(Tafsir QS ‘an-Naba’ [72]: 1-5)
عَمَّ يَتَسَآءَلُونَ ١ عَنِ ٱلنَّبَإِ ٱلۡعَظِيمِ ٢ ٱلَّذِي هُمۡ فِيهِ مُخۡتَلِفُونَ ٣ كَلَّا سَيَعۡلَمُونَ ٤ ثُمَّ كَلَّا سَيَعۡلَمُونَ ٥
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya? Tentang berita yang besar, yang mereka perselisihkan. Sekali-kali tidak! Kelak mereka akan tahu. Kemudian sekali-kali tidak! Kelak mereka mengetahui (QS an-Naba’ [80]: 1-5).
Surat ini dinamakan an-Naba‘.1 Nama tersebut diambil dari salah satu kata yang terdapat pada ayat kedua. Nama lainnya adalah surat ‘Amma, ‘Amma yatasâalûn, at-Tasâ’ul dan al-Mu’shirât.2 Jumlah ayat pada surat ini ada empat puluh ayat. Surat ini termasuk Makkiyyah. Ini merupakan pendapat seluruh ulama.3
Adapun munâsabah (persesuaian) dengan surat sebelumnya, yakni surat al-Mursalat, keduanya sama-sama membahas Hari Kebangkitan dan menetapkan dalil kejadiannya, menjelaskan kekuasaan Allah SWT, dan celaan terhadap orang-orang kafir yang mendustakannya. Keduanya juga menceritakan surga dan neraka, kenikmatan orang-orang bertakwa, siksa atas orang-orang kafir serta Hari Kiamat dan kedahsyatannya. Surat an-Naba‘ juga merinci hal-hal global yang disebutkan dalam surat sebelumnya.4
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: ‘Amma yatasâ`alûn (Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?). Menurut al-Zaila’i, kata berasal dari dua kata: dan . Kemudian huruf an-nûn di-ghunnah-kan atau dimasukkan ke dalam huruf sesudahnya karena keduanya sama-sama bunyi ghunnah (dengung).5
Kata ‘amma dalam ayat ini merupakan lafal istifhâm (kata tanya). Oleh karena itu, huruf alif pada kata mâ digugurkan untuk membedakannya dengan mâ yang bermakna khabar atau kalimat berita. Ini seperti kata fîma dan mimma apabila berupa kalimat tanya. Artinya, ‘an ayyi syay` (tentang apakah) sebagian mereka bertanya kepada sebagian lainnya.6
Menurut al-Zajjaj, lafal tersebut merupakan istifhâm (kalinat tanya), maknanya tafkhîm al-qishshah (mengagungkan kisah ini), sebagaimana Anda berkata, “Ayy syay`” (apa itu) apabila perkara yang mau disebutkan itu diagungkan.7
At-Tasâul (saling bertanya) bermakna, sebagian orang bertanya kepada sebagian lainnya, seperti halnya kata at-taqâbul (saling bertemu). Kadang-kadang juga digunakan untuk menyebut orang yang saling berbicara sekalipun tidak ada pertanyaan di antara mereka (Lihat, misalnya: QS ash-Shaffat [37]: 50-51).
