Sekularisasi ilmu dalam sistem pendidikan hari ini telah menimbulkan dampak yang luar biasa pada umat. Di Dunia Arab, jantungnya Dunia Islam, para kolonial Barat secara sengaja mengikatkan istilah sekularisme dengan akar kata ‘Ilm’ (pengetahuan) menjadi ‘Ilmaniyah’ (dalam bahasa Arab) untuk mempromosikan akidah sekular yang benar-benar bertentangan dengan Islam. Hal ini dilakukan untuk membuat istilah Arab untuk sekularisme menggambarkan ilmu pengetahuan modern yang perlu dikembangkan dan diadopsi. Ini adalah penipuan besar karena kata asli ‘sekularisme’ dalam bahasa mereka (bahasa Inggris) sama sekali tidak terhubung ke kata ‘pengetahuan’ (knowledge). Sebaliknya, itu mewakili ide sesat tentang manusia, alam semesta dan kehidupan yang diadopsi oleh Barat.
Dampak penipuan ini luar biasa. Sistem pendidikan di negeri-negeri Muslim terinfeksi nilai-nilai kebebasan dan sekularisme. Konsekuensi lanjutnya, kaum terpelajar menjadi terpisah dari umat. Mereka sulit memahami persoalan umat karena hilangnya pemikiran politik Islam. Mereka justru mengadopsi cara berpikir ilmiah sekular dan metode ilmiah ala Barat.
Proses sekularisasi ini terus berestafet. Ideologi Kapitalisme menjadi driver utama di dalam dunia pendidikan modern hari ini. Akibatnya, berkembang pragmatisme dalam pendidikan, yang tercermin dari tujuan pendidikan yang terlampau materialistik. Tujuan ini jauh dari tujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan memperbaiki kualitas kepribadian.
Walhasil, lahirlah era yang—walaupun disebut sebagai The Age of Abundance Knowledge (yaitu zaman keberlimpahan ilmu pengetahuan dan teknologi) oleh Profesor James Duderstadt—tidak mampu menjawab krisis kemanusiaan, krisis ekonomi, krisis moral, krisis politik dan krisis generasi. Produksi ilmu pengetahuan dan teknologi hari ini terjadi dengan luar biasa cepat, namun tidak mampu menciptakan dunia menjadi lebih baik, malah terus-menerus memproduksi krisis.
Setidaknya ada tiga bentuk kerusakan tujuan yang melanda negeri-negeri Muslim sebagai berikut:
- Menyusupnya tujuan pendidikan asing sebagai agenda penjajahan
Di bawah dalih kontra-radikalisme dan terorisme hari ini, Dunia Barat jelas sekali memiliki kepentingan serius untuk meredam kebangkitan Islam. Mereka bergerak mengubah kurikulum bukan semata karena masalah internal negara-negara Muslim, melainkan karena kepentingan mereka untuk mempertahankan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Banyak cara mereka lakukan untuk menekan negara-negara Muslim, termasuk melalui dialog antaragama yang secara berkala merekomendasikan perubahan kurikulum di negeri-negeri Islam untuk memberikan ruang bagi hubungan yang lebih erat antar agama-agama; atau dalam bentuk syarat untuk menerima bantuan dari badan-badan keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Bisa juga berbentuk konferensi-konferensi tingkat tinggi PBB atau lembaga-lembaga internasional seperti UNESCO, UNICEF dan sebagainya.
Agenda untuk semakin mensekularkan sistem pendidikan di dunia Muslim telah semakin intensif pada tahun-tahun terakhir. Memang, siapa pun yang mengkaji fenomena gelombang perubahan kurikulum ini akan melihat itu seperti analogi penyair, Al-Akhtal, yang menggambarkannya “seperti penyakit ruam”: tersembunyi tetapi terus menyebar serentak. Di Dunia Arab terutama, sebagai pusat peradaban Islam, arus perubahan kurikulum menyapu banyak negara Muslim di bawah dalih palsu kontra terorisme/radikalisme. Misalnya, pemerintah Arab Saudi benar-benar menghapus bab Al-Wala’ dan Al-Bara’ (loyalitas dan pengingkaran) dari subjek Tauhid, menyusul peristiwa 11 September 2001. Di Maroko, menyusul ledakan bom di sana, ada seruan untuk menghapus kata jihad dari setiap buku sekolah. Hal yang sama berlaku di Uni Emirat Arab, Kuwait dan Yaman. Presiden mereka menyeru kepada jajaran menterinya: “Kita harus menerapkan perubahan kurikulum pendidikan sebelum penerjemah datang dari Amerika. Ini karena kita adalah orang-orang Muslim dan tidak ada ruginya mengurangi sedikit dosis agama kita!”
