Isu ‘politisasi agama’ tampaknya tetap mewarnai Pilgub DKI Jakarta 2017 putaran kedua. Sejumlah kalangan sekular-liberal pro Ahok tentu yang paling ‘ribut’ menyoal ‘politisasi agama’ ini. Sejumlah media online yang notabene dimonopoli oleh kalangan sekular memuat headline seperti, “Politisasi Agama Menodai Demokrasi,” “Rakyat Sudah Muak dengan Politisasi Agama,” “Politisasi Agama Mengancam Kebhinekaan,” “Ahok Korban Politisasi Agama,” dll.
Kalangan sekular-liberal mengklaim Pilkada DKI sejak awal ternoda oleh maraknya kampanye yang mengangkat isu agama. Secara kasatmata, kata mereka, banyak spanduk yang secara implisit mengajak warga tidak memilih kandidat tertentu lantaran berlainan agama bertebaran di seantero Ibukota. Tak hanya itu, kampanye semacam itu juga menjadi viral di media sosial. Kondisi ini menegaskan telah terjadi politisasi agama secara massif di Pilgub DKI Jakarta.
Savic Ali, Tokoh Muda Nahdlatul Ulama (NU), barangkali mewakili kalangan yang gelisah terhadap politisasi agama ini, khsususnya terkait Pikada DKI Jakarta. Savic menilai gerakan politis yang mengatasnamakan agama (baca: pelitisasai agama, red.) masih akan laku di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Hal itu, kata dia, sangat memprihatinkan (Tribunnews.com, 20/3/2017).
Tentu kita layak bertanya, “Apa sebetulnya yang maksud dengan politisasi agama?”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politisasi bermakna: hal membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis. Dengan demikian secara sederhana ‘politisasi agama’ bermakna: hal membuat agama bersifat politis.
Namun demikian, dengan melihat realitas politik saat ini, politisasi agama menunjuk, paling tidak, pada dua hal: Pertama, menjadikan agama (Islam) semata-mata sebagai ‘alat’ untuk mewujudkan kepentingan politik pragmatis: meraih kekuasaan. Jika ini yang dituduhkan, faktanya politisasi agama semacam ini justru acapkali dilakukan oleh kalangan sekular-liberal, terutama tentu para calon yang bertarung dalam Pemilu/Pilkada. ‘Simbol-simbol Islam’—seperti baju koko, kopiah, sorban, kerudung, jilbab, dll—mereka ‘peralat’ sebagai daya tarik menjelang dan selama kampanye; tentu demi meraih simpati umat Islam. Menjelang dan selama kampanye, mereka pun tiba-tiba rajin ‘bersilaturahmi’ ke tokoh-tokoh agama/para ulama/kiai; rajin berkunjung ke pesantren-pesantren, masjid, majelis taklim, dll. Anehnya, hal semacam ini dilakukan juga oleh para calon dari kalangan non-Muslim, seperti Ahok. Untuk apa? Sekali lagi, tentu untuk kepentingan politik pragmatis.
Bukankah tindakan mereka semacam ini yang lebih layak disebut sebagai politisasi agama? Sebab faktanya, sikap dan tindakan mereka setelah mereka terpilih sering bertentangan dengan Islam dan kepentingan umat Islam. Contoh paling nyata, mereka rata-rata menolak syariah, apalagi Khilafah. Padahal jelas, syariah dan Khilafah adalah bagian yang tak mungkin dipisahkan dari Islam. Jangankan syariah dan Khilafah, bahkan jilbab pun acapkali masih mereka persoalkan. Contoh lain: pembela al-Quran mereka nista, sementara penista al-Quran terus mereka bela. Belum lagi ragam kebijakan mereka yang acapkali merugikan Islam dan kaum Muslim.
Kedua, menjadikan agama (Islam) tidak terpisah dari politik; Islam bahkan harus menjadi landasan dan pedoman dalam berpolitik. Alasannya, politik dalam Islam hakikatnya adalah bagaimana mengatur urusan rakyat berdasarkan syariah Islam (An-Nabhani, 2005).
Karena itu agama memang tidak bisa dipisahkan dari politik/kekuasaan, sebagaimana kata Imam al-Ghazali, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar…Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya musnah.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 199).
Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/394).
Karena itu, terkait kepemimpinan, agama (Islam) wajib dijadikan pedoman. Dalam Islam, pemimpin, baik level penguasa negara ataupun kepala daerah, wajib Muslim; haram dipegang oleh kafir. Selain wajib Muslim, sejumlah syarat lain dipaparkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fikih siyâsah mereka seperti: laki-laki, balig, berakal, merdeka, adil dan memiliki kemampuan.
Lebih dari itu, para pemimpin di dalam Islam wajib hanya menerapkan syariah Islam atau sistem Islam. Karena itu tentu kita mengecam sikap kalangan sekular-liberal yang anti syariah Islam. Padahal mereka begitu keras ingin mencitrakan diri ‘islami’ saat-saat kampanye Pemilu/Pilkada. Kita pun menolak ragam tuduhan negatif kalangan sekular-liberal terhadap syariah Islam seperti: syariah Islam mengancam kebhinekaan, memecah-belah bangsa, dll. Pasalnya, syariah Islam datang justru sebagai rahmat bagi manusia (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Syariah Islam hadir untuk mengatur seluruh aspek kehidupan: pemerintahan, ekonomi, politik, pendidikan dan sosial, dll.
Faktanya, sekularisme-demokrasilah yang menjadi ancaman terbesar bangsa ini. Bukankah segenap problem yang menimpa bangsa ini bukan akibat dari penerapan syariah Islam, tetapi justru akibat penerapan sistem sekular-demokrasi? Bukankah persoalan seperti kemiskinan, korupsi, kerusakan moral, maraknya kriminalitas, munculnya bentrokan antaranggota masyarakat, dll adalah akibat penerapan sistem sekular-demokrasi, bukan akibat penerapan syariah Islam? Jadi mengapa syariah Islam yang menjadi tertuduh? Bukankah lebih layak tuduhan ‘mengancam bangsa dan negara ini’ ditujukan pada sistem sekular-demokrasi yang diterapkan di negeri ini?
Faktanya pula, penerapan syariah Islam—dalam institusi Khilafah—secara historis pun terbukti membawa aneka kebaikan, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi non-Muslim. Syariah Islam dengan Khilafahnya sanggup menyatukan berbagai ras, warna kulit, bangsa, suku, termasuk berbagai agama; menyatukan berbagai kawasan dunia mulai dari Jazirah Arab, Afrika, Eropa hingga ke Asia. Inilah yang juga diakui oleh banyak cendekiawan yang jujur. Carleton, salah satunya. Dalam tulisannya, “Technology, Business, and Our Way of Life: What Next,” ia berkomentar, “Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adidaya dunia (superstate) yang terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku.”
Begitulah saat politik/kekuasaan benar-benar menyatu dengan Islam, bahkan didasarkan pada akidah dan syariah Islam. [ABI]