Telaah Kitab kali ini membahas pasal 90-92 dari Kitab Muqaddimah ad-Dustûr, tentang tugas dan kewenangan Mahkamah Mahzalim.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga negara yang didirikan untuk melenyapkan setiap bentuk kezaliman negara terhadap warga negara Daulah Khilafah.
Pasal 90
Pasal 90 menjelaskan hak Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim berhak mencopot khalifah, pejabat, maupun pegawai negara yang melakukan tindak kezaliman. Selain karena kezaliman, Mahkamah Mazhalim tidak berhak sama sekali melakukan pemakzulan. Sebab, pemilik asal wewenang mengangkat dan menghentikan pejabat maupun pegawai negara adalah Khalifah. Khalifah berhak mengangkat dan menghentikan pejabat atau pegawai negara, baik karena alasan atau tidak.
Hak Mahkamah Mazhalim menghentikan pejabat atau pegawai negara berasal dari tugas mereka melenyapkan kezaliman. Sebab, Mahkamah Mazhalim adalah wakil Khalifah dalam urusan pengawasan terhadap kezhaliman yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara. Jika seorang pejabat atau pegawai negara tidak melakukan kezaliman, maka tidak ada hak dan alasan bagi Mahkamah Mazhalim untuk menghentikannya. Jika pejabat atau pegawai negara melakukan tindak kezaliman, barulah Mahkamah Mazhalim berhak mencopot mereka, meskipun Khalifah tidak ridha. Dengan demikian hak penghentian pejabat dan pegawai negara yang dimiliki Mahkamah Mazhalim tidak berasal dari kapasitasnya sebagai nâ’ib (wakil) dari Khalifah dalam urusan pengangkatan (taqlîd) dan penghentian (‘azl), tetapi dalam kapasitasnya sebagai wakil khalifah dalam urusan pengawasan dan pelenyapan kezhaliman.
Hak pencopotan Khalifah yang dimiliki Mahkamah Mahzalim juga berasal dari tugasnya melenyapkan kezhaliman. Jika Khalifah berada dalam suatu keadaan yang mewajibkan pemakzulan, namun tidak dimakzulkan, hal seperti ini termasuk kezaliman, dan akan berdampak luas bagi kehidupan kaum Muslim. Mahkamah Mazhalim dalam kondisi seperti ini berhak mencopot jabatan Kekhalifahan, lalu mengangkat khalifah baru berdasarkan bay’at bi ar-ridhâ wa al-ikhtiyâr.
Adapun alasan pencopotan Khalifah adalah: Pertama, jika ia murtad dari Islam, atau bersepakat atas kemurtadan. Kedua, jika ia terkena penyakit gila yang permanen, dan tidak bisa disembuhkan lagi. Ketiga, jika ia ditawan musuh yang sangat kuat yang tidak mungkin lagi dibebaskan dari musuh, dan tidak ada harapan lagi untuk bisa dibebaskan dari tawanan.
Pada tiga kondisi ini, ia telah keluar dari syarat-syarat Khilafah. Dalam tiga kondisi ini secara otomatis ia wajib diganti meskipun penggantiannya tidak ditetapkan. Namun, tetap harus ada penetapan, bahwa Khalifah memang telah berada dalam kondisi-kondisi tersebut. Pihak yang menetapkan Khalifah telah berada dalam kondisi-kondisi tersebut adalah Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim berhak menetapkan, bahwa Khalifah telah keluar dari syarat Khilafah, dan memutuskan untuk mengganti dirinya hingga kaum Muslim berhasil menyerahkan akad Khilafah kepada orang lain.
Adakalanya Khalifah berada dalam kondisi yang tidak sampai mengeluarkan dirinya dari syarat-syarat Khilafah. Namun, ia tetap tidak boleh terus-menerus berada dalam kondisi tersebut. Kondisi ini adalah lima macam: Pertama, terlepasnya sifat keadilan dengan tampaknya kefasikannya. Kedua, berubah menjadi banci atau kebanci-bancian. Ketiga, terkena penyakit gila, namun tidak permanen; kadang-kadang sehat, kadang-kadang gila. Pada kondisi semacam ini kedudukannya tidak boleh digantikan oleh washiy (orang yang diberi wasiat pemerintahan), atau wakil. Sebab, akad Khilafah telah terwujud pada dirinya, dan tidak seorang pun boleh menggantikan kedudukannya. Keempat, tidak mampu menjalankan tugas-tugas Kekhilafahan karena sebab-sebab tertentu; sama saja apakah karena cacat fisik, atau sakit keras yang menghalangi dirinya untuk menjalankan tugas, dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya. Yang terpenting, ia tidak mampu lagi menjalankan tugas pemerintahan. Dalam kondisi semacam ini, jika ia tidak mampu lagi menjalankan tugas yang harus ia pikul ketika ia diangkat menjadi khalifah, maka urusan-urusan agama dan kaum Muslim akan terlantar. Kondisi semacam ini wajib diingkari dan harus dihilangkan. Keadaan ini tidak akan hilang kecuali dengan mencopot dirinya hingga diangkat khalifah yang baru. Pencopotan dirinya dalam kondisi semacam ini adalah wajib. Kelima, berada dalam tekanan yang menjadikan dirinya tidak mampu mengatur kepentingan kaum Muslim dengan pendapatnya sendiri yang sesuai dengan hukum syariat. Jika seseorang berhasil menekannya hingga batas menjadikan dirinya tidak mampu lagi mengatur kepentingan kaum Muslim dengan pemikirannya sendiri sesuai dengan hukum-hukum syariat, maka ia dianggap tidak mampu menjalankan tugas-tugas Kekhilafahan; dan ia wajib diganti.
