Sebagaimana kita ketahui, dalam sistem peradilan Islam, Qâdhi itu ada tiga, salah satunya adalah Qâdhi Mazhâlim. Lalu siapa Qâdhi Mazhâlim itu? Siapa yang mengangkatnya dan berapa jumlahnya?Telaah Kitab kali ini akan membahas tentang Qâdhi Mazhâlim, sebagaimana yang terdapat dalam Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam:
- Pasal 87 yang berbunyi: “Qâdhi Mazhâlim adalah qâdhi yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang dilakukan oleh negara, yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan; baik kezaliman itu dilakukan oleh Khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk yang dilakukan oleh para pegawai.”
- Pasal 88 yang berbunyi: “Qâdhi Mazhâlim diangkat oleh Khalifah atau oleh Qâdhi Qudhât. Adapun koreksi, pemberian peringatan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Khalifah, atau Qâdhi Qudhât, jika Khalifah memberikan wewenang tersebut kepada dirinya. Pemberhentian tidak dapat dilakukan terhadap Qâdhi Mazhâlim yang tengah memeriksa perkara kezaliman Khalifah, atau Mu’âwin Tafwîdh atau Qâdhi Qudât. Wewenang memberhentikan Qâdhi Mazhâlim dalam kondisi itu berada di tangan Mahkamah Madzhâlim.”
- Pasal 89 yang berbunyi: “Jumlah Qâdhi Mazhâlim tidak terbatas hanya satu orang atau lebih. Kepala Negara dapat mengangkat beberapa orang Qâdhi Mazhâlim sesuai dengan kebutuhan negara dalam mengatasi tindakan kezaliman. Pada saat para qâdhi menjalankan tugasnya, wewenang pengambilan keputusan hanya pada satu orang. Beberapa Qâdhi Mazhâlim boleh mengikuti dan mendampingi hakim pada saat sidang, namun wewenang mereka terbatas pada pemberian saran atau pendapat. Saran dan pendapat mereka tidak menjadi ketetapan atau keharusan untuk diterima oleh Qâdhi Mazhâlim.
(Lihat: Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 23).
Definisi Qâdhi Mazhâlim
Qâdhi Mazhâlim adalah qâdhi yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kezaliman yang dilakukan oleh negara, yang menimpa setiap orang yang hidup di bawah kekuasaan negara, baik rakyatnya sendiri maupun bukan; baik kezaliman itu dilakukan oleh Khalifah maupun pejabat-pejabat lain, termasuk para pegawai.
Dalil yang menjadi landasan dalam masalah Peradilan Mazhâlim adalah apa yang telah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau telah menetapkan apa yang diperbuat oleh seorang penguasa—baik berupa perintah atau bukan, yang tidak sesuai dengan arahan kebenaran ketika memutuskan perkara atau memerintah untuk rakyat—sebagai tindak kezaliman. Anas menyatakan: Harga-harga pernah melambung tinggi pada masa Rasulullah saw. Lalu para Sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, andai saja Anda mematok harga (tentu tidak melambung seperti ini).” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Sungguh Allahlah Yang menciptakan, memegang dan melapangkan; Yang Maha Pemberi rezeki dan Yang menentukan harga. Aku tidak berharap akan berjumpa dengan Allah kelak, sementara ada seseorang yang menuntutku karena kezaliman yang aku perbuat kepada dia dalam perkara yang bekaitan dengan darah atau harta.” (HR Ahmad).
Dengan demikian Rasulullah saw. telah menjadikan tindakan mematok harga sebagai suatu kezaliman.
Rasul saw. pun telah menjadikan penyelesaian atas perkara-perkara yang terjadi dalam masalah hak-hak semua orang, yang diatur oleh negara untuk masyarakat, sebagai bagian dari kewenangan Qâdhi Mazhâlim. Misalnya, kasus komplain seorang Anshar tentang pengaturan negara dalam masalah pengairan yang ditetapkan berdasarkan urutan. Hadis selengkapnya terkait kasus tersebut adalah seperti yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Urwah bin Zubair, bahwa Abdullah bin Zubair bercerita kepada dia: Seorang Anshar pernah memperkarakan Zubair kepada Rasulullah saw. dalam masalah irigasi yang digunakan untuk mengairi kurma. Orang Anshar itu berkata, “Biarkan air terus mengalir.” Namun, Zubair menolak. Lalu orang Anshar itu mengadukan Zubair kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda kepada Zubair, “Airilah tanahmu, wahai Zubair, kemudian alirkan air itu ke tetanggamu.”