Perubahan konten kurikulum juga terasa signifikan di negeri-negeri Arab lainnya, seperti Yordania, misalnya. Perubahan dilakukan sampai pada titik menghapus gambaran profil laki-laki berjenggot serta perempuan berkerudung dan berjilbab dari buku-buku bacaan sekolah; menghapus habis pelajaran tentang surat Al-Lail lalu menggantinya dengan pelajaran berenang. Di Aljazair, pada tahun 2016, Menteri Pendidikan mengusulkan untuk mengganti bahasa Arab Fushah (klasik), yakni bahasa Arab al-Quran, di pendidikan sekolah dasar, dengan bahasa jalanan Aljazair sehari-hari. Di Tunisia, Menteri Pendidikan menyatakan bahwa untuk meningkatkan kebahagiaan murid, subjek matematika dan fisika harus dikurangi dan digantikan dengan tari dan musik di sekolah campuran laki-laki dan perempuan.
Ini tidak berbeda dengan belahan Dunia Islam lainnya seperti Indonesia, Turki, Bangladesh dan Afghanistan. Di Turki kurikulum untuk subjek agama dan etika mengajarkan kepada murid-murid kelas 7 bahwa, “Sekularisme adalah jaminan bagi kebebasan berpikir dan beragama”. Pelajaran sejarah menyajikan fitnah terhadap Islam dan para pemimpin Muslim masa lalu sebagai fakta yang benar sehingga memutuskan hubungan para pemuda dari sejarah dan budaya Islam mereka.
Momentum narasi palsu kontra terorisme/radikalisme hari ini menjadi pemicu penting akan sekularisasi pendidikan terbaru yang semakin intensif di dunia Muslim. Bangladesh sebagai contoh. Pada tahun 2010 rezim Awami merevisi kebijakan pendidikan atas nama “modernisasi” dan membentuk sebuah komite pendidikan baru untuk lebih mensekularkan seluruh sistem pendidikan di negeri itu. Pemerintah dengan seenaknya menunjuk sejumlah besar individu sekular, ateis dan Hindu untuk menempati posisi-posisi kunci di Kementerian Pendidikan, Komite Nasional Pendidikan, dan Komite Koordinator Kurikulum Nasional. Individu dari sekte Qadiyani telah diberi tanggung jawab untuk menulis dan mengedit buku-buku teks Islam. Di Pakistan, pada tahun 2006, Pemerintah mengumumkan serangkaian reformasi pendidikan. Sebuah gugus tugas pendidikan Pakistan juga disusun untuk memutarbalik tingkat islamisasi sistem pendidikan. Pelatihan guru di negara ini sering dilakukan oleh organisasi-organisasi asing dan lokal yang didanai Barat. Di Afganistan, sejak AS menduduki wilayah itu pada Oktober 2001, USAID telah menghabiskan setidaknya $868 juta untuk program pendidikan di Afganistan demi menyetir pemikiran generasi muda agar sesuai dengan preferensi penjajah. Subjek-subjek yang mengandung substansi Islam seperti nama-nama Allah, jihad dan sebagainya telah dihapus dari buku-buku teks sekolah.
Di Indonesia, sebuah versi baru sekularisasi pendidikan dijalankan dengan mempromosikan ‘Islam Moderat’. Mulai tahun 2016, diterapkan kurikulum pendidikan Islam baru, yang menekankan pada pemahaman Islam yang damai, toleran dan moderat. Kenyataannya, hal ini adalah bentuk Islam yang menolak jihad dan pemikiran politik Islam seperti dukungan terhadap hukum syariah atau Khilafah. Di sisi lain justru kepercayaan-kepercayaan non-Islam yang berasal dari liberalisme dan keimanan lain harus diterima di bawah kedok “keragaman budaya”. Menteri Agama RI menyatakan bahwa kurikulum baru ini adalah respon Pemerintah untuk mempromosikan perdamaian di tengah meningkatnya penyebaran ‘doktrin radikal’ di lembaga-lembaga akademis. Kementerian Agama juga bahkan bergerak di level regional dengan memfasilitasi sebuah forum sinergi Halaqah Ulama ASEAN 2016 yang terdiri dari Ulama dan Pesantren Asia Tenggara demi mempromosikan Islam Moderat dan nilai moderatisme Islam yang dianut oleh organisasi ASEAN.
Demikianlah agenda kolonial telah menyusup ke dalam sistem pendidikan di negeri-negeri Islam, dari dunia Arab hingga ke Asia Timur Jauh. Wabah sekularisasi telah muncul dengan banyak cara dan bentuk untuk merasuki negeri-negeri Islam, di samping ketundukan para penguasa Muslim dan miskinnya visi pendidikan mereka.
- Kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan.
