Berbagai isu perpolitikan bermun-culan di tengah masyarakat. Salah satu hal yang menarik adalah terkait istilah ‘radikal’. Pasca putaran 1 Pilkada DKI Jakarta muncul propaganda, ‘Bila pasangan calon nomor 2 kalah, maka Islam radikal akan merajalela di Jakarta’. Sungguh, itu merupakan isu yang sangat tendensius. Untuk memenangkan calonnya, Islam dan umat Islam yang digebuk dan dijadikan sasaran.
Ketika membaca postingan tersebut, saya teringat pada apa yang disampaikan oleh Mantan KSAD Jendral (Purn) Tyasno Sudarto beberapa waktu lalu. “Saya mencoba membuka-buka kamus. Ternyata, kata radikal itu tidak selalu jelek,” ungkap mantan Pangdam IV/Diponegoro itu.
“Saya khawatir, cap radikal itu justru menjadikan masyarakat tidak berani melawan penjajahan,” tambahnya.
Saat itu saya sampaikan, “Dulu, Pangeran Diponegoro disebut penjajah Belanda sebagai orang radikal. Mengapa? Hanya karena beliau melawan penjajah.”
Saya tambahkan, “Dulu ada gerakan penjajahan bernama Radicale Concentratie. Gerakan itu dianggap berbahaya oleh Belanda, namun dipandang pejuang oleh rakyat.”
Beliau pun sejak itu tidak pernah hilang dari daftar hitam penjajah Hindia Belanda.
Memang, bila dilihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata radikal itu bermakna secara mendasar (sampai ke hal yang prinsip), amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), serta maju dalam berpikir dan bertindak. Jelas, kata radikal itu tidak bermakna negatif, justru positif, setidaknya netral.
Mengapa kata itu kini berkonotasi negatif? Jawabannya barangkali terjawab oleh sejarah dulu. Bila yang menggunakan sang penjajah maka kata radikal berkonotasi negatif. Sebaliknya, menurut masyarakat kata radikal itu bermakna positif sebab merekalah yang melawan penjajahan dan ketidakadilan.
Kini, tuduhan itu ditujukan kepada umat Islam. Sebut saja, Mantan Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan menuding Aksi Bela Islam yang dilakukan oleh ulama dan jutaan umat Islam dimotori oleh kelompok yang ia sebut kelompok radikal. Dalam acara Jakarta Foreign Correspondents Club, Luhut mengatakan, “Pemerintah tidak kalah dalam perjuangan melawan radikalisme meskipun kelompok-kelompok Islamis garis keras menarik ratusan ribu orang untuk melakukan protes melawan gubernur Jakarta yang beragama Kristen.” (Voice of America 16/12/2016).
Padahal apa yang dilakukan mereka yang dituduh radikal itu? Mereka menghendaki penista al-Quran dihukum. Namun, alih-alih tuntutan keadilan itu dipenuhi, yang diperoleh justru cap radikal. Apakah umat Islam memiliki sikap yang sama dengan dia dan turut mencap radikal? Tidak! Penguasa menuduh radikal, sementara umat Islam memandangnya pejuang. Persis seperti jaman Belanda. Penjajah mencap radikal, sementara masyarakat justru memandangnya pejuang.
Perlu diakui, ghirah (semangat) keislaman masyarakat makin meningkat. Bila itu yang dimaksud radikal, barangkali ada benarnya. Namun, siapapun yang mengamati berbagai peristiwa akan mengatakan bahwa radikalisasi itu diciptakan sendiri oleh penguasa.
Ketika tuntutan untuk menangkap dan menghukum penista al-Quran muncul, Pemerintah abai. Masyarakat merasa haknya dilecehkan. Terjadilah Aksi Bela Islam 1. Dengan alasan belum ada fatwa MUI, sang penista pun dibiarkan. Setelah sikap keagamaan MUI keluar, sang penista tidak segera dijadikan tersangka. Kabareskrim mengatakan bahwa fatwa MUI tidak dapat dijadikan dasar acuan. Sang penista pun tidak diapa-apakan. Umat makin marah, mereka menyebutnya makin radikal. Muncullah Aksi Bela Islam II, alias Aksi 411.
Proses hukum yang tidak biasa dilakukan, gelar perkara secara terbuka. Ternyata, para ahli menetapkan perkara ini harus berlanjut ke pengadilan. Umat melihat tuntutan keadilan sedang dipermainkan. Penista dijadikan tersangka, namun tidak ditahan. Padahal berbagai kasus penistaan agama di Indonesia selalu ditahan, apalagi setelah tersangka. Masyarakat makin marah. Rasa keadilan terasa dipermainkan. Tidak mengherankan, muncullah Aksi Bela Islam III 212 dengan jumlah massa 7 jutaan. Penista al-Quran tetap bebas. Kita melihat, tensi umat Islam makin meningkat. Mengapa? Keadilan yang mereka tuntut hampir melahirkan keputusasaan. Penista al-Quran dilindungi. Bila proses ini dianggap sebagai terjadinya peningkatan sikap ‘radikal’ maka penyebabnya tidak lain ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Jadi, sejatinya Pemerintah sendiri yang sedang melakukan ‘radikalisasi’.
Tak berhenti hingga di situ. Fatwa MUI dianggap sebagai ancaman bagi keragaman dan kebhinekaan, sebagaimana disampaikan Kapolri. Masyarakat pun makin sadar, kini tengah terjadi kriminalisasi ulama dan ormas Islam. Perasaan diperlakukan tidak adil dalam hal al-Quran dan ulama mendorong masyarakat bergerak dengan slogan Aksi Bela Ulama dan Ormas. Tidak mengherankan, rakyat makin semangat membela Islam, ulama dan ormas Islam. Rakyat dianggap tambah radikal. Hal ini bertambah kuat saat mereka yang menuntut keadilan tersebut justru dituding membahayakan keragaman, anti kebhinekaan dan mengancam kehidupan kebangsaan.
Tak cukup sampai di sana. Pada saat Gubernur DKI menjadi terdakwa, Pemerintah tidak mengambil tindakan. Sejatinya, siapa pun gubernur yang terdakwa harus diberhentikan sementara. Lagi-lagi, kezaliman ditimpakan kepada umat Islam. Apa yang terjadi? Umat Islam makin merasakan betapa penguasa sangat otoriter terhadap umat Islam, berpihak kepada penista al-Quran. Akhirnya, umat Islam tampak makin ‘radikal’.
Jelaslah, yang menjadikan umat Islam ‘radikal’ (bila memang boleh digunakan kata tersebut) adalah penguasa sendiri. Lalu setelah itu, penguasa pun mengambil berbagai tindakan dengan alasan menghentikan radikalisme yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri. Situs Islam dibredel. Revisi UU Antiterorisme digemakan. Revisi UU Ormas disiapkan. Bahkan rencana sertifikasi khatib pun dijadikan bahasan workshop.
Bagaimana deradikalisasi yang efektif? Stop kezaliman penguasa! Tegakkan keadilan! Biarkan umat Islam berpegang teguh pada agamanya! [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]