Akan tetapi, orang Anshar itu tidak puas dengan keputusan Rasulullah saw., bahkan marah, seraya berkata, “Wahai Rasulullah saw, apakah karena dia sepupumu.”
Melihat sikap orang Anshar yang demikian itu, Zubair berkata: Demi Allah, sungguh aku menilai bahwa ayat ini turun berkenaan dengan masalah itu, yaitu ayat: “Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa [4]: 65).”
Karena itu setiap bentuk kezaliman yang menimpa seseorang yang berasal dari penguasa, atau dari pengaturan dan perintah-perintah negara, dinilai sebagai mazhlimah (kezaliman). Demikian sebagaimana yang dapat dipahami dari kedua hadis di atas.
Selanjutnya, perkara kezaliman seperti itu disampaikan kepada Khalifah agar kezaliman tersebut diselesaikan, atau disampaikan kepada orang yang mewakili Khalifah, yaitu Qâdhi Mazhâlim (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 258; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 122; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 198).
Pengangkatan dan Pemberhentian Qâdhi Mazhâlim
Qâdhi Mazhâlim diangkat oleh Khalifah atau oleh Qâdhi Qudhât (Kepala Qâdhi). Sebab, mazhâlim adalah bagian dari peradilan, yaitu penyampaian keputusan hukum syariah yang bersifat mengikat. Qâdhi dengan segala macamnya tidak lain diangkat oleh Khalifah. Hal itu sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan, bahwa Rasululah saw. adalah pihak yang mengangkat qâdhi dengan segala macamnya, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya. Dengan demikian Khalifahlah yang berhak mengangkat Qâdhi Mazhâlim. Namun, Qâdhi Qudhât boleh mengangkat Qâdhi Mazhâlim jika Khalifah memberikan wewenang itu kepada dirinya yang tertuang di dalam akad pengangkatannya. Khalifah boleh membatasi tugas Mahkamah Mazhâlim Pusat yang berada di ibukota Daulah Khilafah untuk memeriksa dan memutuskan perkara mazhâlim yang berasal dari Khalifah, para wazîr dan Qâdhi Qudhât; serta boleh juga membatasi agar Mahkamah Mazhâlim cabang hanya untuk memeriksa dan memutuskan perkara mazhâlim di wilayah yang berasal dari para wali dan amil, serta pegawai negeri lainnya. Khalifah juga boleh memberikan kepada Mahkamah Mazhâlim Pusat kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan Qâdhi Mazhâlim yang ada di wilayah cabang (tingkat propinsi), yang berada di bawah otoritas Mahkamah Mazhâlim Pusat. Dengan demikian Khalifah memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan anggota Mahkamah Mazhâlim Pusat di ibukota Daulah Khilafah.
Adapun pemberhentian Kepala Mahkamah Mazhâlim Pusat, yaitu Qâdhi Mazhâlim yang berwenang memeriksa dan memutuskan pemberhentian Khalifah, maka hukum asalnya berada di tangan Khalifah, sebagaimana Khalifah juga memiliki hak untuk mengangkatnya seperti terhadap semua qâdhi. Akan tetapi, terdapat suatu kondisi yang diduga kuat, bahwa jika wewenang pemberhentian Kepala Mahkamah Mazhâlim Pusat itu tetap diletakkan di tangan Khalifah, maka wewenang itu akan menyebabkan terjadinya keharaman. Karena itu dalam kondisi yang demikian ini diterapkan kaidah:
الوَسِيلَةُ إِلىَ الحَرَامِ حَرَامٌ
Sarana yang mengantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram.
