«إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلاَ تَحَسَّسُوا، وَلاَ تَجَسَّسُوا، وَلاَ تَحَاسَدُوا، وَلاَ تَدَابَرُوا، وَلاَ تَبَاغَضُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا»
Jauhilah prasangka, sebab prasangka itu ucapan paling bohong, dan jangan tahassus, jangan saling memata-matai (tajassus), jangan saling hasud, jangan saling memboikot dan jangan saling membenci, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, Malik, Ibnu Hibban, ath-Thayalisi, ath-Thabarani, redaksi al-Bukhari)
Dalam hadis ini ada perintah untuk menjauhi zhann atau larangan dari zhann (prasangka). Namun, yang dilarang itu bukan semua zhann. Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا…﴾
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan) karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain (TQS al-Hujurat [49]: 12).
Allah SWT menyatakan bahwa sebagian zhann itu merupakan dosa dan yang demikianlah yang dilarang dan diperintahkan untuk dijauhi. Sebagian zhann lainnya bukan merupakan dosa (itsm[un]) dan tentu tidak dilarang.
Imam ath-Thabari dalam Tafsîr ath-Thabarî menjelaskan ayat tersebut: Allah SWT tidak berfirman: “Semua zhann, sebab Allah mengizinkan untuk kaum Mukmin berprasangka baik satu sama lain, yakni firman Allah dalam QS an-Nur [24]: 12. Jadi Allah mengizinkan untuk kaum Mukmin saling berprasangka baik satu sama lain dan mengatakannya, meski mereka tidak mengatakannya berdasar keyakinan.”
Di sisi lain, Allah SWT melarang prasangka buruk (QS al-Fathu [48]: 12). Jadi, yang dilarang dalam ayat dan hadis di atas adalah prasangka buruk. Ibnu Abbas ra. saat menafsirkan QS al-Hujurat ayat 12 mengatakan, “Allah melarang Mukmin berprasangka buruk kepada Mukmin lain. Firman Allah SWT, “Innâ ba’dha azh-zhanni itsm[un]”, Ibnu Abbas berkata, “Prasangka seorang Mukmin terhadap Mukmin lainnya berupa keburukan, bukan kebaikan, dan termasuk dosa. Sebab, Allah telah melarangnya, dan melakukan apa yang Allah larang adalah dosa.”
Menurut Imam an-Nawawi Syarh Shahîh Muslim, yang dimaksud dengan larangan itu adalah zhann as-sû‘i (prasangka buruk). Imam an-Nawawi mengutip al-Khaththabi yang mengatakan, “Yang dimaksudkan adalah merealisasi dan membenarkan zhann, bukan apa yang terlintas di dalam hati, sebab hal itu tidak bisa dikuasai.”
Menurut Imam an-Nawawi, prasangka buruk yang haram adalah prasangka yang ditetapi oleh orang yang berprasangka dan bercokol di hatinya, bukan apa yang terlintas di hati dan tidak bercokol di hati.
Qadhi Iyadh mengutip dari Sufyan ats-Tsauri yang mengatakan, zhann yang dosa adalah apa yang diduga dan diucapkan. Jika tidak diucapkan maka tidak berdosa. Asy-Syaukani di dalam Fathu al-Qadîr mengutip Muqatil bin Sulaiman dan Muqatil bin Hayan, bahwa yang dilarang adalah berprasangka buruk kepada saudaranya Muslim, dan tidak apa-apa selama ia tidak mengucapkannya. Jika ia mengucapkan dan menampakkan prasangka buruk itu, dia berdosa. Abu Hurairah ra. menuturkan, Rasul saw. bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ لأُمَّتِى عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ بِهِ»
Sungguh Allah mengabaikan atas umatku apa yang diucapkan pada dirinya sendiri selama tidak dia ucapkan atau dia lakukan (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ahmad, al-Baihaqi, redaksi an-Nasa’i).
Al-Qurthubi menjelaskan, zhann dalam ayat dan hadis di atas adalah tuduhan yang tanpa ada sebab, bukti atau tanda-tanda yang mendasarinya. Karena itu larangan zhann itu diikuti dengan larangan tahassus dan tajassus. Seolah karena prasangka itu tidak punya dasar yang kuat, maka orang ingin menegaskan prasangka itu dengan melakukan tahassus atau tajassus. Semua itu dilarang.
Hanya saja, prasangka buruk itu dilarang jika terhadap orang yang lahiriahnya baik. Az-Zujaj mengatakan, prasangka buruk yang dilarang itu adalah berprasangka buruk kepada orang baik. Adapun ahlu as-sû‘ wa al-fusûq (orang buruk dan fasik) maka bagi kita berprasangka semisal apa yang tampak dari mereka (yakni buruk dan fasik). Menurut Imam al-Qurthubi, mayoritas ulama berpendapat bahwa prasangka tercela kepada orang yang lahirnya baik adalah tidak boleh, dan tidak ada masalah prasangka tercela terhadap orang yang zhahir-nya tercela.
Adapun tahassus dan tajassus, menurut ulama, makna keduanya sama. Larangan itu menurut al-Khaththabi bermakna: Jangan mencari dan menelusuri aib orang. Menurut yang lain maknanya berbeda. Menurut Yahya bin Abi Katsir, seorang tabi’un, tahassus adalah mendengarkan pembicaraan orang. Al-Qurthubi menguatkan bahwa makna tajassus, yakni mencari perkara yang tersembunyi dan kebanyakan dikatakan dalam hal keburukan; sedangkan tahassus adalah mencari apa yang bisa didapat dengan mata telanjang dan telinga.
Tajassus itu sangat buruk dan merusak, apalagi jika dilakukan oleh penguasa. Rasul saw. memperingatkan:
«إِنَّ الأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِى النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»
Penguasa itu, jika mencari-cari hal mencurigaka di masyarakat, niscaya dia merusak mereka (HR Abu Dawud, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Tahâsud adalah saling iri dengki, yaitu iri dengan kebaikan yang ada pada orang lain dan ingin agar kebaikan itu hilang darinya.
Adapun tadâbur, secara bahasa artinya saling memunggungi. Ini maknanya secara majaz adalah saling berpaling dan memboikot; diambil dari fakta: orang jika tidak suka, dia berpaling dan tidak mau berhubungan dengan orang, maka ia memunggungi orang itu. Syariah pun mengatur secara rinci pemboikotan ini.
Sementara itu, sabda Rasul saw., tabâghadhû maknanya secara majaz, yakni jangan melakukan atau mengadakan sesuatu yang menyebabkan saling benci satu sama lain.
Pesan Rasul saw., wa kûnû ‘ibâdallâhi ikhwânan, maknanya adalah jauhilah semua itu, nisacaya akan menjadi saling bersaudara. Ini mengisyaratkan, di antara upaya merealisasi ukhuwah adalah dengan menghindari semua yang dilarang di dalam hadits di atas.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]