HTI

Jejak Syariah

Rohingnya: Terhapus Secara Sistematis dari Sejarah (Bagian 2 – habis)


Kedua: Kolaborasi rezim dan dogma agama. Aksi-aksi brutal yang mengarah pada tindakan genosida ini menemukan momentum penguatan tatkala ada kolaborasi rezim yang ada dengan suara mayoritas yang ada, yakni umat Budha. Muncul tirani mayoritas atas minoritas. Pengamat politik Myanmar dari Universitas Deakin Australia, Anthony Ware, mengatakan, terdapat dukungan kuat dari kelompok mayoritas Budha di Myanmar untuk melakukan aksi-aksi anti-Rohingya. Aksi tersebut dipimpin oleh para biksu Budha ultra nasionalis, Biksu Wirathu.

Sebagaimana dilansir oleh CNN, Jumat (18/11), Ware mengatakan bahwa di Myanmar Muslim sering dianggap sebagai nasionalisme, padahal Muslim itu penganut agama, bukan bangsa tertentu. Orang-orang Budha di Myanmar menilai Muslim sebagai ancaman bagi keamanan nasional dan agama Budha. Biksu Wirathu bahkan menegaskan secara terbuka dalam khutbah yang diliput media internasional bahwa dia secara terang-terangan memproklamirkan diri sebagai musuh Islam. “Anda bisa berikan kebaikan dan rasa kasih, tetapi Anda tidak bisa tidur di samping anjing gila,” kata Wirathu seperti dikutip The New York Times, 21 Juni 2013. Yang dimaksud “anjing gila” oleh Wirathu adalah Muslim Rohingya sebagaimana tema khutbahnya.

Telah dua tahun pidato anti-Islam itu didengungkan Wirathu. Hingga kini ia tidak berubah; masih memusuhi Muslim Rohingya, bahkan memprovokasi kaum Budha untuk memboikot dan membantai mereka.

Biksu Wirathu  mencetuskan gerakan ‘969’; sebuah gerakan anti-Islam yang kemudian membantai Muslim Rohingya dan mengusir mereka dari tanah kelahirannya.

Catatan hitam Wirathu mencuat sejak tahun 2001. Waktu itu ia menghasut kaum Budha untuk membenci Muslim. Hasilnya, kerusuhan anti-Muslim pecah pada tahun 2003. Wirathu sempat mendekam di penjara. Namun, ia dibebaskan pada tahun 2010 atas amnesti yang juga diberikan untuk ratusan tahanan politik.

Wirathu kini menjabat sebagai kepala di Biara Masoeyein Mandalay. Di kompleks luas itu Wirathu memimpin puluhan biksu dan memiliki pengaruh atas lebih dari 2.500 umat Budha di daerah tersebut. Dari basis kekuatannya itulah Wirathu memimpin gerakan anti-Islam “969”.

Kampanye provokatif Wirathu itu mulai meluas pada awal 2013. Ia berpidato di berbagai tempat, menyalakan kebencian kaum Budha atas umat Muslim. Selain melalui pidato, gerakan 969 juga menyebar dengan cepat melalui stiker, brosur dan sebagainya. Kebencian dan anti-Islam meluas dengan cepat, berbuah pembantaian dan pengusiran Muslim Rohingya.

Sebelumnya, militer juga sering melakukan kekerasan dan pemerkosaan terhadap anak-anak. Kelompok HAM telah mendokumentasikan kejahatan militer Myanmar sejak lama, terutama kejahatan terhadap etnis minoritas di Rakhine dan Kachin. “Saat ini Rakhine berada di bawah kendali militer. Penduduk Rakhine tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Ware.

Menurut pendiri Fortify Rights di Bangkok, Matthew Smith, militer Myanmar saat ini sedang melakukan genosida terhadap suku Rohingya. Mereka melakukan segala cara untuk memusnahkan suku Rohingya dari muka bumi. Militer Myanmar, ujar Smith, sedang memusnahkan umat Muslim di Rakhine. Mereka sedang melakukan kejahatan internasional. “Kami telah mendokumentasikan bagaimana Pemerintah di Rakhine berencana menghancurkan rumah-rumah suku Rohingya sebelum terjadinya kerusuhan Oktober lalu. Dokumen itu menunjukkan bagaimana strategi mereka menghancurkan Muslim Rohingya,” katanya.

Jadi, sejatinya aksi brutal atas Muslim Rohingnya tidak akan pernah terjadi jika tidak ada kolaborasi rezim yang ada dengan biksu Budha ultra nasionalis, yang dipimpin oleh Biksu Wirathu. Simbiosis kekuatan militer rezim yang ada dengan dogma agama ini akhirnya seperti senjata yang mendapat legalisasi hukum spiritual untuk dimuntahkan. Tirani Mayoritas menjadi momok tersendiri bagi umat Islam Rohingnya. Walhasil, logika kemanusiaan, persaudaraan, mengakui perbedaan, keberagaman dan yang lain menjadi tidak berlaku sama sekali. Kelompok HAM tidak berkutik dan bersuara sama sekali. Aneh.

Ketiga: Perebutan kekayaan alam oleh korporasi asing. Pada tahun 1988, muncul undang-undang investasi asing baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, Myanmar menggunakan sistem pasar bebas. Adanya undang-undang baru dengan nama The Union of Myanmar Foreign Investment Law menjadi pintu masuk bagi negara kapitalis dan korporasi multinasional bebas melenggang masuk ke Myanmar. Payung hukum ini juga menjadi perlindungan untuk menggarap sektor eksplorasi serta pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing.

