Pertengahan Desember 2016 lalu, media mainstream menggiring publik dengan opini keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme. Seorang perempuan berinisial APM diciduk Tim Densus 88 Anti Teror Mabes Polri sebagai tersangka yang membantu rencana pengeboman Istana Negara. Sebelumnya, Densus juga menangkap Dian Yulia Novi di Bekasi karena membawa sebuah bom panci di dalam ranselnya. Dian dipersiapkan sebagai calon ‘pengantin’ untuk rencana bom bunuh diri tersebut.1
Sidney Jones, ‘peneliti’ International Crisis Group (ICG), menyebutkan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme disebabkan perempuan yang “teradikalisasi” ingin peranan lebih aktif, tidak puas menjadi istri atau ibu saja. Apalagi ISIS sejak Juli 2016 telah menghapus larangan keterlibatan perempuan sebagai kombatan atau mujahidah, asal ada izin suami atau mahram-nya. Ansyad Mbai, mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Ierorisme (BNPT) menguatkan analisis Jones tentang peluang setiap orang yang mampu meradikalisasi dirinya (self radicalized).2
Terlepas dari rekayasa amatir dan pernyataan pihak tertentu yang dimaksudkan untuk menggiring opini publik, tema radikalisasi masih menjadi komoditas yang sering ‘dijajakan’ di Indonesia. Apalagi sejak situasi politik negeri ini diramaikan dengan dakwah yang menawarkan sistem pemerintahan Islam. Pada saat umat semakin hilang kepercayaan kepada pemerintahan demokrasi yang hipokrit dan kapitalisme yang rentan krisis, sistem Khilafah Islamiyah menjadi harapan baru umat yang rindu akan kebangkitan Islam.
Depolitisasi Islam
Deradikalisasi menjadi senjata rezim represif penerap demokrasi dalam menjegal perjuangan penegakan Khilafah, sebagai sistem pemerintahan alternatif yang terefleksi dari perjuangan Rasulullah saw. Henry Kissinger, mantan Menlu AS masa Richard Nixon dan Gerald Ford, menyatakan bahwa The New World Order ciptaan Amerika Serikat, tidak mampu menghadapi ideologi Islam. Karena Islam menjadi musuh satu-satunya bagi Tatanan Dunia Baru, Barat terus-menerus belajar untuk mencari kelemahannya. Hasilnya, Kissinger merekomendasikan agar kelompok yang menjadikan Islam komprehensif—yang ingin menegakkan Islam pada seluruh aspek kehidupan dan memiliki gambaran sempurna terhadap bentuk negara di masa depan—itu harus dijauhkan dari umat. Sebab, kelompok ini mampu menjadi percikan api (sparks) yang akan ‘membakar’ umat yang dia lukiskan bagai kayu bakar (firewood). Tentu kemungkinan ini mengancam hegemoni bahkan eksistensi AS sebagai pemilik sejati ideologi Kapitalisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam.
Analisis Kissinger senada dengan sebuah dokumen yang dirilis USAID pada Januari 2013. Usai kekuasaan rezim Soeharto, USAID menyebut kekuatan transnasional mempengaruhi proses mobilisasi dan perluasan gerakan Islam berbasis ideologi. Gerakan ini mempresentasikan syariah, sistem Khilafah dan jihad sebagai satu-satunya solusi untuk mengekang krisis yang sedang melanda Indonesia.3
Keyakinan Barat akan kebangkitan Islam politik ideologis menjadikan agenda War on Terror, deradikalisasi ataupun ‘melawan ekstremisme kekerasasan’ (Countering Violent Extremisme/CVE) terus-menerus mengalami modifikasi. CVE sendiri telah dicanangkan Gedung Putih sejak tahun 2011.4 Apapun namanya, semua istilah tersebut mengarah pada stigmatisasi kelompok tertentu. Inti strategi tersebut adalah membentuk persepsi masyarakat bahwa terorisme dan semua derivatnya harus dilihat sebagai ancaman terbesar era ini. Karena itu AS “berkewajiban’ mencegah Muslim yang ‘rentan’ dari teradikalisasi oleh ekstremisme kekerasan. Yang dimaksud sebagai ekstremis tentu ideologi Islam yang dipersepsikan Barat sebagai akar dari terorisme.5
Adapun keterkaitan perempuan dan radikalisasi telah menjadi isu yang digulirkan Dewan Keamanan PBB, khususnya Direktorat Counter-Terrorism Committee, and the Committee’s Executive Directorate (CTED). Badan ini merupakan salah satu komite di bawah Counter-Terrorism Committee (CTC) yang dibentuk Dewan Keamanan PBB sebagai respon peristiwa 11 September 2001. Peran CTED salah satunya adalah memastikan pelaksanaan agenda kontra-terorisme dan strategi CVE yang menyasar peran perempuan. Perempuan akan dilibatkan sebagai target, pelaku dan mitra potensial. 6
Pelibatan perempuan dalam agenda melawan ekstremisme dan terorisme adalah jualan yang dipaksakan Barat. Sebagai komitmen untuk merealisasikan kesetaraan jender secara mutlak pada tahun 2030 melalui kampanye Planet 5050 (baca: Planet fifty fifty), perempuan diberi peran sebagai sumberdaya penting yang mendorong pelaksanaan semua agenda pesanan Barat. Agenda politik ataupun kultur ala Barat, yang dalam hal-hal tertentu sulit diterima dunia Muslim, diharapkan lebih mudah diterima umat ketika disosialisasikan dan diadvokasi oleh perempuan Muslim. Karena itu mereka dibina agar lebih berani berbicara menentang kebiasaan bahkan hukum Islam, termasuk yang terkait agenda depolitisasi Islam, khususnya agenda kontra ekstrimisme.
