HTI

Syari'ah

Penghimpunan dan Penulisan Al-Qur’an


Rasul saw., ketika turun ayat al-Quran, langsung membacakan ayat itu kepada para sahabat. Para sahabat juga langsung menghapalkannya. Para sahabat juga mendengar bacaaan al-Quran dari Rasul saw. dalam shalat-shalat siang dan malam. Menghapal al-Quran menjadi tradisi mereka. Bahkan itu menjadi syiar dan slogan mereka pada Perang Yamamah seperti dituturkan oleh Ibnu Katsir dalam Al-Bidâyah wa an-Nihâyah.  Banyak sekali dari sahabat yang hapal al-Quran, baik seluruhnya atau sebagiannya. Karena itu al-Quran dinukilkan oleh banyak sekali sahabat melalui lisan mereka yang mencapai jumlah tawâtur berasal dari lisan Nabi saw.
Saat turun wahyu, Rasul saw. juga memanggil penulis wahyu untuk menuliskannya. Setelah selesai, dibacakan kepada beliau dan beliau cek dan beliau koreksi jika salah. Ibnu Abbas ra. menuturkan dari Utsman bin Affan ra.: Rasulullah saw., jika turun kepada beliau sesuatu dari al-Quran, memanggil orang yang menuliskannya di depan beliau. Beliau bersabda, “Letakkan ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini-begini.” Turun kepada beliau satu ayat, beliau bersabda, “Letakkan ayat ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini-begini.” Turun kepada beliau banyak ayat, beliau bersabda, “Letakkan ayat-ayat ini di surat yang di dalamnya disebutkan begini-begini.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud, al-Hakim, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, Abu Ubaid, Ibnu Abiy Syaibah, Said bin Manshur, Abu Nu’aim, Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Abi Hatim).

Ath-Thabarani meriwayatkan dalam Mu’jam al-Kabîr dari Zaid bin Tsabit ra.: Aku menulis wahyu di depan Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Tulislah!” Beliau lalu mendektekannya kepadaku. Jika aku selesai, beliau bersabda, “Bacalah!” Aku pun membacakannya. Jika ada yang kurang beliau luruskan.”

Dengan demikian semua ayat al-Quran itu selain dihapal oleh banyak sekali sahabat serta dituliskan di lembaran (shuhuf) lempengan batu, pelepah kurma, tulang kering atau kulit. Apa yang dihapal oleh para sahabat sama persis dengan yang ditulis dalam lembaran-lembaran itu. Rasul saw. juga menunjukkan letak susunan ayat-ayat itu, sesuai arahan dari Jibril as. Lembaran-lembaran (ash-shuhuf) itu disimpan oleh para sahabat dan belum dikumpulkan menjadi satu hingga Rasul saw. wafat.

Barulah pada masa Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. lembaran-lembaran itu dikumpulkan menjadi satu. Zaid bin Tsabit ra. menuturkan: Abu Bakar mengirimkan kepadaku berita tentang mereka yang syahid pada Perang  Yamamah dan Umar bin al-Khaththab ra. bersama beliau.  Abu Bakar berkata, “Umar mendatangiku dan berkata, ‘Kematian pada Perang Yamamah menimpa banyak para qâri’ (hâfizh) al-Quran. Aku khawatir kematian akan terus menimpa para qâri’ di tempat-tempat lain sehingga banyak al-Quran yang akan hilang dan aku berpendapat agar Anda memerintahkan untuk mengumpulkan al-Quran.’  Aku berkata kepada Umar, ‘Bagaimana kita melakukan apa yang tidak dilakukan Rasulullah saw.?’  Umar berkata, ‘Hal itu demi Allah adalah baik.’  Tidak henti-henti Umar mengingatkan aku hingga Allah menerangi hatiku tentang hal itu dan aku melihat kebenaran pendapat Umar.’” Zaid bin Tsabit berkata: Abu Bakar berkata, “Anda adalah seorang pemuda yang pandai. Kami tidak meragukan Anda.  Anda menulis wahyu untuk Rasulullah saw. Karena itu telusurilah (lembaran) al-Quran dan kumpulkanlah!” Demi Allah SWT, andai ia membebaniku agar  memindahkan gunung, itu lebih ringan daripada apa yang ia perintahkan kepadaku untuk mengumpulkan al-Quran.” Aku (Zaid) berkata, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.?”  Abu Bakar berkata, “Demi Allah itu adalah baik.” Abu Bakar tidak henti-hentinya mengulanginya kepadaku hingga Allah menerangi hatiku seperti Allah telah menerangi hati Abu Bakar dan Umar. Lalu aku mencari (tulisan) al-Quran dan aku kumpulkan dari (tulisan di) tulang kering, pelepah kurma dan dari dada (hapalan) manusia hingga aku menemukan akhir surat at-Taubah ada pada Abu Khuzaimah al-Anshari dan aku tidak mendapatinya pada orang lain.

﴿لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ ﴿١٢٨﴾ فَإِن تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ﴾

Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Berat terasa oleh dia penderitaan kalian; dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian’; dan dia amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan Pemilik ‘Arsy yang agung.” (QS at-Tawbah [9] : 128-129).

