HTI

Kisah Inspiratif

Pengorbanan, Kesabaran, dan Kegigihan


Seratus kilometer bukanlah jarak yang dekat. Butuh pengorbanan yang lebih untuk menempuhnya, apalagi menggunakan sepeda motor. Bagi yang tak memahami mungkin akan mengatakan kalau perjalanan yang dilakukan adalah perjalanan sia-sia. Sebab, perjalanan yang ditempuh bukan untuk mendapatkan uang, bahkan harus mengeluarkan uang sendiri. Perjalanan 100 kilometer dilakukan hanya untuk mengikuti acara Masirah Panji Rasulullah (Mapara) Palembang.
Perjalanan pun tak mulus. Di tengah perjalanan ada yang terjatuh hingga berdarah di sekitar dagu, bibir, dan kaki. Luar biasa. Salah satu peserta yang jatuh itu pun mengatakan, “Aku tidak apa-apa.” Rasa sakit yang mendera itu tak dirasa demi kerinduan untuk menemui saudara dan demi mengibarkan Panji Rasulullah saw.

Sekitar 120 orang tiba di Palembang pukul 08.30 dari perkampungan nelayan Desa Sungsang, Banyuasin, Sumatera Selatan, menggunakan puluhan motor. Rombongan wanitanya menggunakan bis. Lagi-lagi ujian itu kembali mereka terima. Aparat Kepolisian telah menunggu di depan pagar masjid. Mereka dan banyak rombongan lainnya tak bisa masuk ke dalam masjid. Namun, mereka tetap menunggu dari luar. Mereka ikut mengumandangkan takbir ketika suara dari dalam masjid mengajak peserta bertakbir. Mereka bertahlil mengagungkan kebesaran Allah SWT. Ibu-ibu yang hadir tak kuasa berteriak menangis karena mereka tak bisa masuk mengikuti acara. “Kenapa kalian menzalimi kami?” teriak salah satu ibu kepada aparat yang memblokade.

Hingga selesai acara mereka masih bertahan untuk tidak pulang. Mereka menunggu pintu pagar itu terbuka, lalu mereka berhamburan masuk menemui saudara-saudara yang lain. Suasana haru pun tampak terjadi. Pekik takbir membahana. Tidak ada rasa takut di mata mereka. Mereka malah semakin bangga dengan Panji Rasulullah. “Inilah dakwah yang sesungguhnya,” pesan Andika menyemangati rombongannya.

 

Berkibar di Hati

Batam yang juga merupakan salah satu daerah yang menyelenggarakan Mapara  tidak kalah semangat mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah. Namun, ada yang berbeda. Jika daerah lain pasukan pengibar merupakan mereka yang telah lama mengenal dan tidak asing dengan panji Rasulullah saw. dan serta telah aktif di forum-forum pembinaan, tidak demikian di Batam.  Pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah Batam berasal dari adik-adik  Muslimah yang aktif pada kajian sharing setiap pekan yang diadakan Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Batam chapter kampus.   Mereka adalah Muslimah muda baik dari kalangan pelajar, mahasiswi maupun pekerja yang baru mengenal hijrah dan sedang mendekatkan diri pada Islam. Bagi mereka Panji Rasulullah saw. belum lama mereka kenal.

Sekitar tiga pekan jelang acara Mapara saat sosialisasi acara, di situlah pertama kali mereka mengenalnya. Namun, jika ditanyakan bagaimana antusiasme mereka untuk menjadi pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah, mereka begitu semangat!

Tak kurang selama tiga pekan mereka berlatih formasi barisan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah di halaman Masjid Raya Batam. Mereka datang dengan kemauan sendiri,  mengorbankan harta dan waktu disela berbagai kesibukan. Barisan formasi pun dirancang sedemikian rupa, lengkap dengan alat musik khas Melayu “kompang” menjadi pengatur ritme yang mengomandani gerak formasi barisan. Setiap Ahad sejak pagi hingga sore mereka habiskan waktu untuk latihan.

