Sebagian besar orang, termasuk para cendekiawan Muslim, banyak menjadikan cara pandang Barat modern sebagai tolok ukur. Sesuatu yang dianggap baik di Barat mereka ambil. Yang ditolak di Barat berusaha mereka tentang. Hal tersebut hampir terjadi di semua dimensi kehidupan, terutama di bidang politik dan pemikiran. Benturan peradaban menyangkut bidang pemikiran, militer dan politik antara Islam dan Barat terjadi sejak Napoleon Bonaparte menginjakan kakinya di Mesir. Benturan tersebut terjadi hingga sekarang meski secara militer pasukan Napoleon Bonaparte bisa dienyahkan.
Delegasi kaum terpelajar yang dikirim oleh Muhammad Ali ke Prancis untuk belajar ilmu pengetahuan dan tsaqafah Barat begitu menancap kuat. Pada saat yang sama ia menjadi jaminan pembentukan negara modern di Dunia Islam. Pendampingan yang dilakukan Syaikh al-Azhar Rifaah Rafi ath-Thahthawi bisa dikatakan gagal membentengi kaum terpelajar yang hidup di Barat. Sebaliknya, justru saat kembali ke Mesir, At-Thahthawi menyebarkan ‘kebaikan-kebaikan’ yang ia saksikan di Barat. Beliaulah orang pertama yang menyerukan ‘ashabiyyah dan paham kebangsaan (al-‘ashabiyyah al-wathaniyyah) di negeri-negeri kaum Muslim. Padahal Konsulat Prancis sendiri pada tahun 1856 mengakui bahwa paham tersebut tidak pernah ditemukan di Dunia Islam.
Perang pemikiran terus berlanjut seiring dengan menguatnya cengkeraman Barat atas Dunia Islam, khususnya pasca keruntuhan Daulah Khilafah Utsmaniyah dan terpecahnya negeri-negeri kaum Muslimin menjadi negara-negara kecil. Di sanalah, kosep ‘negara-bangsa’, ‘negara modern’, ‘negara sipil’ dan sebutan-sebutan lainnya semakin mendapatkan “urgensinya”, tentu dengan sokongan Barat penjajah.
Seorang wartawan terkenal asal Suriah berkewarganegaraan ganda Suriah-Inggris Faisal Qosim mengatakan, “Tidakkah Anda melihat, sistem Kapitalisme hanya memiliki satu pintu dengan satu kunci? Siapa saja yang tidak memasuki pintu itu maka ia tengah berada di luar dunia dan zaman ini.”
Sungguh itu merupakan pertanyaan retoris bernada sinis yang menggambarkan betapa kuatnya cengkeraman pemikiran Barat pada dirinya. Padahal pada saat yang sama, seorang sejarahwan Inggris, Arnold Joseph Toynbee, menyatakan bahwa gelombang cengkeraman Barat atas dunia saat hanyalah secuil episode sejarah dalam perjalanan panjang kemanusiaan yang membentang selama ribuan tahun.
Toynbee dalam bukunya yang sangat terkenal, Civilization on Trial, juga mengingatkan bahwa prestasi material yang kini dicapai Barat akan kembali mengalami kemunduran dan berakhir dengan kehancuran karena tidak disandarkan pada dasar keyakinan agama yang kuat. Tidak hanya itu, ia juga menyerukan untuk mengkaji Islam sebagai peradaban masa depan. Pasalnya, kemunduran umat Islam hanyalah sementara. Mereka memiliki peradaban yang cukup matang untuk menggantikan peradaban Barat sebagaimana mereka dulu membebaskan wilayah Syam dan Mesir dari cengkeraman Helenic yang berkuasa selama ribuan tahun. Hal yang sama ditunjukkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi dan Nuruddin Zanki, juga kekuasaan Mamalik Islam lainnya dalam menggulung kekuatan tentara Salib dan Mongol. Lebih dari itu, Toynbee meyakini bahwa pusat peradaban masa depan akan membentang antara Bagdad di Irak dan Lembah Ferghana di Asia tengah.
Akar Sejarah
Wael B. Hallaq dalam bukunya, The Impossible State, menyatakan ada lima karakteristik negara modern. Pertama: Negara modern adalah produk sejarah Eropa dengan latar belakang sosial budaya tertentu yang melingkupinya. Kedua: Perkembangan konsep kedaulatan negara serta konsep metafisik yang mendasarinya. Ketiga: Monopoli negara dalam melahirkan undang-undang. Keempat: Keberadaan aparatur dan birokrat negara. Kelima: intervensi negara dalam hal tatanan budaya dan sistem sosial.
