurang krisis yang kemudian memicu krisis global sangat berpotensi kembali terulang.
Persoalan Dasar
Dalam sejarahnya, Partai Republik, yang merupakan partai Trump, memiliki kebijakan yang lebih kuat pada pebisnis dan sangat membatasi peran Pemerintah dalam pengaturan ekonomi. Di sisi lain, Demokrat lebih mengandalkan intervensi Pemerintah untuk mempengaruhi arah ekonomi serta menjadikan penerimaan pajak dari kelas atas untuk membiayai pengeluaran Pemerintah.
Meskipun demikian, keduanya tetap mengacu pada sistem ekonomi Kapitalisme dengan strategi kebijakan yang berbeda-beda. Pajak menjadi sumber utama penerimaan negara, adanya penetapan upah minimum serta pelayanan pendidikan dan kesehatan yang dikelola secara komersial. Peran sektor finansial yang semakin dominan dalam perekonomian telah memberikan pendapatan sangat besar kepada para pemilik saham, terutama para manajer perusahaan. Pada saat yang sama, pendapatan para pekerja kelas menengah bawah tumbuh lebih lambat. Kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh konstituen yang paling kuat, yakni para pemilik modal membuat kebijakan Pemerintah sangat berpihak kepada mereka. Besarnya peran pemilik modal ini tidak lepas dari besarnya pembiayaan mereka dalam pemilihan umum (Stiglitz, The Great Devide, hlm. 288).
Dengan kebijakan tersebut, kesenjangan pendapatan di negara itu dari tahun ke tahun semakin besar. Pada tahun 2013, 1% penduduk teratas menerima 20% dari total pendapatan di negara itu. Angka itu melonjak dari 10% pada tahun 1980. Gini ratio yang mengukur tingkat kesenjangan negara itu juga cukup tinggi, yaitu 0,479 pada tahun 2015. Pada saat yang sama, tingkat kemiskinan di negara itu mencapai 43,1 juta orang atau sebesar 13,5 persen dari total penduduk. Selain itu perekonomian yang ditopang sektor keuangan yang penuh dengan spekulasi, menjadikan ekonomi Amerika amat rentan diterpa krisis, yang sebagian dengan cepat bahkan berdampak ke belahan dunia lainnya.
Dengan kebijakan-kebijakan Trump di atas, dapat dipastikan perekonomi AS tidak akan banyak mengalami perbaikan, bahkan sangat berpotensi menjadi lebih buruk.
Apa yang terjadi di AS semestinya menjadi pelajaran penting, terutama bagi pemerintah di negeri-negeri Muslim, bahwa sistem ekonomi Kapitalisme hanya akan menciptakan kesenjangan yang semakin lebar dan pertumbuhan ekonomi yang rapuh sehingga amat mudah diterpa krisis. Lebih dari itu, sistem ekonomi Kapitalisme merupakan sistem yang bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu Kapitalisme haram untuk diadopsi dan diterapkan oleh kaum Muslim. Sebaliknya, kaum Muslim wajib untuk menerapkan Islam secara paripurna, termasuk dalam aspek ekonomi, dalam sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw. yakni Khilafah Islam [Muis]