Untuk bicara seragam jilbab dan kerudung sebagian mereka pun masih kesulitan karena belum semua yang berhijab syar’i. Sebagian mereka menyengaja membeli atau meminjam agar bisa tampil rapi menjadi pasukan Al-Liwa’-Ar-Rayah.

Bersama mereka dalam setiap latihan, membuat  aktivis Muslimah HTI Batam Ira Yuliana takjub. “Begitu mudahnya Liwa’ dan Rayah-mu dicintai, ya Rasulullah saw. Betapa sebenarnya kami rindu. Akidah kami tidak bisa membohongi jika kami rindu akan persatuan dan kebangkitan Islam,” gumamnya tatkala melihat semangat mereka latihan.

Malam jelang acara, grup WA berdering berulang. Mereka meluapkan rasa tak sabar jelang besok pelaksanan acara, setelah latihan sekian lama. “Gak sabar tunggu besok, ya Kak,” ungkap salah satu adik pengibar bendera. Haru menyeruak melihat semangat mereka.

Namun, tengah malam jelang acara, sebuah berita didapati dari panitia inti Mapara  Batam, pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah dibatalkan. Semua formasi parade Al-Liwa’ dan Ar-Rayah tidak boleh ditampilkan, dan tidak boleh ada satu pun panji yang boleh dipegang. Keputusan ini diambil untuk mengamankan situasi dari ancaman pihak tertentu.

Hal pertama yang terbayang oleh Ira Yuliana  adalah bagaimana menyampaikan kepada adik-adik Muslimah pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah? Bagaimana kecewanya mereka atas latihan, seragam dan semua yang sudah dipersiapkan? Mampukah mereka yang baru mengenal dakwah Islam memahami rintangan ini? Berbagai kekhawatiran menelusup di hati, membuat jam dinding terasa begitu lama berputar agar pagi segera datang.

Ahad, 16 April 2017 pukul 6.30 WIB, adik-adik  pasukan Panji Rasulullah saw. telah tiba. Mereka datang dari  berbagai lokasi yang berbeda-beda. Mereka datang dengan berbagai usaha agar dapat datang tepat waktu. Ada yang janjian bareng, charter angkot bareng. Bahkan ada yang menyengaja menginap di rumah teman yang dekat dari lokasi acara.

Pagi itu wajah mereka tampak semangat dan ceria, tidak sabar dan akhirnya momen menjadi pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah pun tiba. Akhirnya, mereka semua harus dikumpulkan dan berita tersebut pun harus disampaikan.  “Tidak ada pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah. Tidak ada formasi parade Al-Liwa’ dan Ar-Rayah. Tidak boleh ada satu pun panji Rasulullah yang dipegang atau dipajang di lokasi acara,” ungkap Ira dengan nada sedih.

Adik-adik pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah pun terkejut. Berbagai pertanyaan mereka lontarkan. “Kenapa mereka seperti itu, Kak? Apa yang salah dengan panji Rasulullah?”

Bahkan tampak sebagian mereka menangis. Namun, setelah diberi pengertian mereka memahami inilah bagian dari rintangan dakwah. Mencoba mengobati kecewa, salah seorang dari  mereka berujar, “Baik, Kak, kami tetap semangat!”

Tanpa Al-Liwa’ dan Ar-Rayah akhirnya mereka berdiri dengan seragam pada sepanjang jalan menuju lokasi acara. Setiap peserta lewat mereka meneriakkan serentak kalimat tauhid yang tertulis pada liwa rayah:  “Lâ ilaha illalLâh Muhammad rasûlulLâh!”

Teriakan mereka adalah luapan rasa kecewa dan semangat yang tetap  membuncah pada pihak yang menghalangi Mapara.

Mapara Batam tetap berlangsung meski tanpa satu pun Al-Liwa’ dan Ar-Rayah yang berkibar. Penjagaan pihak Kepolisian mengawasi dari awal hingga akhir acara. Meski Al-Liwa’ dan Ar-Rayah tidak berkibar di tangan mereka kali ini, dengan tegas adik-adik pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah Batam mengatakan,  “Bagi kami tetap berkibar di hati!”

