Demokrasi di negeri ini, sejak era runtuhnya rezim orde baru, menjadi sihir yang seksi bagi publik. Atas nama demokrasi, seluruh keran kebebasan dibuka. Meski ada beberapa kalangan Muslim yang berupaya membatasi nilai-nilai kebebasan dalam demokrasi yang dipandang bertentangan dengan Islam, lagi-lagi atas nama demokrasi, kalangan ini alih-alih dipandang sebagai penyelamat, justru dipandang sebagai kalangan konservatif, tidak maju dan sektarian. Kebebasan dipandang harga mati dan mampu memupus ayat-ayat Allah yang berbicara mengenai sesuatu yang sudah profan, given (tawqifi), semisal pembagian warisan, kepemimpinan, bahkan ibadah mahdhah. Seolah-olah, demokrasi mampu menggantikan Allah, Tuhan semesta alam.
Akhir-akhir ini ada fenomena yang menarik, saya melihat demokrasi dimanfaatkan oleh kelompok tertentu secara politis untuk memarjinalkan kelompok lain. Ini yang ironis. Beberapa waktu terakhir, sebagaimana dilansir di media nasional dan sosial, satu kelompok tertentu mengajukan nota keberatan kepada Kepolisian terhadap kegiatan-kegiatan Islam yang diselenggarakan oleh kelompok yang berbeda. Bahkan kelompok dari kalangan yang menyuarakan demokrasi ini menghentikan kegiatan yang tengah berlangsung. Bukankah langkah ini sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang mereka perjuangkan? Pertanyaannya sederhana, demokrasi apa yang sesungguhnya tengah dipraktikan oleh kelompok-kelompok ini?
Islam sejatinya memiliki tradisi yang sangat santun dalam mengelola perbedaan. Bukankah Allah SWT mengingatkan umat Islam untuk menyeru manusia secara hikmah (QS an-Nahl [16]: 125), yakni dengan argumentasi yang logis, pelajaran yang baik dan apabila terjadi perbedaan maka dilakukan dengan diskusi cara yang baik, tidak dengan fisik, anarkisme dan premanisme. Di kalangan ulama, perbedaan dikelola dengan sangat baik. Imam Al-Ghazali, membuat buku berjudul Tahâfut al-Falâsifah (Keruntuhan Filsafat) yang berisi kritikan terhadap buku Ibnu Sina, yang berjudul Maqasid al-Falasifah (Tujuan Filsafat) dan Al-Farabi. Mengomentari Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd membuat kitab berjudul Tahâfut at-Tahâfut (Keruntuhan kitab At-Tahâfut). Tidak terjadi adu fisik, anarkisme, sabotase yang dilakukan oleh para pengikut para imam ini. Semuanya diselesaikan dengan diskusi dan debat yang baik.
Lalu bila saat ini ada kelompok massa yang mengatasnamakan Islam, menjunjung demokrasi, namun berlaku anarkis dalam menyikapi perbedaan pemahaman dan ide, maka perlu diperiksa secara lebih kritis, Islam mana yang sesungguhnya tengah dipraktikan oleh kalangan tersebut, juga demokrasi apa yang diperjuangkan? Jangan-jangan mereka terjebak dalam pemahaman keliru dan kontraproduktif yang menjauhkan umat Islam dari kebangkitan yang hakiki. WalLâhu a’lam. [Dr. Denny Kodrat ; (Dosen Perguruan Tinggi Swasta di Sumedang)]