 

Ash-Shuhuf (lembaran-lembaran) itu ada pada Abu Bakar hingga Allah mewafatkan beliau, kemudian ada pada Umar selama hidupnya, kemudian ada pada Hafshah binti Umar (HR al-Bukhari, Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban, al-Baihaqi, Abu Ya’la, ath-Thabarani, ath-Thahawi, Ibnu Jarir, Ibnu Abiy Dawud, ath-Thayalisi, Ibnu Saad dan Ibnu al-Mundzir).

Jelas dari riwayat itu, Zaid bin Tsabit dalam mengumpulkan shuhuf al-Quran menyandarkan pada dua  perkara: Pertama, hafalan sahabat. Kedua, tulisan yang ditulis di hadapan Rasul saw., dan suatu lembaran tulisan al-Quran tidak diterima kecuali disertai dua orang saksi yang menyaksikannya.

Yahya bin ‘Abdurrahman bin Hathib menuturkan: Umar berkata, “Siapa yang menerima dari Rasulullah saw. sesuatu dari al-Quran hendaklah datang membawanya kepada kami!” Mereka menulis itu di shuhuf pelepah kurma, lempengan batu, kulit dan tulang kering. Tidaklah diterima dari seorang pun sesuatu sampai bersaksi atasnya dua orang saksi (Ibnu Abiy Dawud, al-Mashâhif; Ibnu ‘Asakir, Târîkh Dimasyqâ; Ibnu Syabbah an-Numairi, Târîkh al-Madînah).

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar, yang dimaksud dua saksi adalah hapalan dan tulisan.  Adapun menurut Imam as-Sakhawiy, yang dimaksud dua saksi adalah dua orang laki-laki adil yang menyaksikan  ayat tersebut ditulis di hadapan Nabi saw. (Az-Zarqani, Manâhil al-‘Irfân; as-Suyuthi, Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân).

Di sinilah, apa yang ada pada Abu Khuzaimah al-Anshari seorang adalah lembaran tulisannya. Itu diterima meski yang bersaksi hanya Abu Khuzaimah seorang sebab Rasul saw menilai kesaksian Abu Khuzaimah sebagai kesaksian dua orang. Selain itu, Zaid dan para sahabat juga hapal dua ayat at-Taubah yang ada di lembaran Abu Huzaimah itu.

Berikutnya shuhuf yang telah dikumpulkan pada masa Abu Bakar itu disalin dalam mushhaf atas perintah Khalifah Utsman bin Affan ra. Anas bin Malik menuturkan bahwa Hudzaifah bin al-Yaman datang kepada Utsman. Sebelum itu ia memerangi penduduk Syam pada pembebasan Armenia dan Azerbaijan bersama dengan penduduk Irak. Lalu ia terkejut oleh perbedaan mereka dalam qirâ’ah al-Quran. Hudzaifah berkata kepada Utsman, “Wahai Amirul Mukminin, perbaikilah umat ini sebelum mereka berselisih dalam al-Kitab seperti perselisihan Yahudi dan Nashara.” Utsman lalu mengirim kepada Hafshah, “Kirimkanlah ash-shuhuf. Akan kami salin dalam beberapa mushhaf kemudian akan kami kembalikan kepada Anda.” Lalu Hafshah mengirimkannya kepada Utsman. Kemudian Ustman menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin az-Zubair, Said bin al-‘Ash dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam.Mmereka menyalinnya dalam beberapa mushhaf. Utsman berkata kepada tiga orang Quraisy, “Jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid dalam sesuatu dari al-Quran maka tulislah dengan lisan Quraisy sebab tidak lain al-Quran turun dengan lisan mereka.” Setelah mereka menyalin ash-shuhuf dalam beberapa mushaf, Utsman mengembalikan ash-shuhuf kepada Hafshah. Utsman lalu mengirim ke tiap penjuru satu mushaf dari yag mereka salin dan beliau memerintahkan selainnya dari al-Quran dalam setiap shahîfah atau mushaf agar dibakar (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Yang dilakukan Utsman ini hanyalah menyalin sama persis dari shuhuf yang dikumpulkan pada masa Abu Bakar dari shuhuf yang ditulis di hadapan Nabi saw. Semua itu sama persis dengan yang ada dalam hapalan para sahabat secara mutawatir.

Jumlah mushhaf yang dikirimkan oleh Utsman ra ke berbagai penjuru itu ada tujuh mushhaf. Masing-masing ke Bashrah, Kufah, Syam, Makkah, Madinah, Yaman dan Bahrain. Satu lagi yang dipegang Ustman sendiri dan disebut mushhaf imam.

Mushhaf-mushhaf Utsman itu menghimpun semua qirâ’ah mutawatir yang sebagian besarnya dengan rasm (tulisan) yang sama. Adapun qirâ’ah dengan rasm berbeda hanya belasan tempat, disebar di mushhaf-mushhaf yang dikirimkan ke penjuru: rasm ini di mushhaf yang ini dan rasm itu di mushhaf yang itu, sebab Rasul menyetujui kedua rasm dan kedua qirâ’ah itu.

Berikutnya kaum Muslim membuat salinan dari mushaf-mushaf itu dengan rasm dan qirâ’ah yang sama, hingga sampai kepada kita seperti apa yang ditulis di depan Nabi saw. dan yang dibaca oleh para sahabat ra. (Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 62).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*