Masya Allah, baru kenal kalian sudah sedemikian cinta. Semoga melimpah pahala atas segala korbanan pasukan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah Batam. Selaksa cinta untuk kalian. Semoga segera bergabung menjadi pejuang syariah yang meninggikan Panji Rasulullah. Allahu Akbar!

 

Tidak Gagal

Kurang lebih 1800 polisi dikerahkan pada hari pelaksanaan Mapara Pontianak pada Sabtu, 15 April 2017. Pengerahan aparat dalam jumlah yang di luar batas kewajaran ini dimaksudkan untuk menggagalkan  pawai yang sedianya akan dilakukan di beberapa ruas jalan di kota Pontianak mulai dari Masjid Mujahidin hingga Istana Kadriyah Pontianak.

Terjadi dua kali diskusi alot antara panitia dan pihak Kepolisian. Polisi melarang kegiatan ini dengan alasan bahwa ini dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban dan keamanan. Panitia malah mempertanyakan. Keamanan siapa yang terganggu? Warga masyarakat? Masyarakat yang mana? Bukankah jika benar ada yang mengganggu, banyak polisi yang bisa mengamankan? Bukankah itu tugas polisi? Mengawal kegiatan positif dari warga masyarakat, mengamankannya dari berbagai macam gangguan bukan malah membubarkannya.

Dua kali negosiasi menemukan jalan buntu. Padahal HTI Kalbar didukung oleh berbagai organisasi masyarakat seperti Front Pembela Islam (FPI) Kalbar, Laskar Pembela Islam (LPI) Pontianak, Persatuan Orang Melayu (POM), tokoh masyarakat dari Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) serta para habaib dari kalangan Istana Kadriyah. “Saudara-saudara, meskipun kita tidak diperkenankan pawai, kita tetap akan melaksanakan kegiatan di dalam lingkungan Masjid Mujahidin ini,” kata Ketua  HTI Kalbar Muhammad Kurniawan dari atas mobil komando dengan pengeras suara yang cukup lantang.

Beberapa kali takbir terdengar berkumandang. Semangat kaum Muslim dibakar. Raut kecewa yang sempat muncul karena pelarangan dari aparat, mendadak hilang dan berganti dengan semangat. Tulus.

Sekitar 400-an kaum Muslim di Kota Pontianak yang sudah berkumpul di halaman Masjid Mujahidin sejak subuh mulai bergerak. Itu belum ditambah kaum Muslim yang datang belakangan, namun dihalangi untuk masuk ke dalam lingkungan masjid.

“Allahu Akbar…Allahu Akbar…!” pekik takbir menggema. Bendera dan panji sebagai simbol pemersatu umat Islam seluruh dunia berkibar.

Rombongan kendaraan roda dua mengelilingi halaman masjid sambil mengibarkan bendera. Disusul oleh para pejalan kaki. Suasana tiba-tiba begitu meriah. Dari pengeras suara MC  tak henti menyemangati kaum Muslim yang di dalam darahnya mengalir semangat perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah di muka bumi.

Dari atas, beberapa  drone mengabadikan gambar. Di luar pagar, aparat kemananan berjaga-jaga. Entah apa yang ada dalam hati mereka. Padahal sebagian besar mereka beragama Islam. Karena tugas, mereka harus mematuhi dan ikut menjadi bagian orang yang menghambat dakwah Islam. Semoga Allah membukakan pintu hati mereka sehingga berbalik menjadi garda depan pengawal perjuangan Islam.

Di tengah semangat iman kaum Muslim yang menyala-nyala, tiba-tiba seorang lelaki berpakaian Melayu berlari ke tengah halaman dengan membawa  Al-Liwa’ berukuran besar. Pemandangan ini membuat hati orang-orang beriman gemetar. