As-Sunnah secara bahasa artinya ath-tharîqah (jalan), an-nahju (metode/jalan) wa al-jihatu (arah). Secara syar’i istilah as-sunnah digunakan untuk menyebut ibadah tambahan yang dinukilkan dari Nabi saw. Dalam istilah hukum, as-sunnah artinya adalah apa saja yang jika dilakukan, pelakunya mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa.
Dalam istilah para ulama hadis, as-sunnah adalah apa saja yang disandarkan kepada Rasul saw. berupa ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrîr), sifat ciptaan atau sifat akhlak.
Adapun dalam istilah para ulama ushul fikih, as-sunnah adalah apa yang keluar dari Rasul saw. berupa ucapan, perbuatan atau persetujuan (taqrîr) terhadap suatu ucapan atau perbuatan. Dalam pembicaraan tentang dalil-dalil syariah, istilah as-sunnah digunakan untuk menyebut perbuatan, ucapan dan persetujuan Rasul saw. Semua itu adalah as-sunnah dan semua itu diterima Rasul saw. dengan wahyu.
Allah SWT menegaskan di dalam al-Quran:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ ٱلۡهَوَىٰٓ ٣ إِنۡ هُوَ إِلَّا وَحۡيٞ يُوحَىٰ ٤
Tiadalah yang dia ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada dirinya) (QS an-Najm [53]: 3-4).
قُلۡ إِنَّمَآ أُنذِرُكُم بِٱلۡوَحۡيِۚ وَلَا يَسۡمَعُ ٱلصُّمُّ ٱلدُّعَآءَ إِذَا مَا يُنذَرُونَ ٤٥
Katakanlah (hai Muhammad), “Sungguh aku hanya memberi kalian peringatan dengan wahyu.” (QS al-Anbiya’ [21]: 45).
As-Sunnah adalah Dalil Syariah
As-Sunnah adalah dalil syariah. Dengan demikian hukum yang ditunjukkan oleh as-Sunnah merupakan hukum syariah. Keberadaan as-Sunnah merupakan dalil syariah itu karena tegaknya dalil qath’i yang menegaskan kenabian Muhammad saw. dan risalahnya. Selain itu karena dalil qath’i ats-tsubût dan qath’i ad-dalâlah menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berbicara menurut hawa nafsunya, melainkan hanyalah wahyu yang diwahyukan kepada dirinya; bahwa Nabi saw. hanyalah memberi peringatan dengan wahyu dari Allah SWT.
Jadi as-Sunnah merupakan wahyu dari Allah SWT. Hanya saja, berbeda dengan al-Quran yang lafalnya juga berasal dari Allah, as-Sunnah isinya merupakan wahyu lalu Rasul saw. mengungkapkannya menggunakan redaksi dari beliau, atau melalui perbuatan beliau, atau taqrîr (persetujuan) atau diamnya beliau sebagai persetujuan beliau.
Keberadaan as-Sunnah sebagai dalil syariah itu sama dengan al-Quran, tidak ada perbedaan di antara keduanya, sebab sama-sama tegak dalil qath’i atas hal itu. Karena itu membatasi pada al-Quran saja merupakan pendapat yang keluar dari Islam. Allah SWT sendiri menegaskan keharusan mengambil as-Sunnah (QS al-Hasyr [59]: 7; an-Nisa’ [4]: 59, 65; an-Nur [24]: 63; al-Ahzab [33]: 36). Semua nash itu dan yang lainnya qath’i tsubût dan qath’i dalâlah atas kewajiban mengambil as-Sunah, seperti halnya mengambil al-Quran. Orang yang mengingkari as-Sunnah adalah kafir secara pasti. Jadi wajib mengambul as-Sunah sama seperti wajib mengambil al-Quran. Olehnya itu, tidak boleh hanya mengambil al-Quran dan meninggalkan as-Sunnah. Miqdam bin Ma’di Karib al-Kindi menuturkan bahwa Rusul saw. pernah memperingatkan hal itu:
يُوشِكُ الرَّجُلُ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ, يُحَدَّثُ بِحَدِيثٍ مِنْ حَدِيثِي, فَيَقُولُ: بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ, فَمَا وَجَدْناَ فِيهِ مِنْ حَلاَلٍ اسْتَحْلَلْنَاهُ, وَمَا وَجَدْناَ فِيهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ, أَلاَ وَإِنَّ مَا حَرَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مِثْلُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ
Hampir-hampir seorang laki-laki bersandar di peraduannya, dia berbicara dengan suatu dari hadisku, ia berkata, “Di antara kita dan kalian ada KitabulLah ‘Azza wa Jalla. Apa yang kita temukan di dalamnya berupa halal, kita halalkan. Apa yang kita temukan berupa keharaman, kita haramkan. Ingat, sungguh apa yang Rasulullah haramkan adalah semisal apa yang Allah haramkan.” (HR Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan ad-Darimi).
Fungsi as-Sunnah Terhadap al-Quran
As-Sunnah menjadi pemutus atas al-Kitab. Al-Kitab kadang mengandung dua atau lebih kemungkinan, lalu datang as-Sunnah menentukan salah satunya, sehingga as-Sunnah harus dirujuk dan konsekuensinya, lahiriah al-Kitab ditinggalkan.
Contohnya, terkait QS an-Nisa [4]: 23-24, selacara lahiriah, selain wanita yang disebutkan di dalam kedua ayat itu halal untuk dinikahi. Lalu datang as-Sunnah mengeluarkan dari kebolehan itu: “Seorang wanita tidak boleh dinikahi atas ‘ammah (bibinya dari pihak bapak) dan khâlah-nya (bibi dari pihak ibu).” (HR Muslim). Dengan demikian lahiriah ayat itu ditinggalkan dan ketentuan as-Sunah itu lebih dikedepankan.
As-Sunnah pada kondisi galibnya dan paling umum adalah menjelaskan (mubayyinah) al-Quran. Allah SWT menegaskan hal itu:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْ ك الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Kami menurunkan kepada kamu al-Quran agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka (TQS an-Nahl [16]: 44).
Penjelasan as-Sunah terhadap al-Quran itu bisa diringkas pada empat bentuk. Pertama: Tafshîl al-mujmal (merinci keglobalan) al-Quran. Contohnya, di dalam al-Quran, Allah SWT memerintahkan shalat tanpa rincian waktu dan tatacaranya. As-Sunnah datang merinci waktu dan tatacara shalat itu. Di dalam al-Quran diwajibkan haji tanpa dirinci manasiknya, lalu as-Sunnah merincinya. Di dalam al-Quran diwajibkan zakat tanpa merincinya, lalu as-Sunnah datang menjelaskan zakat itu wajib pada jenis harta apa saja, berapa nishab-nya, berapa kadar yang diambil dan kapan. Begitu pula banyak ketentuan al-Quran bersifat global, lalu datang as-Sunnah merincinya.
Kedua: Takhshîsh al-‘âm (mengkhususkan keumuman) al-Quran. Di dalam al-Quran dinyatakan berbagai ketentuan besifat umum, lalu as-Sunnah datang mengkhususkan keumuman itu. Misalnya, QS al-Baqarah [2]: 234 menyatakan masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Lalu keumuman itu dikhususkan oleh hadis tentang Sabi’ah al-Aslamiyah yang melahirkan 20 hari setelah suaminya meninggal, dan Rasul saw. menjelaskan padanya ia telah halal untuk menikah. Artinya, massa ‘iddah 4 bulan 10 hari untuk wanita yang ditinggal mati suaminya itu dikhususkan hanya untuk selain wanita yang sedang hamil, adapun masa ‘iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan.
Ketiga: Taqyîd al-muthlaq (membatasi kemutlakan). Ada ayat yang sifatnya mutlak lalu datang as-Sunnah membatasi kemutlakan itu. Contohnya, firman Allah SWT (yang artinya): “Jangan kamu mencukur kepala kalian sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atas dia berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkurban…” (TQS al-Baqarah [2]: 196). Kata “fa fidyat[un] min shiyâm[in] aw shadaqat[in] aw nusuk[in] (maka wajiblah atas dia berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkurban) dinyatakan dalam redaksi nakirah mutsbitah dan itu merupakan lafal mutlak. Lalu datang as-Sunnah membatasi kemutlakan itu, yaitu puasa tiga hari, sedekah tiga sha’ kepada enam orang miskin masing-masing setengah sha’ atau menyembelih seekor kambing. Kaab bin ‘Ujrah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda kepada dirinya, “Cukurlah kepalamu dan berilah makan satu faraq di antara enam orang miskin—al-faraq adalah tiga sha’—atau puasalah tiga hari, atau sembelihlah satu ekor kambing.” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan an-Nasa’i).
Keempat: Ilhâq (menyertakan) cabang hukum pada pokok yang dinyatakan di dalam al-Quran, lalu tampak cabang itu sebagai tasyri’ baru, namun dengan pendalaman jelas bahwa itu disertakan pada pokok yang dinyatakan di al-Quran. Ini banyak sekali. Contohnya, dalam QS an-Nisa [4] ayat 23 disebutkan wanita-wanita yang haram dinikahi (mahram). Lalu as-Sunnah menyertakan pada ketentuan mahram yang disebutkan di dalam ayat tersebut, semua wanita karena hubungan persusuan (ar-radhâ’ah). Sabda Rasul saw., “Yahrumu min ar-radhâ’ mâ yahrumu min an-nasab (Haram karena persusuan apa yang diharamkan karena nasab.” (HR al-Bukhari).
Dalam QS al-A’raf: 157, ditegaskan bahwa Allah menghalalkan ath-thayyibât dan mengharamkan al-khabâ’its. As-Sunnah datang menyebutkan keharaman daging keledai jinak, burung bercakar (berkuku tajam), hewan buas bertaring dan menyertakan hal itu pada al-khabâ‘its. As-Sunnah menjelaskan halalnya daging biawak, kelinci dan semacamnya dan menyertakan itu pada ath-thayyibât.
Masih banyak sekali as-Sunnah yang menyatakan hukum yang tampak sebagai tasyrî’ baru, namu setelah didalami jelas bahwa ada pokok atau asalnya di al-Quran. Ini adalah kondisi sebagian besar. Namun, as-Sunnah juga mendatangkan hukum baru yang tidak memiliki pokok atau asal di dalam al-Quran, meski ini hanya sedikit. Contohnya, ketentuan tentang kepemilikan umum seperti: “Al-Muslimûna syurakâ’un fî tsalâts[in]: fî al-kalâ`i wa al-mâ`i wa an-nâr.” (HR Abu Dawud). Begitu juga tentang keharaman mengambil pajak dan cukai: “Lâ yadkhulu al-jannata shâhibu maks[in].” (HR Ahmad).
Dengan demikian as-Sunnah itu menjadi penjelasan atas al-Quran baik dalam bentuk menjelaskan maknanya, merinci ke-mujmal-annya, membatasi kemutlakannya atau menyertakan cabang dengan asal di dalam al-Quran. As-Sunnah juga mendatangkan tasyrî’ baru yang asal atau pokoknya tidak dinyatakan di dalam al-Quran. Dalam semua itu, as-Sunnah merupakan dalil syar’i, sama dengan al-Quran. [Yahya Abdurrahman]