Pelibatan Perempuan dalam Agenda Kontra Ekstremisme
Pada workshop yang digagas Global Counterterrorism Forum (GCTF) dan Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) dinyatakan bahwa seharusnya perempuan—dalam pengarusutamaan gender—dilibatkan dalam upaya melawan ekstremisme. Pasalnya, peran mereka untuk mencegah ekstremisme dan terorisme amat berpengaruh, sekalipun pada beberapa kasus, perempuan tertarik aksi teror karena menderita ketidaksetaraan, marjinalisasi serta korban kekerasan seksual dan jender. Para perempuan tersebut bergabung dalam aksi ekstremisme sekadar membalas ketidakadilan yang mereka rasakan.
Kesepakatan Ankara dan Abu Dhabi yang digagas forum itu merekomendasikan agar para perempuan menjadi pelaku untuk menderaskan narasi deradikalisasi, termasuk memanfaatkan media sosial. Ada dua jenis opini yang disebarkan. Pertama, opini untuk mendiskreditkan kaum ekstremis, dikaitkan dengan serangan, pelanggaran dan pembatasan peran perempuan. Opini itu bisa memanfaatkan mantan ekstremis perempuan atau perempuan korban terorisme untuk menyoroti trauma terorisme yang terjadi dalam keluarga dan masyarakat. Kedua, dengan menyebarluaskan opini tandingan yang notabene adalah agenda universalitas ala Barat seperti isu jender, pemberdayaan potensi ekonomi perempuan, HAM, pluralisme, Islam moderat serta dialog antar iman.
Penting pula memberdayakan tokoh, organisasi perempuan dan komunitas masyarakat sipil sebagai sarana bertukar pengalaman dalam menemukan kepercayaan diri dan berbagi best practice. Bahkan mereka menghimbau kepolisian, badan keamanan, lembaga-lembaga pendidikan yang berbasis agama maupun sekular dalam memanfaatkan pengaruh perempuan dalam keluarga dan komunitas.
Meluruskan Masalah
Strategi menjauhkan politik hakiki dalam tatanan Islam jelas bakal memuluskan penjajahan global. Depolitisasi Islam juga mengakibatkan masyarakat mudah dikelabui dengan agenda hingga program yang mengatasnamakan kepentingan universal. Padahal sejatinya, semua agenda itu akan memasung dan memadamkan semangat umat dalam mewujudkan solusi hakiki atas semua persoalan yang menimpa mereka.
Semestinya perempuan dan umat Islam secara umum tidak mudah tertipu dengan rekayasa rezim kapitalis bila memahami Islam secara politis, yakni memahami bagaimana Barat memainkan peran konstelatifnya dan mengetahui motif-motif politik yang dimainkannya untuk menjerumuskan berbagai negara dan bangsa dalam rekayasa yang mereka ciptakan. Sungguh rekayasa tersebut amat berbahaya bagi manusia dan kemanusiaan, tidak hanya umat Islam.
Karena itu harus ada solusi mendasar yang mampu menghentikan sepak terjang yang muncul akibat penjajahan global ini. Solusi tersebut tidak mungkin terjadi tanpa ada upaya untuk mengubah pemahaman secara asasi. Sebabnya, perbuatan manusia dalam kehidupan ini akan berjalan sesuai dengan pemahamannya tentang kehidupan.
Adapun cara mengubah pemahaman adalah dengan mewujudkan opini umum tentang gagasan untuk menentang semua rekayasa global yang diwujudkan melalui peran negara adidaya. Selagi negara-negara Muslim mendukung superioritas Barat, akan sangat sulit bagi negara-negara terjajah untuk melenyapkan semua rekayasa itu. Karena itu perwujudan opini umum harus diiringi keyakinan yang dibentuk melalui keimanan akan janji Allah SWT, bahwa menegakkan sebuah negara kuat adalah satu-satunya harapan bagi negara-negara yang tertindas untuk membebaskan diri dari rekayasa-rekayasa imperialistik Kapitalisme.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendorong individu-individu untuk mengikuti aktivitas-aktivitas politik dalam gerakan Islam ideologis seraya terus memahami politik internasional. Dengan kata lain, mewujudkan kesadaran politik di tengah-tengah masyarakat. Namun, kesadaran politik bukan berarti sekadar mengerti akan situasi politik, konstelasi internasional, atau mengikuti aktivitas-aktivitas politik. Orang yang berkesadaran politik harus tetap berpegang pada kebenaran (fakta), dan mengkaitkannya dengan cara pandang ideologi Islam dalam semua aktivitasnya. Dengan demikian dia akan melihat fakta secara objektif sesuai dengan sudut pandang tertentu, yakni Islam.
Kita berharap pada Allah, agar proses tersebut segera terwujud agar kegelapan Kapitalisme tergantikan dengan cahaya Islam. [Pratma Julia Sunjandari; Lajnah Siyasi DPP MHTI]
Catatan kaki:
- https://news.detik.com/berita/d-3369149/bantu-suami-terkait-bom-panci-istri-nur-solihin-ditangkap-densus
- http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-38280882
- VIOLENT EXTREMISM AND INSURGENCY IN INDONESIA: A RISK ASSESSMENT, USAID, Januari 2013, hlm. 4.
- Empowering Local Partners to Prevent Violent Extremism In The United State, August 2011, White House
- K. Mustarom, “Narasi Tunggal PBB: Gagal di Suriah, PBB Membuat Prevent Violent Extremism,” Lapsus Edisi 06/April 2016, www.Syamina.org, hlm. 5.
- https://www.un.org/sc/ctc/focus-areas/womens-role/
- Taqiyuddin an-Nabhani. KONSEPSI POLITIK HIZBUT TAHRIR. 2009. HTI-Press.