Hal serupa ditengaskan oleh Carl Smith dalam bukunya, Political Theology, bahwa konsep-konsep yang muncul dalam teori-teori modern tentang negara seluruhnya dibangun di atas teologi sekularisme. Memang demikianlah kenyataanya. Kini konsep kedaulatan rakyat benar-benar telah menggantikan kedaulatan Allah SWT. Undang-undang telah mengalahkan kitab suci. Bahkan paham kebangsaan telah menggeser peran gereja; orang yang mati karenanya dianggap “syahid”. Dengan kata lain, teologi keagamaan telah pudar dan diganti oleh teori bernegara. Konsep tuhan sebagai pembuat hukum tak lagi berdaya di hadapan para pembuat undang-undang yang banyak bermoral rusak.
Singkat kata, sejarah Eropa yang melahirkan konsep negara modern telah merombak tatanan sistem politik Barat, dari konsep teologi gereja menuju pandangan sekular yang memisahkan agama dari urusan publik.
Sampel Kekacauan Teori dan Praktik
Orang pertama yang mengedepankan logika kemaslahatan adalah Niccolٍ Machiavelli. Dia adalah seorang pemikir Italia yang hidup pada masa peperangan. Oleh sebab itu, tak heran bila ia membangun teori-teorinya di atas asumsi bahwa manusia adalah musuh manusia lain. Machiavelli meyakini bahwa manusia adalah makhluk munafik, serakah dan tamak. Menurut dia, sifat-sifat itu tidak mungkin diubah. Seluruh manusia adalah tiran. Perbedaan antara orang yang benar-benar tiran dan yang tampak normal hanyalah pada aspek kesempatan belaka. Siapa saja yang mendapatkan kesempatan dan sarana untuk berlaku diktator dan penindas maka ia pasti melakukannya. Oleh sebab itu, dalam pandangan Machiavelli, siapa saja yang ingin membangun negara dan menyusun undang-undang mesti memahami bahwa manusia yang akan ia atur adalah manusia bejat. Karena itu dalam pandangan Machiavelli, setiap penguasa diperkenankan menggunakan sarana dan cara apapun untuk meraih tujuannya tanpa memperhatikan nilai-nilai akhlak, spritual dan kemanusiaan.
Sejalan dengan pemikiran Machiavelli, Thomas Hobbes dalam bukunya, Leviathan or The Matter, menyatakan bahwa satu-satunya jalan untuk membatasi keserakahan manusia dan menghentikan peperangan adalah dengan memaksa mereka tunduk pada aturan negara.
Adapun pemikir Prancis, Jean-Jacques Rousseau, memandang bahwa negara terbentuk karena adanya kontrak sosial yang dilakukan oleh rakyat. Kontrak itulah yang menjadi pilar negara dan kekuasan umum yang ia pegang. Atas dasar kontrak itulah seorang individu melepaskan sebagian kebebasaannya kepada komunitas tempat ia hidup, untuk mendapatkan kebebasaan sipil yang baru. Dalam pandangan Rousseau, negara adalah ekspresi dari kehendak umum mayoritas; negara memiliki kekuasaan mutlak yang tinggi, bahkan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Teori ini sejatinya telah mengakhiri teori kebenaran Ilahi yang dipegang oleh gereja dan para raja. Meski demikian, Rousseau sendiri dalam bukunya, The Social Contract, tidak pernah menyatakan bahwa teori kontrak sosial merupakan hasil kajian ilmiah dan sejarah, melainkan asumsi-asumsi belaka untuk mencapai tujuan “mulia” dan “luhur”.
Kenyataannya, konsep kontrak sosial hanyalah klaim belaka. Atas nama rakyat miskin dengan peran sepintas lalu dalam bilik-bilik suara, berbagai perundangan yang memberatkan mereka dibuat. Rakyat dipaksa untuk menerima itu. Mereka tidak memiliki pilihan kecuali menunggu pemilu berikutnya setelah terjadi kerusakan demi kerusakan yang nyata. Bagaimana tidak, hukum dan perundangan dibuat tanpa standar baku yang membedakan antara hak dan batil. Sebaliknya, hak dan batil ditentukan oleh kepentingan politik yang sedang berkuasa. Begitu pun lembaga legislatif; pada gilirannya hanyalah representatif kepentingan para kapitalis. Adapun lembaga peradilan hanya berperan dalam polemik dan perdebatan dalam menafsirkan undang-undang sesuai hasrat penguasa. Bila tak berhasil bermain di lembaga peradilan, penguasa tak merasa risih menggunakan lembaga legislatif untuk mengubah undang-undang.
