إِنَّ اللَّهَ يُعَذِّبُ الَّذِينَ يُعَذِّبُوْنَ فِي الدُّنْيَا
Sesungguhnya Allah menyiksa orang-orang yang menyiksa manusia di dunia (HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Urwah bin Zubair menuturkan bahwa Hisyam bin Hakim bin Hizam al-Asadi di Syam pernah melewati orang-orang yang sedang dijemur di terik matahari dan di kepalanya disiramkan minyak. Hisyam berkata, “Apa ini?” Dikatakan, “Mereka disiksa terkait kharaj”.
Hisyam berkata, “Adapun aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: … (matan hadis).”
Hadis ini menyatakan keharaman menyiksa orang. Hadis ini menggunakan redaksi umum, namun keharaman ta’dzîb (penyiksaan) atau menyakiti orang itu tidak berlaku umum. Hadis ini dikhususkan oleh banyak nash tentang sanksi atau hukuman baik dalam bentuk hudûd, jinâyât atau qishâsh maupun ta’zîr. Begitu pula nash-nash tentang ta‘dîb dan pengobatan, dsb.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyebutkan bahwa ini dibawa pada ta’dzîb (penyiksaan) tanpa dibenarkan (bighayri haqq[in]). Jadi tidak masuk di dalamnya ta’dzîb yang dibenarkan seperti qishâsh, hudûd, ta’zîr dan semacamnya.
Ta’dzîb (penyiksaan) artinya mana’ahu (menghalanginya) wa fathamahu ‘an al-amri (memisahkannya dari satu perkara). Ibnu Faris berkata: asal al-‘adzâb adalah adh-dharbu (pukulan), kemudian digunakan pada semua kekejaman (menyakiti). Dikatakan: ‘adzdzaba ta’dzîb[an] dan al-‘adzâb adalah isim dengan makna an-nikâl (hukuman) dan al-‘uqûbah (hukuman/sanksi). Dengan demikian ta’dzîb (penyiksaan) adalah melakukan sesuatu yang menyakiti korban; bisa berupa pukulan, pelukaan, dipanaskan di terik matahari atau bara api, dicubit; ditempatkan di suhu sangat dingin, disekap, dipenjara, dan sebagainya.
Berdasarkan hadis di atas, hukum asalnya ta’dzîb (penyiksaan/menyakiti) adalah dilarang. Dikecualikan dari larangan itu ta’dzîb (penyiksaan/menyakiti) yang dibenarkan oleh syariah sesuai nash-nash yang ada.
Dari hadis di atas dan nash-nash yang ada, ta’dzîb terhadap manusia bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis: ta’dzîb yang masyrû’ (disyariatkan/legal) dan ta’dzîb yang dilarang.
Di antara ta’dzib atas manusia yang masyrû’ itu di antaranya ada yang hukumnya wajib, sunnah maupun mubah. Yang wajib adalah kewajiban pelaksanaan sanksi hukum baik hudûd, jinâyât/qishâsh maupun ta’zîr dengan berbagai jenis dan bentuknya. Yang sunnah seperti dalam bentuk ta’dîb (pukulan mendidik) terhadap anak-anak oleh orangtua.
Pukulan ta’dîb (mendidik/mendisiplinkan) yang dibenarkan itu, misalnya pukulan ta’dîb oleh orangtua terhadap anaknya yang sudah berusia 10 tahun karena tidak shalat. Demikian pula pukulan ta’dîb oleh guru terhadap seorang anak atas izin bapak anak itu. Begitu juga pukulan suami terhadap istri yang nusyûz. Namun, pukulan ta’dîb ini dibatasi dengan deskripsi syariah baik dari sisi tempat yang dipukul, bagaimana dan potret pukulannya; yang intinya tidak boleh mencederai (ghayru mubarrih[in]). Di antaranya tidak boleh memukul wajah, kepala, alat kelamin atau organ-organ vital. Pukulan ta’dîb itu maksudnya adalah untuk mendidik dan mendisiplinkan, bukan untuk menyiksa atau menyakiti. Di antara ta’dîb itu adalah menjewer telinga anak, sebab para sahabat melakukan itu pada masa Rasul saw. dan tidak diingkari oleh beliau. Tentu pukulan itu dijadikan pilihan terakhir jika cara-cara pendidikan lainnya tidak mempan.
