HTI

Nisa' (Al Waie)

Pendidikan Perempuan Ideal Ada dalam Khilafah


Media, para politisi, organisasi sekular dan feminis menuduh Islam bersifat misogynis (membenci perempuan). Mereka mengklaim bahwa hukum Islam telah menghalangi perempuan dari akses pendidikan yang berkualitas. Secara khusus, feminis perempuan dari kalangan akademisi Muslim menuntut sebuah interpretasi baru terhadap Islam dengan sudut pandang perempuan. Mereka menyebut beberapa bukti: pernikahan anak-anak perempuan sebelum usia 18, pakaian dan aturan-aturan sosial dalam Islam serta prioritas pendidikan untuk anak laki-laki dibanding untuk anak perempuan.

Namun jelas, bukan Islam yang menghalangi akses perempuan dari pendidikan dan turut berperan aktif di dalam masyarakat. Apa yang mereka sebut sebagai misogyni kenyataannya adalah akibat dari kebijakan-kebijakan luar negeri kafir penjajah! Ekonomi kapitalis telah menghasilkan kemiskinan massal dan mahalnya pendidikan; memaksa keluarga untuk memilih pendidikan untuk anak laki-laki.

Kita tahu, Rasulullah saw. memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu, “Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim.” (HR Ibnu Majah).

Rasulullah saw. bahkan memberikan satu hari khusus dalam seminggu untuk pendidikan kaum perempuan di masjid di Madinah.

Faqihat ul-Ummah”, Ummul Mukminin Aisyah ra., disebut sebagai contoh paling cemerlang yang menunjukkan pentingnya pendidikan kaum perempuan di dalam Islam. Ia adalah ulama yang nasihatnya dicari bahkan oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. dan  Utsman bin Affan ra. Urwah bin Az-Zubair ra. berkata tentang Aisyah, “Saya belum pernah melihat (laki-laki atau perempuan) yang memiliki pengetahuan lebih banyak tentang hukum, kedokteran, atau sastra melebihi Aisyah.”

Semua istri Rasulullah saw., putri-putri beliau dan para shahabiyah yang tak terhitung jumlahnya memiliki kepribadian yang terpercaya dan cendekia dalam pengetahuan Islam. Bahkan sepeninggal Rasulullah saw., keterampilan dan ilmu para shahabiyah juga dihargai tinggi. Misalnya, Syifa binti Abdullah ditunjuk untuk jabatan qadhi dan pengawas di pasar-pasar oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.

Terdapat ribuan bukti yang menunjukkan penerapan syariah Islam sampai keruntuhan Khilafah mendorong dan membuka jalan untuk memperoleh pengetahuan atau mengembang-kan berbagai keahlian bagi perempuan. Perempuan juga memiliki peran besar dalam memajukan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Jadi, perempuan, sebagaimana laki-laki, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan agama seperti masjid, madrasah dan universitas. Masjid dan Universitas Qarawiyyin yang didirikan oleh Fatima al-Fihri pada tahun 859 M adalah contoh yang indah dalam hal ini. Inilah institusi pertama di dunia yang “memberi gelar”. Terdapat madrasah-madrasah khusus anak perempuan, yang sejumlah besarnya didanai oleh perempuan. Jumlah dosen perempuan di lembaga-lembaga ini masih belum disamai oleh jumlah dosen perempuan di universitas-universitas Barat hari ini. Jika perlu, perempuan bepergian secara intensif dari satu ujung ke ujung Dunia Islam lainnya untuk belajar dan mengajarkan pengetahuan. Tidak ada batasan yang menghalangi mereka dalam usaha ini, juga tidak ada lingkungan yang akan mengancam keselamatan atau martabat mereka.

Perempuan memainkan peran penting dalam penjagaan dan pengembangan metode pembelajaran hadis dan fikih. Mereka memberi ijazah serta memiliki otoritas yang sama dalam ijtihad sebagaimana laki-laki. Mereka bahkan mengajarkan ilmu kepada kaum laki-laki dari masyarakatnya. Ummu Darda as-Sughra ad-Dimashkiyya, seorang ahli hukum dan ulama, mengajarkan fikih dan hadis di bagian kaum laki-laki di masjid besar di Syam dan Yerusalem. Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah salah satu muridnya. Salah satu guru Imam Malik adalah ahli hukum dan ulama, Aisyah binti Saad bin Abi Waqqash. Putri Hasan ra., Nafisah binti Hassan, adalah salah satu guru Imam Syafii. Ibnu Hajar dan Ibnu Taimiyah memuji para guru perempuan atas pengetahuan, kecerdasan, kesabaran, perilaku mulia, integritas serta kesalihan mereka. Masih banyak ribuan contoh yang lain.

Semua ini diwujudkan melalui implementasi dan bukan ketiadaan hukum-hukum sosial Islam. Hal ini dijamin melalui pemisahan gender, kepatuhan terhadap pakaian Muslim serta dalam lingkungan di mana laki-laki dan perempuan secara ketat mematuhi semua hukum sosial Islam.

Perempuan tidak hanya unggul dalam ilmu-ilmu Islam, tetapi juga dalam kaligrafi, sastra serta bidang ilmu lainnya seperti matematika, astronomi, dan teknik. Dengan demikian mereka berpartisipasi dalam membangun budaya dan peradaban Islam yang membuat iri negara-negara lain.

