Kita sudah paham, bahwa sejarah akan sangat bergantung pada rezim yang berkuasa. Rezim akan mengotak-atik sejarah yang ada, bahkan membelokkan kebenaran sejarah yang ada, demi kepentingan politis rezim. Kebenaran sejarah ditutupi bahkan dihilangkan.
Contoh kasus yang ada adalah sejarah hubungan Nusantara dengan Islam, khususnya hubungan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara dengan Khilafahan Islam. Rezim Belanda hingga saat ini, akan berusaha menutupi dan menghilangkan hubungan erat tersebut, minimal dibaca dengan perpektif lain sehingga pengaruh khilafah tidak muncul atau bahkan ahistoris. Akibatnya, akan didapati “sejarah yang terputus”.
Semua kerajaan-kerajaan besar di Nusantara yang ada tertulis dan terdeskripsi dengan lengkap dan jelas. Namun, penulisan sejarah tiba-tiba langsung meloncat ke jaman penjajahan dan kemerdekaan.
Salah satu upaya pembelokan fakta sejarah adalah munculnya diskursus penting dalam Sejarah Indonesia berkaitan dengan konstruk “Nusantara Megah”. Demi kepentingan ini sarjana-sarjana Belanda dan sejumlah kalangan sejarawan sekuler telah menghadirkan konsep indianisasi sebagai proses yang berhasil membudayakan Nusantara. Citra india inilah yang dianggap telah membawa Nusantara pada masa lalu mengalami kejayaan. Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah persatuan nusantara di era kuno dikatakan telah berlangsung di bawah panji Sriwijaya dan Majapahit, dua kerajaan yang diakui terpengaruh oleh proses Indianisasi tersebut. Citra India yang merasuk secara sadar atau tidak sadar dalam alam pikiran bangsa Indonesia ini oleh DR. Andrik Purwasito disebut sebagai “imajeri India”.1
Ternyata konsepsi ini bertentangan dengan fakta sejarah yang ditulis oleh sejumlah pujangga pada era pasca dinasti Mataram. Para pujangga yang menghasilkan karya-karya sastra mewakili pandangan Keraton Jawa ini telah membangun persepsi bahwa “Nusantara Megah” telah terbentuk dari jalinan mesra antara Turki Utsmani dan Jawa. Sayang, fakta sejarah dan kebudayaan semacam ini jarang terangkat akibat dunia akademis, terutama sejarah Indonesia, sejak awal telah dikangkangi pemikiran para sejarahwan sekular tersebut, atau memang sengaja ditutup-tutupi.
Kebudayaan India memang memiliki pengaruh di wilayah Nusantara sebelumnya. Namun, para pujangga Kerajaan Jawa sebagai pelanjut dinasti Mataram, di antaranya adalah Kasunanan Surakarta, tampaknya memiliki kebijakan untuk menghapus “kebesaran” India dari alam berpikir Jawa. Menurut para pujangga ini masa Hindu telah berakhir dan digantikan oleh Islam yang membawa peradaban lebih baik. Arab dan Turki dipersepsikan dalam karya sastra sebagai pihak-pihak yang telah memberikan sumbangan bagi “Nusantara Megah”.
Sebut saja, misalnya, Serat Paramayoga karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, pujangga yang paling otoritatif dari Keraton Surakarta. Dalam karyanya tersebut diceritakan bahwa tokoh Ajisaka, seorang dari India yang berumur panjang dan pernah menjadi murid Nabi Muhammad, diperintahkan oleh Sultan Algabah dari Ngerum, sebutan untuk Turki Utsmani pada masa itu, untuk membina Pulau Jawa. Konon, Pulau Jawa pada masa itu masih kosong dan belum dihuni manusia. Ajisaka berangkat ke Jawa dengan diiringi 200 orang. Namun, rombongan tersebut kemudian banyak yang mati akibat wabah penyakit dan hanya tersisa beberapa puluh orang saja yang kemudian kembali ke negara asalnya. Pada waktu yang lain, Ajisaka kembali memimpin ekspedisi kedua yang didampingi oleh Patih Amiru Syamsu. Misi kedua ini menampakkan keberhasilan. Selanjutnya, Sultan Algabah melanjutkan dengan ekspedisi ketiga untuk membudayakan Jawa di bawah pimpinan Said Jamhur Muharram yang langsung menuju ke Kediri, Jawa Timur.2
Kisah yang termuat dalam Serat Paramayoga ini jelas sekadar sebuah versi pseudo-historis, artinya bukan benar-benar sejarah. Keberadaan Sultan Algabah dan bahkan sosok Ajisaka sendiri serta kisah-kisah yang melingkupinya boleh diperdebatkan. Meski demikian, wacana imajiner yang terbangun dalam karya sastra ini secara gamblang telah mengangkat Turki Utsmani sebagai ikon utama yang berjasa bagi pembangunan awal peradaban Jawa, bukan Hindu atau Budha.