Contoh paling nyata apa yang terjadi di Mahkmah Agung Konstitusi di Amerika. Kecenderungan keputusan bisa berubah-ubah; dari republik-konservatif ke demokrat-liberal; atau sebaliknya. Hal tersebut tentu bukan hanya terjadi di AS, namun juga di negara-negara modern yang lain. Perdebatan terkait legalitas ganja, gay, aborsi, dan lain-lain, secara kasatmata menunjukan cacatnya “tuhan” demokrasi yang menyebabkan hukum tidak stabil. Sebaliknya, ia senantiasa berubah-ubah mengikuti nafsu dan hasrat manusia yang berbeda-beda.
Lebih lanjut, pertanyaan-pertanyaan seperti: Bagaimana bentuk sistem ekonomi terbaik? Siapakah yang menentukan kepemilikan pribadi dan umum? Siapakah yang menentukan kewajiban negara atas rakyat, begitu juga sebaliknya? Apa peran sektor publik dan sektor swasta? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi problem tersendiri bagi konsep negara modern hingga saat ini.
Bagi kalangan sosialis, tentu sistem sosialis-komunis lebih baik. Namun, para kapitalis justru bisa sesumbar dengan keberhasilan mereka meluluhlantakkan prototipe sistem sosialis komunis yang diemban Uni Soviet, meski pada saat yang sama mereka membutuhkan tambal-sulam atas sistem yang mereka anut. Kajian-kajian atas teori-teori kapitalis untuk membenarkan intervensi negara (sektor publik) dalam mengorganisasi arus pasar (sektor swasta), sesuai teori the invisible hand-nya Adam Smith adalah salah satu bentuk tambal-sulam tersebut.
Ketika bencana akibat penerapan sistem kapitalis demikian nyata, mereka pun segara melakukan reformasi untuk mencegah revolusi yang dilakukan kalangan tertindas. Namun, bila situasi kembali normal para kapitalis kembali menjarah di siang bolong dengan legalitas undang-undang. Pada saat itu negara pun menyerah dan membiarkan kaum tertindas semakin menderita.
Problem lain dari konsep negara modern adalah kenyataan bahwa konsep ini lahir dari rahim Perjanjian Westphalia tahun 1648. Perjanjian ini berdiri di atas institusi politik yang berdasarkan kedaulatan rakyat yang tercermin dalam kedaulatan politik suatu entitas nasional-tanah air. Hal ini meniscayakan setiap penduduk suatu negara untuk memberikan loyalitas total kepada tanah airnya. Hal inilah yang menyeret bangsa-bangsa Eropa pada serangkaian peperangan yang tiada akhir. Padahal biaya yang dikeluarkan sangatlah besar sebagaimana terjadi pada peperangan pada abad ke 20 lalu. Tak aneh, era pencerahan Eropa kemudian diikuti dengan kolonialisme di berbagai belahan dunia dengan menggunakan kekerasan. Hal ini diakui oleh Samuel Huntington, bahwa dominasi dunia Barat bukanlah karena superioritas ide, nilai dan agama; melainkan karena keberhasilan mereka dalam mengorganisasi kekerasan.
Tidakkah fakta-fakta di atas cukup menjadi bukti bahwa standar kebenaran yang dibawa oleh Barat dengan konsep negara modernnya selalu berubah-ubah; dasarnya adalah nafsu belaka bukan yang lain? Bukakah prinsip-prinsip kapitalis yang dibangun atas dasar filsafat Machiavelli—bahwa “tujuan menghalalkan segala cara” yang tidak mengenal kecuali nilai materi—adalah prinsip yang tidak manusiawi dan tidak dibangun berdasarkan nalar sama sekali, melainkan hukum rimba yang didominasi logika kekuasaan?
[Disarikan dari makalah yang disampaikan Utsman Bakhas/Direktur Central Media Office Hizbut Tahrir dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Peradaban bagi Pengembangan Pemikiran Islam, 30 Januari 2017].