Meski bukan dalam rangka meratapi keruntuhan Khilafah yang terakhir, yakni Kekhilafahan Turki Utsmani, tepatnya pada 3 Maret 1924 lalu, tetap penting untuk mengingat tanggal tersebut sebagai sebuah tragedi besar umat Islam yang tidak boleh dilupakan. Pasalnya, keruntuhan Khilafah adalah pangkal semua persoalan dan penderitaan yang mendera umat Islam hingga hari ini.
Lebih dari itu, penegakan kembali Khilafah sesungguhnya adalah kewajiban dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Apalagi tanpa Khilafah, sebagaimana saat ini, sebagian besar syariah Islam terabaikan. Itulah di antara garis besar buah pemikiran Ustadz H.M Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dalam wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut wawancara lengkapnya.
HTI tak henti-henti menyerukan penerapan syariah dan penegakan Khilafah. Seberapa pentingkah hal itu hingga terus dilakukan, Ustadz?
Kita tahu, salah satu hambatan terbesar dari penerapan syariah dan penegakan Khilafah adalah kenyataan bahwa tidak sedikit umat Islam yang justru belum paham atau salah paham terhadap ide syariah dan khilafah.
Lebih dari 30 tahun umat di negeri ini hidup dalam rezim otoriter. Tidak ada ruang sedikit pun untuk berbicara tentang hal-hal yang fundamental dalam Islam, seperti soal syariah dan Khilafah. Karena itu wajar bila banyak dari umat Islam yang tidak paham atau salah paham terhadap syariah. Ada yang menilai syariah itu menakutkan, menghambat kemajuan dan sebagainya.
Apalagi terkait Khilafah. Kesalahpahamannya lebih parah. Fenomena ISIS membuat orang makin takut terhadap Khilafah. Karena itu penting sekali memahamkan atau meluruskan pemahaman mereka secara terus-menerus. Sudah tak henti-henti kita lakukan saja masih banyak yang belum paham atau salah paham, apalagi kalau berhenti.
Secara syar’i, mengapa penerapan syariah dan penegakan Khilafah itu penting?
Kita tahu, sebagian besar kewajiban—seperti menyejahterakan rakyat; mewujudkan keadilan ekonomi, politik, sosial dan hukum; pelindungan terhadap akidah, harta, kehormatan, keturunan dan keamanan; mempersatukan umat; serta mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia dan lainnya—semua itu berpangkal pada tegaknya syariah dan Khilafah. Artinya, selama syariah tidak diterapkan dan Khilafah tidak ditegakkan, semua kewajiban itu tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik. Memang, sebagian kewajiban individual—seperti shalat, puasa, zakat, haji, akhlak, pakaian, tersedianya makanan minuman halal dan beberapa kewajiban pribadi lainnya—masih bisa dilakukan. Namun, itu semua sebatas aspek kehidupan pribadi. Padahal kerahmatan atau kebaikan Islam yang kita dambakan bersama itu baru akan bisa diwujudkan bila Islam diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Benarlah kata para ulama, bahwa penerapan syariah secara kâffah dan penegakan Khilafah adalah min a’zham al-wajibât.
Harus diingat, kewajiban penerapan syariah secara kâffah dan penegakan Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tetapi pendapat seluruh ulama. Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah menyebutkan bahwa para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) rahimahumulLâh telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu fardhu; juga bahwa kaum Muslim itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum Muslim dalam waktu yang sama di seluruh dunia tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.
Oleh karena itu, mestinya umat Islam tak lagi memperdebatkan apakah syariah dan Khilafah itu wajib atau tidak. Pasalnya, dari penjelasan di atas, perkara ini sudah ma’lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah (sesuatu yang sudah diketahui urgensitasnya).
Melihat kondisi faktual, apakah penerapan syariah dan penegakan Khilafah itu juga penting?
Kita tahu juga, saat ini umat Islam tengah menghadapi berbagai masalah. Secara politik, umat Islam di seluruh dunia yang berjumlah lebih dari 1,6 miliar, yang mestinya bersatu, tercerai-berai, sehingga membuat umat tidak memiliki kekuatan untuk melindungi diri dari berbagai makar yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Apa yang saat ini tengah terjadi di Palestina, Suriah, Afganistan, Rohingnya- Myanmar dan tempat lain, termasuk di negeri ini, membuktikan hal itu.
