HTI

Tafsir (Al Waie)

Hari Kiamat dan Singkatnya Kehidupan Dunia


(Tafsir QS ‘an-Nazi’at [79]: 42-46)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا (42) فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا (43) إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا (44) إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا (45) كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا (46)

Mereka bertanya kepada kamu (Muhammad) tentang Hari Kebangkitan, kapankah terjadi? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut padanya (Hari Kebangkitan). Pada hari mereka melihat Hari Kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) pada waktu sore atau pagi hari (QS an-Naziat  [79]: 42-46).

Dalam ayat sebelumnya dipastikan Hari Kiamat beserta beberapa kejadian yang mengiringi Hari Kiamat bakal terjadi. Ketika itu manusia teringat terhadap semua amal yang telah dikerjakan di dunia dan diperlihatkan Neraka Jahanam. Manusia pun terbelah menjadi dua golongan: penghuni neraka dan golongan penghuni surga.

Ayat-ayat ini kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan orang-orang kafir tentang kapan Hari Kiamat tersebut terjadi.

 

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Yas’alûnaka ‘an al-sâ’ah ayyâna mursâhâ (Mereka bertanya kepada kamu [Muhammad] tentang Hari Kebangkitan, kapankah terjadi?). Dalam ayat ini diberitakan tentang perkataan orang-orang kafir kepada Rasulullah saw. Mereka adalah orang-orang kafir yang mengingkari Hari Kiamat disimpulkan dari ayat-ayat sebelumnya. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Orang-orang yang mendustakan Hari Kebangkitan bertanya kepada kamu tentang Kiamat saat orang-orang mati dibangkitkan dari kubur-kubur mereka.”1

Yang mereka tanyakan tentang Hari Kiamat adalah: Ayyâna mursâhâ. Kalimat tersebut bermakna: Matâ qiyâmuhâ wa zhuhûruhâ (Kapan terjadi Hari Kiamat dan kemunculannya)? Demikian menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, al-Qurthubi, al-Khazin dan lain-lain.2 Menurut Fakhruddin ar-Razi, orang-orang musyrik itu telah mendengar tentang ketetapan Hari Kiamat dan sifat-sifatnya yang amat menakutkan, seperti thâmmah, shâhhah, dan qâri’ah. Lalu mereka bertanya dengan nada melecehkan: Kapan itu terjadi?3

Oleh karena itu, sekalipun menggunakan bentuk kalimat tanya, maksud sesungguhnya adalah ejekan terhadap Rasulullah saw. Ibnu Abbas ra. berkata, “Orang-orang musyrik Makkah bertanya kepada Rasulullah saw, ‘Kapan Hari Kiamat terjadi’ sebagai bentuk ejekan. Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini.”4

Setelah memberitakan perkataan orang-orang kafir, kemudian Allah SWT berfirman kepada Nabi-Nya: Fîma anta min dzikrâhâ (Siapakah kamu [sehingga] dapat menyebutkan [waktunya]?). Ini merupakan jawaban atas pertanyaan dalam ayat sebelumnya. Jawaban tersebut ditujukan kepada Rasulullah saw.  karena pertanyaan mereka itu kemudian ditanyakan oleh beliau kepada Allah SWT. Sebagaimana diterangkan oleh az-Zamakhsyari, mereka bertanya kepada Rasulullah saw. sehingga mendorong beliau untuk menjawab pertanyaan mereka.5

Urwah bin Zubair berkata, “Rasulullah saw. terus menanyakan tentang Hari Kiamat hingga turun ayat ini. Seakan-akan, ketika Rasulullah saw. sering ditanya tentang hal itu, beliau bertanya kepada Allah SWT untuk mengetahuinya. Lalu dikatakan kepada beliau, “Janganlah kamu bertanya. Kamu tidak berhak dalam hal ini.”6

Bertolak dari riwayat tersebut, al-Qurthubi memaknai ayat ini dengan berkata, “Apa urusamu, wahai Muhammad, menyebut dan menanyakan Hari Kiamat? Kamu tidak berhak menanyakan itu.”7