Adapun ta’dzîb yang mubah adalah seperti pengobatan dengan kay (dipanaskan). Namun, jika tidak ada keperluan dalam rangka pengobatan maka haram, sebab itu bisa dimasukkan sebagai penyiksaan menggunakan api, sementara dalam hadis sahih dinyatakan bahwa tidak ada yang menyiksa menggunakan api kecuali Sang Pencipta api. Jadi ta’dzîb menggunakan api adalah dilarang.
Adapun ta’dzîb yang dilarang adalah semua bentuk ta’dzîb yang tidak dibenarkan oleh syariah. Di antaranya adalah ta’dzîb terhadap orang yang tidak melakukan kejahatan atau kemaksiatan apapun.
Yang juga dilarang adalah ta’dzîb terhadap tawanan perang. Allah SWT malah memerintahkan berlaku baik dan memberi makan tawanan. Jika dikhawatirkan mereka lari, mereka ditahan tanpa disiksa. Ta’dzîb terhadap tawanan perang boleh dilakukan sebagai balasan setimpal jika mereka menyiksa Muslim yang mereka tawan.
Adapun ta’dzib tersangka untuk mendapatkan pengakuannya maka, menurut para ulama, perlu dirinci. Seperti dinyatakan di dalam Raddu al-Mukhtâr, dirinci menjadi tiga klasifikasi. Pertama, jika tersangkanya termasuk orang yang dikenal baik maka tidak ditahan ataupun disiksa, hal itu sesuai hadis di atas. Kedua, untuk keperluan proses hukum menegaskan dakwaan atau kejahatan yang terjadi, atau supaya tidak menghilangkan atau memodifikasi/memanipulasi barang bukti, tersangka boleh ditahan sampai batas waktu tertentu, tanpa disiksa, lalu dilepaskan. Hal itu berdasarkan riwayat Bahzu bin Hakim dari bapaknya:
أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ رَجُلاً فِى تُهْمَةٍ ثُمَّ خَلَّى عَنْهُ
Nabi saw. pernah menahan seorang laki-laki dalam satu tuduhan kemudian beliau melepaskan dia (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi, al-Baihaqi).
Abu Hurairah ra. menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَبَسَ رَجُلاً فِيْ تُهْمَةٍ يَوْمًا وَلَيْلَةً اِسْتِظْهَارًا وَاِحْتِيَاطًا
Nabi saw. pernah menahan seorang laki-laki dalam satu tuduhan sehari semalam untuk mencari kejelasan (investigasi) dan kehati-hatian (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Jika tersangka dikenal fâjir atau ghalabatu zhan tersangka itu benar melakukannya, maka berdasarkan keputusan waliyul amri atau qâdhi, tersangka itu boleh dipukul atau di-ta’dzîb tanpa mencederai agar dia mengakui atau mengembalikan harta yang dia ambil. Hal itu berdasarkan riwayat bahwa pada saat Fathu Khaybar Nabi. saw menyerahkan Sa’yah (dalam riwayat lain Kinanah), pamannya Huyay bin Akhthab, kepada az-Zubair, lalu az-Zubair menimpakan suatu siksaan pada dirinya sehingga dia mengakui dan menunjukkan di mana harta Huyay ditimbun. Akhinya, harta itu diambil oleh Rasul (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan Ibnu Katsir).
Begitu juga Ali bi Abi Thalib. Ia di hadapan Rasul pernah memukul Barirah dalam kasus hadits al-ifki agar Barirah memberi kesaksian yang benar (lihat: Ibnu Abidin, Raddu al-Mukhtâr; Ibnu Muflih al-Hanbali, Al-Furû’; Ibnu Farhun, Tabshirah al-Hukkâm; At-Tarablusi, Mu’în al-Hukkâm; Ibnu al-Qayim, Zâdu al-Ma’âd).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]