Kitab Serat Jangka Jayabaya “Musarar” juga mempersepsi secara positif citra Turki sebagai bangsa yang memberadabkan Jawa. Dalam naskah yang tidak diketahui pengarangnya ini diceritakan bahwa Prabu Jayabaya, seorang raja Hindu titisan Dewa Wisnu di Kediri, memiliki seorang guru yang berasal dari Rum (Turki Utsmani) bernama Sultan Maulana Ngali Samsujen. Raja pendeta dari Turki ini mengingatkan bahwa Dewa Wisnu yang ada dalam diri Prabu Jayabaya hanya tinggal tiga kali menitis di Tanah Jawa. Setelah itu zaman akan berganti, Pulau Jawa akan dikelola oleh umat Islam.3
Dalam karya sastra ini digambarkan bahwa Prabu Jayabaya yang merupakan raja Hindu dan bahkan titisan Dewa, ternyata adalah pengikut Nabi Muhammad. Hal ini diungkapkan dalam kalimat pada pupuh I tembang Dhandhanggula bait 15 sebagai berikut: “Yen Islama kadi Nabi ri Sang Aji Jayabaya …” (Jika Islamnya seperti Nabi beliau Sang Raja Jayabaya).4
Dari naskah karya sastra pseudo-historis Serat Jangka Jayabaya “Musarar” tersebut setidaknya dapat ditangkap bahwa Hinduisme tidak berkutik di hadapan Islam. Jaman baru telah datang dengan kehadiran Islam. Alam dewa yang telah lama dianut oleh masyarakat Jawa sekalipun telah ditundukkan dengan kehadiran ulama Muslim dari Rum. Di sini, lagi-lagi citra Turki Utsmanilah yang dimunculkan kembali sebagai penanggung jawab dari upaya memberadabkan Tanah Jawa, pasca era Hindu.
Kisah tentang Sultan Maulana Syamsujen dari Rum (Turki Utsmani) dan Jayabaya ini juga direproduksi dalam karya-karya sastra serupa antara lain Serat Pranitiwakya5 yang tidak diketahui pengarangnya dan Serat Wedda-Musyawarat6 karya Ki Ageng Ngeksintoro alias R.M.P.H. Djajengkusumo, seorang pangeran dari Kraton Kasunanan Surakarta.
Karya sastra lainnya, Serat Jangka Jayabaya Syekh Subakir, memiliki ide cerita yang hampir sama. Naskah yang juga tidak diketahui pengarangnya ini menceritakan bahwa seorang Sultan Ngerum (Turki) memiliki gagasan untuk mengisi Pulau Jawa yang masih kosong dengan manusia. Misi pengiriman manusia pertama kali gagal sebab orang-orang yang dikirim itu terbunuh oleh keganasan bangsa setan yang menghuni Pulau Jawa. Lalu Sultan dari Turki mengutus seorang ulama bernama Syaikh Subakir untuk mengisi Pulau Jawa dan mengatasi gangguan yang berasal dari alam gaib tersebut. Syaikh Subakir berhasil dan Pulau Jawa mulai bisa dikelola oleh bangsa manusia. Pada bagian akhir cerita ia berpesan kepada masyarakat Jawa ini agar berhati-hati sebab suatu ketika mereka akan didatangi oleh orang-orang Prenggi yang dimotivasi keinginan untuk menjajah. Mereka akan berkuasa untuk sementara, namun dengan bantuan Sultan Turki mereka akan terusir dari Nusantara.7 Raden Kusumatanaya, seorang bangsawan dan budayawan Surakarta, menafsirkan bahwa istilah Prenggi itu maksudnya adalah bangsa Portugis dan Spanyol yang beragama Kristen.