Selama abad ke-10, misalnya, Lobana dari Cordoba, adalah seorang ahli matematika, penyair, penerjemah, direktur perpustakaan terbesar saat itu, serta sekretaris pribadi Khalifah Bani Umayyah al-Hakam II.

Masih pada abad ke-10, terdapat seorang perempuan yang memberikan fitur canggih baru pada Astrolabe, sebuah perangkat astronomi. Namanya tercatat ke dalam sejarah sebagai Maryam al-Asturlabi. Berkat kontribusinya pada Astrolabe, ia dipekerjakan oleh penguasa Aleppo, Sayf ad-Dawla.

Terdapat para ahli bedah perempuan dari Anatolia pada abad ke-15.

Selain itu, salinan paling indah dari al-Quran al-Karim dibuat oleh para ahli kaligrafi perempuan.

Meskipun kemerosotan ideologi dan gejolak politik meningkat dalam tahun-tahun terakhir masa kekhilafahan, para khalifah, khususnya Khalifah Mahmud II dan Abdulhamid I, melakukan investasi besar dalam pendidikan bagi perempuan dan anak-anak perempuan.

Perempuan bahkan menerima tunjangan selama masa studi mereka. Tercatat bahwa jumlah perempuan non-Muslim tidak sedikit dibandingkan Muslim di institusi-institusi ini. Para lulusan studi-studi ini juga digunakan oleh negara dalam berbagai bidang untuk melayani masyarakat dengan keahlian mereka, termasuk bekerja sebagai penerjemah atas berbagai bahasa asing.

Saat perempuan di dalam Islam dihargai dan ditempatkan pada posisi tertinggi atas kontribusi mereka, perempuan di Barat masih menderita.

Di Barat, bagaimanapun, terdapat fenomena yang disebut “Matilda Effect”. Ini menggambarkan fenomena pengabaian kontribusi para ilmuwan perempuan terhadap penelitian dan pengaitan atas pekerjaan mereka kepada para kolega laki-laki mereka. Selain itu, meskipun banyak perempuan yang berhak mendapatkan Hadiah Nobel, penghargaan tersebut diberikan kepada kolega laki-laki atau suami mereka. Jadi, mereka yang sebenarnya dibayangi oleh “kebencian terhadap wanita (misogyni)” dan yang terjebak di bawah “dominasi laki-laki” adalah perempuan di dalam masyarakat yang tercerabut dari Islam!

“Karena Dia Seorang Perempuan!” adalah sebuah ungkapan/frasa yang lahir dari ideologi kapitalis liberal non-Islam itu sendiri dan hanya berkaitan dengan ideologi tersebut.

Ulama India, Mohammad Nadwi Akram, yang mengumpulkan biografi lebih dari 8.000 perawi hadis perempuan, mencermati hal berikut ini. Dia berkata, “Tidak satu pun dari mereka dilaporkan telah dianggap sebagai domain dari kehidupan keluarga rendahan (kurang terdidik), atau mengabaikan tugas di dalamnya, atau dianggap menjadi seorang wanita yang tidak diinginkan atau lebih rendah daripada menjadi seorang laki-laki, atau menganggap bahwa karena bakat dan kesempatan bawaan, perempuan tidak memiliki tugas untuk masyarakat luas, di luar domain kehidupan keluarga.”

 

Pentingnya Khilafah

Tidak diragukan lagi, Islam harus diimplementasikan melalui Khilafah. Khilafahlah yang akan menjamin hak-hak pendidikan serta aspirasi anak-anak perempuan dan perempuan. Khilafah akan menghapus sikap tradisional atau hambatan budaya yang merendahkan pendidikan perempuan atau mencegah anak-anak perempuan dalam mengakses pendidikan. Khilafah pun akan mewujudkan lingkungan yang aman bagi kaum perempuan untuk melakukan perjalanan dengan aman ke sekolah-sekolah dan universitas, bebas dari pelecehan dan serangan.

Khilafah juga akan memberikan peluang besar bagi kaum perempuan untuk mengejar cita-cita pendidikan mereka dengan tetap mematuhi semua hukum Islam. Pasalnya, pendidikan adalah hak dasar bagi setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, yang harus dijamin oleh negara. Hanya saja, ada pemisahan berdasarkan gender sebagai pilar utama dalam pendidikan. Dalam Pasal 177 Rancangan Undang-Undang Dasar untuk Khilafah Pasal 177 yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir dinyatakan: “Pengajaran di sekolah-sekolah tidak boleh bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan, baik di kalangan murid maupun guru.”

Pasal 178-nya menyatakan: “Pengajaran hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya merupakan kewajiban negara yang harus terpenuhi bagi setiap individu, laki-laki maupun perempuan.”

Oleh karena itu, Khilafah masa depan akan menjamin pemenuhan dokter-dokter, perawat dan guru perempuan; juga ulama, ilmuwan dan insinyur perempuan. Mereka akan mengangkat masyarakat serta memberikan maslahat dengan pemikiran dan keterampilan mereka.

Jangan ragu, Khilafah akan menjadi pemimpin dunia yang sejati dalam menyediakan pendidikan perempuan dan menjamin aspirasi pendidikan mereka. Kesuksesan perempuan akan menjadi kebanggaan seluruh umat. Sebagaimana pada masa lalu, bangsa-bangsa lain akan merasa iri pada prestise dan penghargaan yang dinikmati perempuan di bawah naungan Khilafah Rasyidah yang berdasarkan metode kenabian. WalLahu  a’lam. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*