Kata mâ diletakkan untuk mencari hakikat sesuatu. Hal itu mengharuskan perkara yang dicari merupakan sesuatu yang tidak diketahui. Karena itu sesuatu menjadikan sesuatu yang agung, yang tidak mampu dijangkau oleh akal, hakikatnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak diketahui. Oleh karena itu Allah SWT menyatakannya dengan lafal mâ.8
Adh-Dhamîr (kata ganti) pada kata yatasâ’alûn kembali pada kaum Quraisy atau penduduk Makkah. Menurut al-Alusi, tidak disebutkan sebelumnya karena tidak perlu lantaran kehadiran mereka secara fisik.9 Ibnu Abbas berkata, “Orang-orang Quraisy sedang duduk-duduk ketika al-Quran turun. Mereka berbincang di antara mereka. Sebagian membenarkannya, sebagian mendustakannya. Lalu turunlah firman Allah SWT: ‘Amma yatasâ’alûn.”10
Kemudian disebutkan tentang perkara yang menjadi bahan perbincangan dan pertanyaan di antara mereka dengan firman-Nya: ‘An an-naba` al-‘azhîm (tentang berita yang besar). Menurut Raghib al-Asfahani, an-naba adalah berita yang mengandung manfaat amat besar, baik yang dihasilkan oleh keyakinan maupun ghalabat azh-zhann (dugaan kuat). Menurut ar-Raghib, sebuah berita tidak disebut sebagai naba` hingga mengandung tiga faktor tersebut.11
Jika kata an-naba‘ sudah menunjukkan berita besar, maka ketika ditambahkan kata al-‘azhîm sebagai sifatnya, kian menunjukkan betapa besar dan penting berita yang ditanyakan dan dijadikan sebagai bahan perbincangan. Imam al-Qurthubi memaknai an-naba‘ al-‘azhîm sebagai al-khabar al-‘azhîm (berita besar).12 Penjelasan yang sama juga dikemuakan oleh al-Hasan.13
Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: al-ladzîhum fîhi mukhtalifûn (yang mereka perselisihkan). Maknanya, sebagian berselisih dengan sebagian lainnya tentang hal itu. Ada yang membenarkan, ada pula yang mendustakan.14 Qatadah berkata, “Membenarkan dan mendustakan.”15
Tentang berita apa yang dimaksudkan oleh ayat ini, setidaknya ada dua penafsiran. Pertama: Al-Quran. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan Abu Shalih, Mujahid, dan Qatadah.16
Di antara alasan penafsiran ini, al-Quran adalah berita besar karena memberitakan tentang tauhid, membenarkan, dan kejadian Hari Kebangkitan.17 Al-Quran juga merupakan naba‘ (berita besar), kabar dan kisah-kisah. Al-Quran adalah berita yang sangat besar.18
Alasan lainnya, didasarkan pada ayat selanjutnya: al-ladzî hum fîhi mukhtalifûn (yang mereka perselisihkan), yakni mereka berselisih tentang al-Quran. Ada yang menyebut al-Quran sebagai sihir. Sebagian lainnya mengatakan syair. Sebagian lain mengatakan perdukunan. Ada pula yang menganggap al-Quran sebagai dongengan orang-orang dulu.19
Kedua: Hari Kiamat. Di antara yang berpendapat demikian adalah adh-Dhahhak, Qatadah dan Ibnu Zaid.20 Penafsiran ini juga dipilih oleh Fakhruddin ar-Razi dan Ibnu Katsir.21
Di antara alasannya adalah karena Hari Kiamat merupakan yawm ‘azhîm (hari yang besar) sebagaimana disebutkan dalam QS al-Muthaffifin [83]: 5).22
Hari Kebangkitan juga merupakan sesuatu yang paling banyak diingkari oleh orang-orang musyrik dan tak dapat dijangkau oleh akal mereka yang dangkal.23 Perselisihan di antara kelompok-kelompok kafir juga benar-benar terjadi. Kaum Nasrani menetapkan Hari Kebangkitan itu hanya untuk ruh. Kaum Yahudi menetapkan Hari Kebangkitan untuk badan. Ada pun di kalangan orang-orang musyrik Arab ada yang mengingkari Hari Kebangkitan (Lihat, misalnya: QS al-Jatsiyah [44]: 24). Sebagian lainnya tidak memastikan, namun ragu-ragu (Lihat, misalnya: QS al-Jatsiyah [44]: 32).24
Tampaknya, penafsiran kedua lebih tepat. Selain karena alasan-alasan di atas, munâsabah atau relevansi ayat ini dengan ayat-ayat selanjutnya menunjukkan kesimpulan tersebut. Setelah ayat ini, kemudian disebutkan beberapa fakta kebesaran, keagungan dan kekuasaan Allah SWT di alam semesta, yang juga menjadi bukti bahwa kejadian Hari Kiamat bagi Allah SWT adalah mudah. Setelah itu ditegaskan kepastian kedatangan Kiamat dengan firman-Nya:
إِنَّ يَوۡمَ ٱلۡفَصۡلِ كَانَ مِيقَٰتٗا ١٧
Sungguh Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan (QS an-Naba‘ [78]: 17).