Menjelaskan ayat ini, Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Apa faedahnya bagi kamu dan bagi mereka menyebutkan dan mengetahui waktu Hari Kiamat terjadi? Itu tidak gunanya. Ketika manusia mengetahui Hari Kiamat, tidak terdapat maslahat diniyyah maupun duniawi. Sebaliknya, justru merupakan kemaslahatan ketika itu dirahasiakan kepada mereka.”8

Bisa juga itu merupakan pengingkaran dan bantahan atas orang-orang musyrik atas pertanyaan mereka tentang Hari Kiamat.9 Maksudnya, “Sebagai apa kamu itu hingga mereka bertanya kepada tentang Hari Kiamat, padahal kamu bukanlah orang yang mengetahuinya.”10

Kemudian Allah SWT berfirman: Ilâ Rabbika muntahâhâ (Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahan [ketentuan waktu]-nya), bahwa pengetahuan tentang Hari Kiamat, khusunya waktu terjadinya, sepenuhnya menjadi milik Allah SWT. Tak ada seorang pun yang mengetahui Hari Kiamat, termasuk Rasulullah saw. Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, frasa muntahahâ berarti muntahâ ‘ilmihâ (kesudahan pengetahuannya). Dengan demikian tidak ada pengetahuan tentang Hari Kiamat pada selain-Nya.11 Ini sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat (QS Luqman [31]: 34).

 

Kemudian Allah SWT berfirman: Innamâ anta mundzir man yakhsyâhâ (Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut padanya [Hari Kebangkitan]). Ditegaskan oleh ayat ini, tugas Rasulullah saw. adalah sebagai mundzir. Kata tersebut merupakan ism al-fâ’il dari kata al-indzâr. Menurut al-Asfahani, pengertian al-indzâr adalah ikhbâr fîhi takhwîf (pemberitahuan yang di dalamnya terdapat ancaman).12

Tugas Rasulullah saw. sebagai mundzir atau pemberi peringatan disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti QS ar-Ra’d [13]: 7, Shad [38]: 65, dan Qaf [50]: 2. Dalam ayat lainnya digunakan kata nadzîr yang juga berarti pemberi peringatan, seperti dalam QS al-A’raf [7]: 188, Hud [11]: 2, al-Hajj [22]: 49, dan lain-lain.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa Rasulullah saw. adalah mundzir man yakhsyâhâ. Penyebutan secara khusus orang yang takut sebagai objek peringatan disebabkan karena peringatan Rasulullah saw. itu hanya bermanfaat bagi mereka sekalipun beliau adalah pemberi peringatan bagi semua mukallaf, baik Mukmin maupun kafir.13 Menurut al-Qurthubi, ini sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّمَا تُنْذِرُ مَنِ اتَّبَعَ الذِّكْرَ وَخَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ

Sesungguhnya kamu hanya memberikan peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia tidak melihatnya (QS Yasin [36]: 11).14

 

Ibnu Katsir berkata, “Sungguh Aku mengutus kamu agar kamu menyampaikan peringatan kepada manusia dan memberikan ancaman kepada mereka akan siksa dan azab Allah SWT. Siapa saja yang takut kepada kebesaran Allah SWT dan ancaman-Nya akan mengikuti kamu. Mereka pun akan memperoleh keberuntungan dan kesuksesan. Sebaliknya, kegagalan dan kerugian hanya bagi orang yang mendustakan dan menentang kamu.”15

Dengan demikian dalam konteks Hari Kiamat beliau hanya diberi tugas untuk menyampaikan peringatan kepada manusia. Akan tetapi, beliau tidak dituntut mengetahui dan menyampaikan waktu terjadinya. Karena bukan menjadi tugasnya, pertanyaan tentang hal itu tidak perlu dijawab dan perlu memusingkan beliau. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Sungguh engkau adalah utusan Allah untuk memperingatkan Hari Kiamat bagi orang yang takut pada siksaan Allah SWT atas kejahatannya. Engkau juga tidak ditugasi untuk mengetahui waktu terjadinya. Oleh karena itu tinggalkanlah apa yang tidak ditugaskan untuk mengetahuinya dan kerjakanlah apa yang diperintahkan kepada kamu, yaitu menyampaikan peringatan kepada orang-orang yang kamu diperintahkan menyampaikan peringatan.”16