Secara ekonomi pun, meski sebagian negeri Muslim cukup kaya, tak sedikit umat Islam yang tinggal di negara-negara lain hidup dalam kemiskinan. Akibat miskin, muncul berbagai persoalan sosial seperti kriminalitas, pemurtadan, kualitas SDM yang rendah sehingga mudah dijadikan bulan-bulanan pihak lain, persis seperti yang digambarkan oleh Nabi saw., bahwa umat Islam bagaikan makanan yang diperebutkan oleh orang-orang lapar dari berbagai arah. Semua itu tak lain berpangkal dari penerapan sekularisme dan negeri-negeri Muslim dalam cengkeraman neoimperialisme sejak syariah dan Khilafah tidak lagi ditegakkan.
Syariah yang kita perjuangkan ini diperlukan untuk menggantikan sistem sekularisme sehingga Islam rahmatan lil alamin bisa terwujud. Adapun Khilafah diperlukan untuk menyatukan Dunia Islam. Dengan persatuan itu kekuatan umat akan terbentuk. Dengan kekuatan itu juga kita bisa melindungi harta, jiwa dan kehormatan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Apa dalillnya bahwa menegakkan Khilafah itu wajib, Ustadz?
Secara syar’i, dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat) yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’iyyah. Dalil al-Quran, antara lain firman Allah SWT dalam QS an-Nisa’ ayat 59: Yâ ayyuhalladzîna âmanû athi’û AlLâha wa athî’û ar-Rasûl wa ûli al-amri minkum. Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian.”
Wajh al-istidlâl atau cara penarikan kesimpulan dari dalil dari ayat ini adalah, bahwa ayat ini telah memerintahkan kaum Muslim untuk mentaati ulil amri di antara mereka. Perintah untuk mentaati ulil amri ini sekaligus menjadi dalil tentang kewajiban mengangkat ulil amri. Pasalnya, tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) sebagai ulil amri bagi umat Islam adalah wajib.
Dalil al-Quran lainnya adalah firman Alllah SWT dalam QS al-Maidah ayat 48: Fahkum baynahum bimâ anzala AlLâhu wa lâ tattabi’ ahwâ’ahum ‘amâ jâ’aka min al-haqq. Artinya, “Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
Wajh al-istidlâl dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah saw. untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum Muslimin dengan wahyu yang telah Allah turunkan, yakni syariah Islam. Kaidah ushul fikih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah saw. hakikatnya adalah perintah kepada umatnya selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu hanya kepada Rasulullah saw. saja. Faktanya, tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah saw. Artinya apa? Artinya, perintah tersebut berlaku juga untuk kaum Muslim seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan syariah Islam ini tidak akan bias dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah). Dengan demikian ayat di atas, juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan hakikatnya adalah dalil atas kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah) yang akan menegakkan syariah Islam itu.
Adapun dalil dari as-Sunnah banyak, antara lain, Rasul saw. bersabda sebagaimana diriyatkan oleh Imam Muslim, “Man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’at[un] mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an].” Artinya, “Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliah.”
Dalâlah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, yakni bahwa jika seorang Muslim disebut mati jahiliah (mati dalam keadaan berdosa) karena tidak berbaiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Padahal baiat itu tidak diberikan kecuali kepada seorang imam (khalifah). Jelas, hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.
Sebetulnya masih banyak dalil lain dari as-Sunnah yang tentu tidak bia disebutkan semuanya di sini.
Adapun dalil Ijmak Sahabat telah disebutkan oleh para ulama. Imam Ibnu Hajar al-Haitami, misalnya, dalam Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, menyatakan, para sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib; bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.
Selanjutnya dari Qâ’idah Syar’iyyah, ada kaidah yang berbunyi: Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihi fa huwa wâjib[un]. Artinya, “Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.”
Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudûd bagi pelaku zina; kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam; dsb. Karena kewajiban-kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Karena itu sesuai kaidah syariah di atas, Khilafah wajib hukumnya.
Mengapa Barat dan agen-agennya makin sengit menghadang upaya menegakkan syariah dan Khilafah ini?
Itu semua terjadi karena mereka melihat, ide khilafah ini, meski sudah dicegah dan dicegat dengan berbagai cara, masih terus saja menggelinding seperti bola salju. Paniklah mereka. Karena itu mereka kemudian meningkatkan aneka “serangan” itu secara lebih keras. Nanti pada puncaknya, dugaan saya, akan dilakukan dengan cara kriminalisasi terhadap para pejuang Khilafah, atau mungkin akan ada larangan menyampaikan istilah itu.
Lalu seberapa dekat perjuangan penerapan syariah dan penegakan Khilafah menuju keberhasilan?