Ayat-ayat sesudahnya pun lantas membicarakan berbagai kejadian pada Hari Kiamat hingga akhir surat ini.
Kemudian Allah SWT berfirman: Kallâ saya’lamûn (Sekali-kali tidak; kelak mereka akan tahu). Menurut al-Qaffal, kallâ merupakan kata yang dibuat untuk membantah pernyataan sebelumnya. Ini pula makna yang tampak pada ayat ini. Artinya, perkaranya tidak seperti yang mereka katakan mengenai berita besar bahwa itu sesuatu yang batil atau tidak akan terjadi.25
Kata kallâ berarti perkaranya tidak seperti disangka orang-orang musyrik yang mengingkari bahwa Allah SWT akan menghidupkan mereka kembali setelah kematian mereka dan Allah SWT mengancam mereka atas perkataan tersebut.26
Menurut Imam al-Qurthubi, kallâ merupakan bantahan atas pengingkaran mereka terhadap Hari Kiamat atau pendustaan mereka terhadap al-Quran.27
Asy-Syaukani dan al-Khazin juga menyebut itu sebagai sebuah celaan. Menurut mereka, ini merupakan teguran dan kecaman terhadap mereka selain menunjukkan bahwa yang berselisih tentangnya adalah orang-orang kafir.28
Al-Baidhawi berkata, “Teguran dan ancaman terhadap pertanyaan.”29
Oleh karena itu, semestinya mereka tidak berselisih tentang Hari Kebangkitan. Hari Kebangkitan benar-benar ada dan tidak perlu diragukan lagi. Orang-orang yang mengingkari Hari Kebangkitan kelak akan tahu akibat dari pendustaan mereka terhadap hari tersebut.30
Kemudian ditegaskan lagi: Tsumma kallâ saya’lamûn (Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka tahu). Menurut asy-Syaukani, ini untuk memperkuat penekanan dan penegasan dalam ancaman.31 Ibnu Athiyyah berkata, “Pengulangan celaan sebagai ta`kîd (penekanan).”32 al-Baidhawi juga berkata, “Pengulangan li al-mubâlaghah (melebihkan).33 Al-Hasan berkata, “Ini adalah ancaman setelah ancaman.”34 Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa ini merupakan ancaman keras dan yang ditegaskan.35
Menurut az-Zuhaili, dengan pengulangan penolakan dan teguran tersebut hendaknya mereka berpaling dari kekufuran dan pendustaan mereka. Sebab, dalam waktu dekat mereka akan mengetahui perkara sesungguhnya ketika mereka ditimpa azab. Ini adalah ancaman keras dan menakutkan. Ahli balaghah berkata, “Pengulangan penolakan yang disertai dengan ancaman merupakan dalil ancaman paling keras.”36
Hari Kiamat: Kejadian Besar
Banyak pelajaran penting yang dapat diambil dari ayat-ayat ini. Di antaranya adalah: Pertama, Hari Kiamat adalah peristiwa yang amat besar. Oleh karena itu, berita tentang Hari Kiamat juga merupakan berita besar. Dalam ayat ini disebut sebagai naba‘ ‘azhîm (berita besar). Menurut para mufassir, kata tersebut menunjuk pada Hari Kiamat.
Demikian penting dan besarnya berita itu bagi manusia hingga disebutkan berulang-ulang dan tersebar dalam berbagai surat dalam al-Quran. Bahkan banyak nama surat di dalam al-Quran yang juga menunjuk pada hari tersebut. Di antaranya adalah al-Qiyamah, al-Waqiah, al-Haqqah, al-Qari’ah, al-Ghasyiyah, al-Taghabun dan al-Zalzalah.