Surat ini pun diakhiri dengan firman-Nya: Ka-annahum yawma yarawnahâ lam yalbatsû illâ ‘asyiyyat[an] aw dhuhâhâ (Pada hari mereka melihat Hari Kebangkitan itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal [di dunia] melainkan [sebentar saja] pada waktu sore atau pagi hari). Jika mereka menanyakan tentang kapan terjadi Hari Kiamat, seolah-olah masih amat lama. Ayat ini pun mengingatkan bahwa waktu hidup di dunia itu amat singkat. Demikian singkatnya hingga seolah-olah mereka merasa tidak tinggal di dunia kecuali hanya ‘asyiyyah aw dhuhâhâ.

Yang dimaksud dengan ‘asyiyyah adalah antara waktu zuhur sampai matahari terbenam. Adapun dhuhâhâ adalah antara waktu terbitnya matahari hingga pertengahan siang.17 Menurut Ibnu Katsir, “Ketika mereka bangkit dari kubur mereka hingga di Padang Mahsyar, mereka merasakan singkatnya kehidupan dunia hingga seolah-olah menurut mereka hanya sepenggal hari, pagi atau sore hari.”18

 

Rahasia Allah SWT

Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Di antaranya: Pertama, Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Hari Kiamat pasti terjadi. Namun, tentang kapan terjadinya, menjadi rahasia Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya: Ilâ Rabbika muntahâhâ (Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahan [ketentuan waktu]-nya). Menurut para mufassir, ayat ini memberikan makna bahwa pengetahuan tentang Hari Kiamat hanya milik Allah SWT. Artinya, kapan Hari Kiamat terjadi merupakan salah satu rahasia Allah SWT yang tidak diberitahukan kepada hamba-Nya. Allah SWT juga berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ

Mereka menanyakan kepada kamu tentang Hari Kiamat: “Bilakah terjadi?” Katakanlah, “Sungguh pengetahuan tentang Hari Kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia  (QS al-A’raf [7]: 187).

 

Selain menjadi rahasia Allah SWT, kedatangannya pun tiba-tiba meskipun sebelumnya telah diberitahukan tanda-tanda kedatangannya (lihat: QS Muhammad [47]: 18).

Kedua, peringatan Rasulullah saw. hanya berpengaruh bagi orang-orang yang mengimani beliau. Sebagaimana telah diterangkan, Rasulullah saw. diutus seluruh manusia. Beliau datang dengan membawa risalah dan petunjuk. Beliau juga ditugaskan untuk menjadi basyîr wa nadzîr (pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan).

Dalam menyikapi peringatan Rasulullah saw., manusia terbelah menjadi dua. Ada yang meyakini dan ada yang mendustakan. Mereka yang meyakini akan merasa takut terhadap peringatan dan ancaman yang disampaikan Rasulullah saw. Kepastian terjadinya Hari Kiamat dan dahsyatnya siksa neraka membuat mereka menjadi takut untuk melanggar hukum-hukum-Nya. Mereka pun mampu menjaga dan mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk pada syariah-Nya (lihat ayat 40). Oleh karena itu, peringatan Rasulullah saw. benar-benar berguna bagi mereka. Menurut para ulama, inilah makna yang dapat dipahami dari ayat ini: Innamâ mundzir man yakhsyahâ.

Selain ayat ini, ada beberapa nas lainnya yang menunjukkan makna senada. Dalam soal al-Quran sebagai petunjuk, meski sesungguhnya ditujukan untuk seluruh manusia, hudâ [an] li al-nâs (lihat QS al-Baqarah [2]: 185), hanya orang-orang yang bertakwa yang mau menjadikan al-Quran itu sebagai petunjuk. Karena itulah al-Quran pun disebut sebagai hudâ[n] li al-muttaqîn, petunjuk bagi orang-orang bertakwa (lihat: QS al-Baqarah [2]: 2). Dalam QS al-A’la [87]: 10 juga disebutkan: Sayadzdzakkaru man yakhsyâ (Orang yang takut [kepada Allah] akan mendapat pelajaran).

Sebaliknya, bagi orang-orang yang mendustakan dan mengingkarinya peringatan itu tidak berguna. Dalam ayat lain mereka disebutkan seperti layaknya orang tuli yang mendapatkan panggilan (lihat QS al-Baqarah [2]: 171)..

