Saat ini ada upaya sistematis untuk mengkriminalisasi simbol-simbol syariah Islam. Salah satunya adalah panji atau bendera tauhid Rasulullah saw., yakni al-Liwa’ dan ar-Rayah. Masyarakat saat ini digiring dengan opini buruk bahwa panji/bendera Rasul yang bertuliskan kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad rasûlulLâh seolah-olah adalah bendera milik kriminalis dan teroris. Masyarakat dipaksa untuk menerima opini bahwa panji/bendera tersebut adalah inspirator kekerasan, pemecah-belah bangsa, tidak sesuai dengan kebhinekaan dan menakutkan.
Peristiwa terbaru adalah tatkala penyambutan Raja Salman yang datang ke Bogor beberapa waktu lalu. Panji/bendera Rasul berwarna hitam bertuliskan kalimat tauhid dirampas dan dipaksa digulung oleh polisi.
Jauh sebelumnya, ada seseorang, ketika membawa panji/bendera Rasul berwarna hitam bertuliskan kalimat tauhid di perjalan sepanjang jalan Jawa Barat dan Banten, tiba-tiba dihentikan tengah jalan oleh petugas (polisi dan TNI). Petugas menginterograsi pembawanya bak tersangka. Intrograsi yang ada lebih nampak seperti sikap curiga dan menuduh. Ia pun ditangkap aparat.
Kasus yang sama menimpa Nurul Fahmi. Ia ditangkap aparat saat membawa bendera merah-putih bertuliskan kalimat tauhid. Fahmi ditangkap dengan tuduhan melecehkan simbol negara. Sempat di tahan di Polda, ia akhirnya dikeluarkan setelah adanya jaminan dari beberapa ulama. Pihak aparat terlihat sangat alergi dengan kalimat tauhid. Padahal aparat yang Muslim tiap hari minimal 5 kali sehari pasti mengucapkan kalimat tauhid dalam shalat mereka. Bukankah kalimat tauhid bukan hanya dibaca, namun juga diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan. Jadi apa salahnya jika umat Islam memasang panji/bendera tauhid? Apalagi panji Rasulullah dengan kalimat tauhid memiliki akar sejarah yang kuat pada masa lalu di Nusantara.
Bukti-bukti Sejarah
Jika kita menelusuri cagar-cagar budaya yang ada di Nusantara, baik itu di perpustakaan, situs kerajaan-kerajaan yang masih ada dan di tempat-tempat penyimpanan sejarah lainnya, akan banyak ditemukan panji Rasulullah saw. menjadi inspirasi bagi panji/bendera kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara walau dengan motif dan bentuk yang lain. Kita bisa mengunjungi situs Kesultanan Yogyakarta. Apa yang disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Pembukaan Kongres Umat Islam Indonesia VI 2015 (KUII-VI 2015) di Yogyakarta sejatinya sudah menjadikan informasi yang cukup tentang keterkaitan panji Rasulullah saw. dengan Nusantara. Saat memberikan pidato pembukaan, Sultan sempat menyinggung mengenai bendera peninggalan Kesultanan Demak yang ternyata pemberian dari Kekhalifahan Turki. Sultan menegaskan, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa, dengan penyerahan bendera Lâ ilâha illalLâh berwarna ungu kehitaman yang terbuat dari kain Kiswah Ka’bah; juga bendera bertuliskan Muhammad rasûlulLâh berwarna hijau. “Duplikatnya tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat sebagai wakil Kekhalifahan Turki,” tambah Sultan.
Apa yang disampaikan Sultan dalam Kongres Umat Islam itu menjelaskan adanya hubungan Kekhalifahan Turki dengan kesultanan Islam di Indonesia. Pemberian bendera itu menandakan kesultanan-kesultnan di Indonesia diakui sebagai bagian dari Kekhalifahan Turki.
Salah satu bendera pusaka Kesultanan Yogyakarta berpola rayah. Warna hitam menjadi bagian dari namanya, yaitu Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (Lihat: Gambar 1).
Panji Kesultanan Yogyakarta lebih dikenal dengan Kyai Tunggul Wulung, mengacu pada kainnya yang berwarna hitam bersemu biru tua atau dalam istilah Jawa disebut warna wulung. Bendera berbentuk persegi ini dibuat dari potongan kain kiswah (selubung penutup Ka’bah) sebagai hadiah seorang sayyid besar di Makkah saat penobatan Pangeran Harya Mangkubumi sebagai Susuhunan Paku Buwana Senapati Mataram (gelar ini berbeda dengan gelar Sunan Pakubuwana di Surakarta) atau Susuhunan Kabanaran (karena penobatan dilakukan di Banaran, sekarang termasuk wilayah Kabupaten Kulon Progo) tanggal 1 Sura tahun Alif 1675 atau 11 Desember 1749. Kain ini lantas dibuat menjadi bendera atau panji Kesultanan pada masa Pangeran Mangkubumi bertahta di Ngayogyakarta dengan gelar ‘Sultan Hamengkubuwana I’.1
Motif yang ada dalam bendera ini adalah sebentuk pedang bermata dua. Bentuk pedang ini mirip dengan lambang golok cabang yang sama terpampang di bendera Kasultanan Cirebon maupun dalam stempel Sultan Abdul Qadir Muhyiddin (1768-1807) dari Kesultanan Tanette di Sulawesi. Pedang bercabang ini, menurut salah satu tafsir, merupakan hasil stilisasi dari huruf lam alif, huruf pertama dari kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh.