Myanmar, sebagaimana dilaporkan Forbes, diperkirakan memiliki cadangan migas  sebesar 11 triliun dan 23 triliun kaki kubik. Hal tersebut membuat perusahaan multinasional asing berebut mendapatkan kesepakatan mengeksplorasinya. Myanmar juga berada dalam posisi geopolitik yang menguntungkan, terutama bagi Cina, karena merupakan akses ke Laut India dan laut Andaman.

Pada kasus Arakan ini adalah pertarungan soal minyak dan gas bumi. Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Pihak rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini ternyata melibatkan juga perusahaan asing selain Cina, seperti Chevron AS maupun Total Prancis. Dari sinilah menjadi salah satu faktor penyebab konflik di Arakan. Karena itu sulit dihindari dugaan ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar yang menjadikan umat Islam di Rohingnya menjadi tumbal. Hal ini tampak pada upaya sengaja untuk merampas hak atas tanah, penolakan kewarganegaraan, pembantaian massal, pengusiran, pembakaran pelarangan pelaksanaan ibadah, penutupan jalur pasokan makanan dan sejumlah tindakan brutal lainnya.

Cina berkepentingan mengakses gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal. Sumur energi alam itu konon diperkirakan mengandung deposit gas hingga 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis dieksploitasi hingga 30-an tahun. Pipanisasi dan pembangunan akses jalan darat untuk ekspoitasi gas bumi itu melewati kantong-kantong Muslim Myanmar. Karena itu junta militer Myanmar berkepentingan untuk mengusir warga Muslim itu.

Jalur Pipa Shwe, menurut Hasrul Hanif (Dosen JPP UGM dalam diskusi MAP Corner-klub MKP UGM yang diselenggarakan pada Kamis, 28 Mei 2015), merupakan Joint venture antara China National Petroleum Corporation, induk Petrocina dan Myanmar Oil & Gas Enterprise, perusahaan milik Junta Militer, dengan titik strategis di Pelabuhan Sitwee, Arakan. Pipa ini melewati 21 daerah termasuk beberapa daerah rawan konflik etnis di Utara Myanmar. Cina sangat berkepentingan dengan jalur pipa ini untuk membawa migas ke negaranya dengan total investasi mencapai US $29 billion selama 3 dekade. Hal tersebut membuat rezim Junta Militer di Myanmar harus memastikan bahwa wilayah jalur pipa harus aman.

Adapun proyek gas Shwe merupakan kerjasama rezim Junta Militer dengan perusahaan India dan Korea Selatan. Proyek ini berencana memproduksi 500 juta kaki kubik (Mcfd) gas perhari selama 30 tahun, memasok 400 Mcfd ke Cina, dan 100 Mcfd tersisa untuk pabrik yang dimiliki oleh pemerintah Burma, militer dan elit bisnis terkait. Penduduk Rohingya yang berada di kawasan geo-politik strategis Cina di Myanmar dipaksa menyingkir dari kawasan tersebut, karena dianggap mengancam Jalur Pipa Shwe.

Kebutuhan arsenal junta militer Myanmar dipenuhi secara royal oleh Cina dan Rusia. Misalnya, pada kurun 1990-an, Cina memasok 100 tank ukuran sedang, 100 light tank, 24 unit pesawat tempur, 250 kendaraan militer, sistem peluncur roket, howitzer, senjata anti pesawat terbang dan keperluan militer ke Myanmar lainnya.

Empat tahun kemudian, Myanmar memesan lagi kapal perang, helikopter, senjata ringan dan artileri. Hal ini ditambah pengiriman 200 truk militer dan 5 kapal perang baru serta kerjasama program pelatihan militer tahun 2002. Tahun 2005 dikirim lagi 400 truk militer untuk melengkapi 1500 truk yang dipesan oleh Myanmar.

Sejak 2001, Departemen Pertahanan dan Departemen Ristek mengirimkan lebih dari 1500 teknisi mengikuti pelatihan di Rusia. Pada tahun 2002, memenuhi pesanan Myanmar 8 unit pesawat MiG-29 B-12 serta pelatih pesawat tempur sewaan senilai US$ 130 juta. Myanmar juga menandatangani program penelitian kapasitas berbasis reaktor nuklir dengan Rusia.

Di sisi lain perkembangan hubungan mesra Myanmar dengan Cina tentu menjadi perhatian serius AS. Dalam pandangan AS, Cina adalah ancaman serius di Asia Pasifik dalam konteks penguasan SDA dan perdagangan. Sejumlah dokumen Pentagon menyatakan, persaingan Cina dan AS semakin kuat.

Sinyal gelombang investasi AS semakin kuat dan terbuka tatkala Aung San Suu Kyi berkunjung AS pada medio Kamis (15/9/2016). Di hadapan Barack Obama, Suu Kyi menyerukan agar para pebisnis Amerika Serikat berinvestasi di Myanmar demi melancarkan demokratisasi di negara itu. Pernyataan ini disampaikan Suu Kyi setelah Presiden Barack Obama berkomitmen akan mencabut sanksi atas Myanmar.

Berbicara di Washington dalam kunjungan pertamanya ke AS sebagai orang terkuat di pemerintah Myanmar, Suu Kyi mengatakan pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi asing diperlukan demi meningkatkan taraf hidup, yang akan berimbas pada persepsi masyarakat soal unggulnya demokrasi. Jalur panjang intervensi AS yang senantiasa terhambat oleh junta militer, kembali terbuka setelah Suu Kyi membuka diri. AS total football masuk ke Myanmar, baik melalui jalur milter maupun ekonomi. Namun, dengan satu kondisi yang sama, yakni Muslim Rohingnya yang tetap menjadi tumbal pertemburan korporasi global. [Habis/Gus Uwik, dari berbagai sumber]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*