Demokrasi digembar-gemborkan sebagai sistem politik pemerintahan yang ideal. Demokrasi merupakan pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Demokrasi seolah memberikan harapan bagi kebangkitan umat Islam. Padahal ini hanyalah mimpi semata. Dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS sendiri menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah, “from the people, by the people, and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company, and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yaitu para pemilik modal. Hanya saja, mereka menipu rakyat dengan menggembar-gemborkan kedaulatan ada di tangan rakyat.
Secara normatif, demokrasi bukanlah jalan kebangkitan umat yang dibolehkan di dalam Islam. Secara realitas demokrasi memiliki makna kedaulatan ada di tangan rakyat; legislasi UU diserahkan kepada akal manusia semata. Artinya, hak membuat hukum ada di tangan manusia. Sumber hukum yang dilegislasi pun bukanlah berasal dari al-Quran maupun as-Sunnah. Hal ini menyalahi aturan Islam yang menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya Zat Pencipta sekaligus Pengatur. Dialah satu-satunya Zat Yang berhak menetapkan hukum bagi manusia (QS QS Yusuf [12]: 40). Allah SWT juga telah melarang seorang Muslim untuk menaati hukum selain hukum Islam (QS al-Maidah [5]: 44, 47, dan 49).
Secara empiris pun, demokrasi bukanlah jalan untuk meraih kebangkitan umat. Kita bisa belajar dari pengalaman kelompok-kelompok Islam di dunia ini yang berusaha memperjuangkan Islam melalui demokrasi. Pengalaman terbaru dapat kita lihat dari Presiden Mursi di Mesir. Beliau mendapatkan kemenangan kekuasaan dan disinyalir memiliki rencana untuk menegakkan Islam. Namun kemudian, beliau dilengserkan. Sekitar tahun 2005 sampai 2006 ada kemenangan Hammas di Palestina, tetapi kemudian diboikot. Tahun 1990 sampai 1991 ada kemenangan Pemilu oleh FIS di Aljazair, namun kemudian dicurigai oleh militer akan menerapkan Islam. Akhirnya, kemenangan tersebut dibatalkan.
Berdasarkan pengalaman empiris tersebut dapat kita ketahui bahwa demokrasi memiliki mekanisme menghancurkan kemenangan kelompok Islam yang ingin menerapkan Islam. Jalan demokrasi juga merupakan jebakan bagi kelompok Islam agar semakin pragmatis dan meninggalkan idealisme untuk merintis kebangkitan umat Islam yang hakiki.
Berdasarkan bukti normatif dan empiris tersebut, jelas demokrasi bukanlah jalan yang tepat untuk meraih kebangkitan umat Islam. Kebangkitan umat Islam hanya mampu diraih melalui jalan syar’i, yaitu menerapkan seluruh aturan Islam tanpa terkecuali dalam bingkai negara yang syar’i, yakni Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. [Halimah Nur Fitriyani; (Mahasiswi Fak. Peternakan UGM)]