Dugaan kuat (ghalabah azh-zhan) saja sudah cukup untuk menerapkan kaidah ini. Kondisi tersebut adalah, jika terdapat perkara yang diajukan berkenaan dengan kezaliman yang berasal dari Khalifah atau para wazîr atau Qâdhi Qudhât, sedangkan Khalifah masih memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qâdhi Mazhâlim, maka adanya wewenang pemberhentian Qâdhi Mazhâlim yang masih di tangan Khalifah ini akan mempengaruhi keputusan Qâdhi Mazhâlim tersebut. Hal ini bisa membatasi kemampuan Qâdhi Mazhâlim untuk memutuskan pemberhentian Khalifah atau para pembantu Khalifah, misalnya. Oleh karena itu, wewenang pemberhentian yang tetap berada di tangan Khalifah dalam kondisi ini akan menjadi wasilah atau sarana yang mengantarkan pada keharaman. Jadi, dalam kondisi seperti ini adanya wewenang pemberhentian Qâdhi Mazhâlim yang tetap berada di tangan Khalifah adalah haram. Adapun dalam kondisi-kondisi yang lain hukumnya tetap sesuai dengan hukum asalnya, yaitu bahwa wewenang memberhenti-kan Qâdhi Mazhâlim adalah menjadi hak Khalifah, yang dalam hal ini sama sebagaimana pengangkatannya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 260; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 123; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 199).
Jumlah Qâdhi Mazhâlim
Jumlah Qâdhi Mazhâlim tidak terbatas hanya satu orang. Kepala Negara dapat mengangkat beberapa orang Qâdhi Mazhâlim sesuai dengan kebutuhan negara dalam mengatasi tindakan kedzaliman. Pada saat para qâdhi menjalankan tugasnya, wewenang pengambilan keputusan hanya pada satu orang. Sejumlah Qâdhi Mazhâlim boleh mengikuti dan mendampingi hakim pada saat sidang, namun wewenang mereka terbatas pada pemberian saran atau pendapat. Saran dan pendapat mereka tidak menjadi ketetapan atau keharusan untuk diterima oleh Qâdhi Mazhâlim.
Dalil bahwa Qâdhi Mazhâlim boleh lebih dari satu adalah karena Khalifah mempunyai hak untuk mengangkat orang yang bisa mewakili dirinya baik satu orang atau lebih. Hanya saja, sekalipun jumlah Qâdhi Mazhâlim itu banyak, wewenang untuk memutuskan perkara kezaliman itu tetap tidak bisa dibagi-bagi, meski masing-masing dari mereka berhak memutuskan perkara kezaliman tersebut. Akan tetapi, Khalifah boleh mengkhususkan seorang Qâdhi Mazhâlim untuk suatu wilayah (kekuasaan atau wewenang), serta boleh mengkhususkannya untuk menyelesaikan beberapa kasus tertentu. Sebab, Qâdhi Mazhâlim diberi wilayah (kekuasaan atau wewenang) untuk menyelesaikan kasus kezaliman dengan wewenang umum dan khusus, baik wewenang di seluruh negeri, satu wilayah, kota atau daerah sesuai dengan perintahnya.
Adapun keberadaan Qâdhi Mazhâlim, ketika sedang menangani kasus kezaliman tidak boleh lebih dari satu, maka hal ini telah dijelaskan sebelumnya tentang tidak boleh ada lebih dari seorang qâdhi dalam memutuskan satu kasus. Adapun terkait tempatnya boleh lebih dari satu. Akan tetapi, ketika sedang menangani kasus kezaliman, seorang Qâdhi Mazhâlim boleh didampingi oleh para Qâdhi Mazhâlim lainnya. Keberadaan mereka itu hanya sebatas memberikan masukan, saran atau pendapat, dan tidak ikut membuat keputusan. Adapun keputusannya dikembalikan pada keridhaan dan pilihannya. Karena itu kalau ia tidak membutuhkannya, bahkan tidak suka ada qâdhi lain bersama dirinya, maka tidak boleh ada qâdhi lain yang bersama dia. Sebab, tidak boleh ada satu orang pun yang nantinya akan merepotkan Qâdhi dalam memberikan keputusan atas kasus yang sedang dia tangani. Hanya saja, kalau keberadaan qâdhi yang lain itu diangkat dari Majelis Hakim, maka ia harus bermusyawarah dengan mereka dalam perkara tersebut sebelum membuat keputusan (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 260; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 200).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan:
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.