Ketiga, singkatnya kehidupan dunia. Hal ini ditegaskan dalam akhir surat ini bahwa ketika Hari Kebangkitan mereka merasa tidak tinggal di dunia kecuali amat singkat, hanya hanya pada waktu sore atau pagi hari.

Singkatnya waktu hidup di dunia juga disebutkan dalam beberapa ayat lain. Dalam QS al-Mukminun [23]: 112-114 disebutkan ketika manusia ditanya berapa lama tinggal di bumi, mereka menjawab, “Sehari atau setengah hari.” Bahkan dalam ayat lainnya diberitakan mereka merasa hanya hidup sesaat saja (lihat: QS Yunus [10]: 45).

Pendeknya kehidupan dunia setidaknya bisa dilihat dari dua: (1) Jika dibandingkan dengan lamanya kehidupan akhirat. Lama kehidupan dunia hanya beberapa puluh tahun, sementara kehidupan di akhirat selama-lamanya. Dalam banyak ayat disebut khâlidîna fîhâ abada (kekal di dalamnya selama-lamanya); (2) Ukuran sehari di dunia pun jauh lebih singkat dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Dalam QS al-Hajj [22] ayat 47 diberitakan bahwa sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan manusia. Rasulullah saw. juga bersabda:

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُؤْمِنِينَ الْجَنَّةَ قَبْلَ الأَغْنِيَاءِ بِنِصْفِ يَوْمٍ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ

Orang beriman yang miskin akan masuk surga sebelum orang-orang kaya, yaitu lebih dulu setengah hari yang sama dengan 500 tahun.” (HR Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

 

Bahkan dalam ayat lainnya disebutkan sebanding dengan lima puluh ribu tahun di dunia (lihat: QS al-Ma’arij [70]: 4). Dalam hadis yang menerangkan tentang hukuman yang akan diterima oleh orang-orang yang tidak membayar zakat juga diberitakan sehari di dunia sama dengan lima puluh ribu tahun di akhirat. Rasulullah saw. bersabda:

كُلَّمَا بَرَدَتْ أُعِيدَتْ لَهُ فِى يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يُقْضَى بَيْنَ الْعِبَادِ فَيُرَى سَبِيلُهُ إِمَّا إِلَى الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلَى النَّارِ

Siapa saja yang memiliki harta yang banyak lalu tidak mengeluarkan kewajibanya maka Allah akan menjadikan dirinya pada Hari Kiamat dibakar di Neraka Jahanam lalu disetrika punggungnya, pinggirnya, depannya sampai menghukum semua hamba-hamba-Nya yang bila dihitung satu harinya di akhirat sama dengan hitungan kalian di dunia 50.000 tahun (HR Abu Dawud, Ahmad, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’i).

 

Patut ditegaskan, sekalipun amat singkat, kehidupan dunia inilah yang akan menentukan nasib manusia di dunia. Sebagaimana diterangkan dalam ayat sebelumnya, siapa saja yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka Neraka Jahanam menjadi tempatnya. Sebaliknya, siapa saja yang takut kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka surga menjadi tempat tinggalnya (lihat: QS an-Naziat [79]: 37-41). Oleh karena betapa meruginya manusia yang tidak mengisi hidupnya di dunia yang amat singkat ini dengan iman dan amal shalih. Sebaliknya, hanya kecelakaan bagi orang-orang yang ingkar dan melanggar hukum-hukum Allah SWT. Sungguh sebuah penderitaan tanpa tepi.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]

 

Catatan kaki:

1         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 213.

2         Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 213; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 209; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 393. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 698; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 362.

3         Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turtas al-‘Arabi, 1420 H), 50.

4         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 209.

5         Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4, 698.

6         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 209.

7         Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 209. Penjelasan senada juga dikemukakan oleh al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 19914), 460.

8         As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 910.

9         Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 460; al-Alusi, h al-Ma;ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 239.

10        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 209.

11        Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 209; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 460. Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh al-Thabari. Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 213.

12        Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 797.

13        Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 460. Lihat juga 14 al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 51

15        Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 209.

16        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 318.

17        Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 21.

18        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 318.

19        Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 318.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*