Pada bilah pedang tersebut terdapat tulisan Arabic antara lain dua kalimat syahadat sebagai tanda persaksian atas keesaan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad, beberapa nama Allah yang berasal dari Asmaul Husna dan Surat Al-Kautsar. Surat al-Kautsar adalah salah satu surat dalam al-Quran yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan shalat dan berkurban sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang telah dianugerahkan.
Contoh lain adalah keberadaan panji/bendera Kesultanan Cirebon. Bendera Kesultanan Cirebon berbentuk persegi panjang dengan ujung lancip dan memiliki warna dasar biru tua. Menurut sejumlah sumber klasik Cirebon, bendera ini memiliki sebutan “Kad lalancana Singa Barwang Dwajalullah”. Kata “dwajalullah” di atas secara meyakinkan menunjukkan bahwa benda pusaka yang dimaksud merupakan bendera dari sebuah kesultnan (baca: negara) Islam. Kata ini merupakan gabungan antara kata dari Bahasa Sansekerta “dwaja” yang diserap ke dalam Bahasa Kawi dan nama ilâh umat Islam, yakni Allah. “Dwaja” sendiri artinya “bendera”.2 Dengan demikian “dwajalullah” bisa dimaknai sebagai “bendera Allah”. Jadi, secara keseluruhan nama bendera di atas bisa diterjemahkan sebagai “bendera (milik) Allah dengan lambang (berlencana) singa barong”.
Contoh lain adalah Kesultanan Cirebon yang didirikan pada pertengahan abad ke-16. Benderanya yang berjuluk ‘Macan Ali’ menampakkan kesamaan pola dengan liwa dan rayah (Lihat: Gambar 2).
Bagian pangkal bendera bertuliskan bacaan basmallah yang menjadi pangkal tolak semua tindakan. Bagian atas bendera ini bertuliskan Surat al-Ikhlas ayat 1 sampai 4. Hal ini menunjukkan bahwa Kesultanan Cirebon merupakan sebuah kesultanan yang berpayung ajaran tauhid.
Dalam bendera bagian bawah terdapat sebaris kutipan dari Surat al-An’aam ayat 103: Lâ tudrikuhu al-abshâru wa huwa yudriku al-abshâra wa huwallathîf al-khabîr, yang artinya: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah Yang Mahahalus lagi Mahaawas”.
Penggunaan ayat tersebut menunjukkan sifat kesultanan yang merasakan adanya pengawasan Allah SWT. Ayat tersebut menunjukkan lemahnya penglihatan manusia dibandingkan kesempurnaan penglihatan Allah.
Bagian pangkal bendera bertuliskan bacaan Bismillâhirrahmânirrahîm menunjukkan bahwa Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam yang senantiasa mendasarkan segala pemikiran, tindakan dan memulai segala sesuatu berdasarkan atas nama Allah SWT. Adapun pada bagian ujung terdapat kutipan dari al-Quran Surat ash-Shaf ayat 13 yang menunjukkan tujuan utama Kesultanan Cirebon untuk memperoleh karunia pertolongan dan kemenangan dari Allah SWT: Nashru minalLâh wa fath[un] qarîb” (Pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat)”. Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa pertolongan dari Allah dan kemenangan yang nyata ini bisa diperoleh dengan menaati Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan-Nya serta menolong agama-Nya. 3
Kesimpulan
Alhasil, secara historis panji Rasulullah sejatinya sudah menjadi ciri bagi bendera kenegaraan kesultanan-kesultanan besar Nusantara yang bercorak Islam dengan kelengkapan berupa kalimat tauhid dan petikan ayat al-Quran. Panji Rasulullah saw. telah menjadi bagian dari warisan sejarah dan kebudayaan Islam di Indonesia dengan segala motif dan bentuknya yang berbeda, namun tetap memiliki spirit yang sama.
WalLâhu a’lam. [Gus Uwik – Dari berbagai sumber]
Catatan Kaki:
- Hugo M. Satyapara, Ngawekani Pageblug Kanthi Miyose Kangjeng Kyai Tunggul Wulung, dalam Panjebar Semangat No. 25 / 19 Juni 2010, Surabaya, hlm. 8
- Muhammad Yamin, 6000 Tahun …, hlm. 42; C.F. Winter Sr. dan R. Ng. Ranggawarsita, Kamus Kawi-Jawa, Cetakan XVIII, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003, hlm. 43; Sabari, Kamus Basa Jawi, Surakarta: Seti-Aji, 2005, hlm. 50
- http://susiyanto.com/bendera-tauhid-kasultanan-cirebon-dan-yogyakarta/