Pasal 91
Pasal 91 menjelaskan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Mazhalim. Mahkamah Mazhalim berwenang mengawasi setiap bentuk kezhaliman yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai negara di semua instansi pemerintahan. Ia juga berwenang memantau penyimpangan kepala negara terhadap hukum syariah, nash-nash syariah, konsitusi dan undang-undang yang telah dilegalisasi oleh negara. Mahkamah Mazhalim juga berwenang mengontrol kebijakan-kebijakan publik yang berdampak pada kezhaliman, seperti kebijakan penetapan pajak, dan lain sebagainya.
Dalil yang mendasari Pasal 91 adalah hadis yang berbicara tentang penetapan harga dan distribusi air yang tidak adil. Imam Ahmad menuturkan hadis dari Anas bin Malik ra. bahwa ia berkata, “Pada masa Rasulullah saw. harga-harga melambung tinggi. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kalau saja engkau menetapkan harga.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi rezeki, Yang berhak menetapkan harga. Aku benar-benar ingin menghadap Allah ‘Azza wa Jalla tanpa seorang pun menuntutku karena kezaliman yang telah aku lakukan terhadap dirinya, baik dalam hal darah maupun harta.” (HR Ahmad).
Imam Ahmad menuturkan hadis dari ‘Abdullah bin Zubair bahwa Zubair bin ‘Awwam ra berselisih dengan seorang laki-laki Anshar dalam urusan pengairan air ke lahan mereka. Mereka membawa kasusnya ke hadapan Nabi saw. Beliau memutuskan agar air itu dialirkan ke lahan Zubair ra. terlebih dulu, baru ke lahan orang Anshar.
Nabi saw memasukkan kebijakan “penetapan harga” oleh negara, dan distribusi air milik umum yang tidak adil, sebagai tindakan kezaliman. Jika salah satu instansi negara melakukan kezaliman, maka Mahkamah Mazhalim berhak mencopot pejabat yang terkait.
Begitu pula jika pejabat atau pegawai negara menyimpang dari hukum syariah, nash-nash syariah, konstitusi, dan undang-undang negara, maka pelanggaran tersebut tercakup dalam makna yang terkandung dalam hadis tentang larangan penetapan harga (tas’îr). Selain itu al-Quran menetapkan kewajiban menyelesaikan perselisihan dengan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya. Begitu pula saat ada perselisihan antara negara dan rakyat, semua harus dikembalikan pada syariah. Adapun lembaga yang memutuskan perselisihan seperti ini adalah Mahkamah Mazhalim. Sebab, ia merupakan lembaga yang merepresentasikan “supremasi hukum syariah”.
Adapun terkait dengan kebijakan penarikan pajak dan lain-lain, maka dharîbah yang dikenakan secara semena-mena termasuk tindak kezaliman. Sebab, mengambil harta seorang Muslim tanpa hak termasuk tindak kezaliman, sebagaimana hadis yang dituturkan Imam Ahmad dari Anas bin Malik ra., “Aku benar-benar ingin menghadap Allah ‘Azza wa Jalla tanpa seorangpun menuntutku karena kezaliman yang telah aku lakukan terhadap dirinya, baik dalam hal darah maupun harta.” (HR Ahmad). Dalam konteks ini pula, Mahkamah Mahzalim berwenang mencopot penguasa yang membebani rakyat dengan pajak yang mencekik, atau pungutan-pungutan yang tidak sah.
Pasal 92
Dalam Pasal 92 dijelaskan tentang hak warga negara Khilafah, baik Muslim maupun kafir, untuk menunjuk wakil yang menangani sebuah sengketa, atau untuk mempertahankan hak-haknya dengan imbalan (kompensasi). Ini bisa dimengerti karena Khilafah adalah negara yang menjadikan syariah Islam semata, sebagai satu-satunya aturan untuk mengatur urusan rakyat. Setiap warga negara wajib sadar dan patuh terhadap hukum syariah. Begitu pula dalam hal menyelesaikan perselisihan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat; semuanya diselesaikan dengan hukum Islam.
Meskipun setiap warga Negara dituntut untuk memahami hukum dan terikat dengannya, di dalam sistem Khilafah, seseorang boleh menyewa pengacara untuk menangani persengketaan, atau untuk mempertahankan hak-haknya di hadapan majelis peradilan. Dalilnya adalah kebolehan wakalah (perwakilan). Seorang Muslim boleh mewakilkan urusan-urusannya kepada orang lain dengan upah yang disepakati. Di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, dituturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menunjuk Abu Rafi‘ sebagai wakil beliau saw. untuk menerima nikahnya Maimunah ra.
Kebolehan mewakilkan urusan sengketa kepada orang lain ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat. Dituturkan bahwa ‘Ali ra. mewakilkan urusan sengketanya kepada ‘Uqail di hadapan Abu Bakar ra. ‘Uqail ra. berkata, “Apa yang diputuskan untuk dia, juga untukku. Apa yang diputuskan atas dia, juga atas aku.”
Demikianlah hak dan wewenang Mahkamah Mazhalim dalam sistem Khilafah Islamiyah. Pengaturan hak dan kewenangan tiap lembaga negara dengan jelas dan spesifik akan menghindarkan terjadinya konflik dan ketidakefektifan.
Sebagaimana lembaga-lembaga negara lain, Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga negara yang berfungsi untuk menciptakan keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat. Lebih dari itu, lembaga ini menduduki posisi penting dalam mengawal pejabat dan pegawai negara agar selalu berjalan di atas konstitusi dan tidak berlaku zalim kepada rakyat.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Gus Syams]