Naskah Serat Jangka Jayabaya Syekh Subakir sekali lagi mengingatkan keberadaan Turki Utsmani yang dipersepsikan sebagai pihak yang telah memberadabkan dan menyelamatkan Jawa. Bahkan pada bagian akhir naskah, sang pengarang memberi peringatan akan kehadiran bangsa Kristen Barat yang bertujuan menjajah dunia Timur. Ungkapan ini tampaknya berupaya menekankan tentang penjelajahan dan penjajahan Kristen pasca Perang Salib. Pada bagian ini pun dipersepsikan bahwa Turki akan memberikan bantuan untuk mengusir kaum penjajah tersebut. Di sini tampak bahwa citra dan harapan terhadap Turki yang terbentuk dalam alam pikiran pengarang karya sastra cukup besar.
Naskah Babad Diponegoro yang ditulis sendiri oleh Pangeran Diponegoro, seorang pangeran dari Kasultanan Yogyakarta yang menjadi pahlawan besar di Indonesia dalam perang melawan Belanda dalam pertempuran yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa (1825-1830), mempersepsikan Turki Utsmani sebagai sebuah wilayah yang kental dengan tradisi keilmuan.
Dalam karyanya yang ditulis pada masa pengasingan di Manado pasca berakhirnya peperangan, Pangeran Diponegoro menceritakan perjalanan mencari ilmu agama yang dilakukan oleh Sultan Agung, raja Mataram yang juga merupakan nenek moyangnya. Konon, sebelum menjadi seorang raja, Sultan Agung adalah seorang yang sangat gigih mencari ilmu ke berbagai penjuru negeri Islam antara lain Makkah, Mesir, Syam, Turki, dan lain sebagainya. Setiap mendengar ada kabar tentang keberadaan guru empat mazhab yang memiliki keilmuan tinggi, ia akan berupaya untuk mendatanginya. Kisah ini diceritakan oleh Pangeran Diponegoro dalam Babad Diponegoro pupuh 11 tembang Pocung bait 13 hingga 16.
Pangeran Diponegoro sendiri dalam perjuangannya selama Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajah Belanda banyak mengadopsi sistem organisasi kemiliteran modern Turki Utsmani. Ia mengadopsi nama-nama kesatuan Militer dari Sultan-sultan Turki Utsmani. Terdapat 14 kesatuan dalam Laskar Diponegoro yang sebagian mengadopsi dari Turki antara lain: Bulkiya, Burjumuah, Turkiya, Harkiya, Larban, Nasseran, Pinilih, Surapadah, Sipuding, Jagir, Suratandang, Jayengan, Suryagama, dan Wanangprang. Hierarki kepangkatannya pun sebagian menggunakan aksen Turki antara lain alibasah (ali pasya), yaitu suatu jabatan setara komandan divisi, basah yang setara dengan komandan brigade, dulah setara komandan batalion, dan seh setara komandan kompi.8
Mengingat relasi masa lalu yang demikian harmonis antara Indonesia dan Turki, tidak ada salahnya persahabatan masa lalu ini dilanggengkan. Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa Islam dengan konsep ukhuwah-nya telah mengeratkan dua bangsa yang terpisahkan oleh jarak yang tidak dekat. Inilah kekuatan iman yang mampu melintasi daratan dan lautan. [Gus Uwik, dari berbagai macam sumber khususnya tulisan Susiyanto, M.Ag.–Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun (UIKA)]
Catatan kaki:
1 Andrik Purwasito, Imajeri India: Studi Tanda dalam Wacana, Surakarta: Pustaka Cakra, 2002, hlm. 91.
2 Andrik Purwasito, DEA. Imajeri India …. Hlm. 51-52.
3 Djangka Djajabaja “Musarar”, Cetakan III, Yogyakarta: Ejang Brata, tth, hlm. 3-4.
4 Djangka Djajabaja “Musarar”, …, hlm. 5.
5 Lihat misalnya salah satu terbitan: Serat Pranitiwakja: Djangka Djojobojo, Surakarta: Keluarga Soebarno, tth.
6 Ki Ageng Ngeksintoro, Serat Wedda-Musjowarat, Surakarta: Ngeksintoro, tth.
7 R. Tanojo (ed.), Djangka Djajabaja Sjech Bakir, Surakarta: Sadoe-Boedi, tth.
8 Mahandis Y. Thamrin, Kecamuk Perang Jawa, dalam National Geographic Indonesia Vol. 10 No. 08 -Agustus 2014, hlm. 40.