Al-Quran juga memberikan banyak nama dan sebutan yang menunjuk pada Hari Kiamat sekaligus menggambarkan sebagian kejadiannya seperti al-yawm al-âkhir, al-âkhirah, ad-dâr al-âkhirah, as-sâ’ah, yawm al-ba’ts, yawm al-khurûj, yawm al-fashl, yasm al-fashl, yawm al-hisâb, yawm al-khulûd, yawm al-wa’îd, al-yawm al-‘azhîm, al-yawm al-masyhûd, yawm al-jam’, ash-shâkhkhah, asth-thâmah al-kubrâ, dan lain-lain.
Berbagai kejadian besar dan dahsyat juga terjadi pada hari itu. Bumi diguncangkan dengan guncangan amat dahsyat sekaligus mengeluarkan semua beban beratnya. Lautan meluap. Gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Ketika itu pula, langit terbelah, matahari digulung dan bintang-bintang jatuh berserakan. Manusia seperti anai-anai yang bertebaran. Mereka dalam ketakutan yang luar biasa hingga lari meninggalkan saudara, bapak dan ibunya, istri dan anak-anaknya. Orang yang sudah mati dibangkitkan kembali, digiring ke Padang Mashyar, diberi buku catatan amal mereka, dilakukan penimbangan atas amal mereka, melewati shirat di atas Neraka Jahanam, digiring ke neraka atau surga. Masih banyak kejadian lainnya yang amat dahsyat. Itu semua menunjukkan kepada kita betapa besarnya Hari Kiamat tersebut.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya manusia menyiapkan segala bekal untuk menyongsong kedatangan peristiwa besar. Bekal terbaik adalah ketakwaan kepadan Allah SWT, yakni taat pada semua syariah-Nya yang didasarkan atas keimanan dan dorongan untuk mendapatkan ridha dan surga-Nya.
Kedua, kepastian kejadian Hari Kiamat. Sebagaimana telah dipaparkan, orang-orang kafir meragukan dan mengingkari kedatangan Hari Kiamat. Mereka saling bertanya tentang Hari Kiamat. Itu mereka lakukan bukan karena keingintahuan dan agar mendapatkan informasi yang benar tentang Hari Kiamat. Akan tetapi, itu mereka lakukan mengokohkan pengingkaran mereka; sekaligus juga meremehkannya, seolah itu hanya berita tentang Hari Kiamat hanya berita dusta dan mengada-ada; setidaknya berita yang layak mereka ragukan.
Ayat ini pun membantah tegas pengingkaran dan keraguan mereka. Jika sekarang mereka ragu dan ingkar, niscaya mereka akan mengetahuinya. Dalam ayat ini ditegaskan: Kallâ saya’lamûn (Sekali-kali tidak; kelak mereka tahu). Lalu ditegaskan lagi dalam ayat sesudahnya: Tsumma kallâ saya’lamûn (Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka tahu). Ayat ini memastikan kejadian Hari Kiamat, sekaligus ancaman terhadap mereka.
Selain melihat dengan kasat mata Hari Kiamat, mereka juga akan dimasukkan ke dalam neraka yang mereka ingkari (Lihat, misalnya: QS al-Sajdah [32]: 20).
Jelaslah bahwa hari Kiamat pasti datang. Siapa pun yang meragukan dan mengingkari Hari Kiamat akan mendapat azab yang pedih di neraka.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 169; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 19914), 437; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 683
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 201
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 437; al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 15, 201; Ibnu Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 423
4 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1998), 5
5 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 386
6 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 169. Lihat juga al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 15, 201
7 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 437
8 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 438
9 Al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 15, 202; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170
10 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170
11 Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), 789
12 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 386
13 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24 (tt: al-Risalah, 2000), 149
14 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170; lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 150; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 500
15 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 150
16 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 149; Ibnu Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 423
17 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 438
18 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 438
20 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 150; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 438
21 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 6; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 302
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 6
23 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 438
24 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 438
25 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 6
26 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qurân, vol. 24, 151
27 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170
28 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 4, 386
29 Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-A’arbi, 1998), 278
30 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 10
31 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439. Ini juga dikatakan oleh al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 7-8
32 Ibnu Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5, 424
33 Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, vol. 5, 278
34 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 170
35 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 302
36 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30,10