Negeri-negeri Muslim ramai-ramai melakukan privatisasi pendidikan demi tujuan komersil. Inilah kerusakan tujuan pendidikan sebagai konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi liberal kapitalis berbasis riba yang merusak tujuan pendidikan di Dunia Islam. Memang, globalisasi kapitalisme mengharuskan: Pertama, semua negara harus mengadopsi sistem ekonomi liberal, dengan slogan perdagangan bebasnya. Kedua, privatisasi terhadap semua sektor publik. Ketiga, menempatkan negara sebagai penjamin bagi kelangsungan sistem ekonomi pasar. Tiga kondisi ini memberikan implikasi nyata dalam dunia pendidikan, yakni privatisasi dan otonomi pendidikan. Hal ini meniscayakan biaya pendidikan yang tinggi. Akibatnya, pendidikan bukan lagi milik publik/rakyat melainkan milik lapisan sosial kaya tertentu di dalam masyarakat.
Linear dengan arus globalisasi, pendidikan dipandang sebagai industri tersier. Arus ini dipelopori oleh WTO – organisasi perdagangan dunia melalui General Agreement on Trade in Services (GATS), yang mengatur liberalisasi perdagangan, termasuk pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat.
Sungguh Kapitalisme telah merendahkan ilmu pengetahuan layaknya barang dagangan. Hubungan maupun ruang lingkup ilmu pengetahuan terus-menerus dinilai berdasar nilai ekonomi. Kapitalisme juga telah menjatuhkan para pemilik ilmu pengetahuan (ulama dan ilmuwan) pada derajat budak-budak mereka. Ilmu dan profesionalitas mereka dibajak untuk melegitimasi sepak terjang para kapitalis dalam merampok kekayaan alam dunia Islam. Sebagai contoh di Indonesia, Undang-undang (UU) Penanaman Modal, UU Migas, UU Ketenagalistrikan dan UU Sumber Daya Air adalah hasil karya para intelektual pesanan para kapitalis yang sangat menyengsarakan rakyat.
- Profesionalisme, keahlian individu dan kepuasan intelektual.
Ini juga di antara tujuan pendidikan yang keliru yang masih berhubungan erat dengan nilai Kapitalisme, yakni individualisme. Pendidikan hanya dipandang sebagai alat untuk meraih kesuksesan individu, mengejar mimpi dan manfaat jangka pendek; hanya untuk kepentingan dan kesuksesan personal dan keluarga semata. Kesuksesan, di dalam Kapitalisme, secara sempit dipahami hanya sebatas mendapat pekerjaan dan profesi tertentu agar meraih kemapanan finansial. Nilai-nilai sekular kapitalis membuat memperoleh “profesi” dianggap sebagai capaian puncak kesuksesan individu. Kapitalisme global secara evolutif telah menggeser nilai-nilai sakral dalam ajaran agama dan tradisi sehingga menjadi instrumen bagi pembentukan gaya hidup yang berorientasi pada kesenangan dan kepuasan semata.
Dalam skala lebih luas, ada kalangan pengusaha atau pemimpin korporasi bisnis menyalahartikan fungsi pendidikan. Mereka memandang pendidikan berfungsi untuk mencetak sebanyak mungkin profesional dan tenaga ahli atau memproduksi talent-talent jenius yang bisa diberdayakan oleh korporasi global dalam industri mereka. Perspektif ini jelas lahir dari elit kapitalis itu sendiri, yang terlihat dari survei yang dilakukan McKinsey & Co. tahun 2016. Survei ini melibatkan 77 perusahaan dengan 6.000-an responden. Hasil survei mengkonfirmasi bahwa di dunia elit korporasi kapitalis terjadi pertarungan sengit dalam memperebutkan talent-talent jenius yang jumlahnya terbatas.
Ini justru merendahkan arti pendidikan, yang hanya digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan persaingan bisnis dan penguasaan teknologi untuk kepentingan segelintir pemilik modal, bukan rakyat apalagi negara. Cara pandang ini bahkan berpotensi membahayakan kemaslahatan masyarakat dan kedaulatan negara karena menyerahkan loyalitas keahlian dan ilmu pengetahuan pada kesuksesan materi dan korporasi, bukan pada cita-cita luhur kemuliaan peradaban.
Khatimah
Jelas, pendidikan yang telah dijauhkan dari agama dan dibisniskan tidak akan pernah mampu membangun, memajukan dan meningkatkan martabat kehidupan rakyat. Yang terjadi, sistem pendidikan malah menjadi pelayan agenda penjajah asing, memproduksi keuntungan bagi bisnis dan kesuksesan individu/profesionalisme, dan sebagainya. Sistem pendidikan yang berfokus pada tujuan individualistis hanya mendidik individu agar punya kemampuan mencari pekerjaan untuk kesuksesan pribadi, namun miskin akan moral dan integritas/akhlak. Akibatnya, banyak generasi muda Muslim rentan terjebak pada penyakit sosial seperti narkoba, pergaulan bebas, tawuran dan banyak persoalan lainnya. Kondisi ini jelas sangat jauh dari kemajuan masyarakat yang bermartabat, dan jauh dari kualifikasi negara yang maju dan berdaulat. [Fika Komara, Anggota Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir.]