Kita tentu tidak tahu sudah seberapa dekat perjuangan kita ini dengan pintu keberhasilan karena tegaknya syariah dan Khilafah tak bisa dilepaskan dari nasrulLâh atau pertolongan Allah. NasrulLâh itu sendiri merupakan qadhâ’ atau ketentuan Allah yang tidak mungkin kita ketahui dimana, kapan dan kepada siapa akan diberikan. Namun, saya bisa katakan, bila dibanding dengan ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memulai dakwahnya secara terbuka pada awal tahun 2000-an, alhamdulillah, respon masyarakat di lapis bawah ataupun para tokoh umat sekarang ini sangatlah luar biasa. Apalagi bila dibanding dengan ketika HTI memulai dakwah di Indonesia di pertengahan tahun 80-an. Respon masyarakat sekarang tentu jauh lebih baik. Hal ini mungkin tidak dirasakan atau dilihat oleh orang lain. Namun, kita yang bergerak langsung di tengah umat, merasakan benar hal itu. Itu terlihat, misalnya, kegiatan-kegiatan baik seminar, diskusi publik, tabligh akbar atau yang lainnya yang diselenggarakan oleh HTI, yang selalu dipadati peserta. Di acara seperti itu, kita biasanya juga mengedarkan angket. Dari hasil angket terbaca respon yang luar biasa itu. Adapun respon tokoh kita dapatkan dari pertemuan langsung dengan yang bersangkutan ataupun dalam acara khusus seperti temu tokoh atau workshop ulama. Dari sanalah kita bisa mengambil kesimpulan bagaimana respon tingginya umat dan para tokohnya terhadap upaya penegakan syariah dan Khilafah.
Mengapa itu bisa terjadi?
Umumnya memang karena merasa keimanan dan kesadaran mereka tersentuh setelah mendengar penjelasan-penjelasan yang kita sampaikan. Dengan dasar al-Quran dan as-Sunnah serta qawl (perkataan) para ulama, juga argumen historis dan empiris, penjelasan-penjelasan itu terasa demikian kokoh sehingga buat orang yang ikhlas dan berpikir wajar, tidak ada tempat untuk mengelak. Mereka juga mendukung karena melihat fakta. Krisis multidimensi yang melanda dunia, termasuk Indonesia, membawa mereka pada kesimpulan bahwa mengharap sekularisme adalah perbuatan sia-sia. Tidak ada jalan lain kecuali kembali pada (syariah) Islam. Demikian juga ketika mereka melihat pembantaian terhadap umat Islam yang terjadi di berbagai tempat membawa mereka pada kesimpulan bahwa umat saat ini memang demikian lemah dan hidup tanpa pelindung yang nyata. Ketika dijelaskan bahwa pelindung itu tidak lain adalah Khilafah dan Khilafah pula satu-satunya yang mampu menyatukan umat sehingga kekuatan Islam bisa diwujudkan, itu juga dengan mudah diterima. Apalagi Khilafah memang telah pernah ada di masa kejayaan Islam.
Meski demikian, kita tetap menyadari bahwa hingga saat ini, ide syariah apalagi khilafah belumlah menjadi arus utama pemikiran umat. Namun kita yakin, dengan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten, pada waktu yang tidak lama insya Allah hal itu akan tercapai.
Apa yang mesti dilakukan sekarang agar keberhasilan itu bisa direalisasi dengan cepat?
Tidak ada jalan lain kecuali harus terus menerus dijelaskan kepada masyarakat tentang pentingnya syariah dan Khilafah sebagai solusi bagi Indonesia dan dunia yang lebih baik.
Penjelasan-penjelasan itu harus dialirkan kepada umat dengan berbagai cara (uslûb) dan sarana (wasilah). Berbagai forum seperti tablig akbar, diskusi publik, seminar, workshop, training, dawrah, temu tokoh dan forum lainnya adalah sebagian cara yang ditempuh HTI untuk menyampaikan penjelasan-penjelasan itu secara massal. Adapun secara personal dilakukan dengan kontak, audiensi atau silaturahmi kepada para tokoh baik dari kalangan ulama, cendekiawan, birokrat, militer dan kepolisian, pers, pengusaha dan lainnya, yang ada di tengah masyarakat. Selain dengan cara langsung, penjelasan juga disampaikan melalui sarana media massa. HTI memiliki buletin Jumat Al-Islam yang terbit setiap pekan dengan tiras lebih dari 1,3 juta eksemplar, majalah al-Waie yang terbit bulanan dan tabloid dwimingguan Media Umat. Ada lagi situs www.hizbut-tahrir.or.id, juga ratusan buku yang sudah tersebar luas di seluruh Tanah Air. Harapannya, dengan cara dan sarana yang demikian beragam, penjelasan-penjelasan itu bisa sampai ke segala lapisan masyarakat sehingga ide syariah dan khilafah semakin bisa dapahami dan disetujui. []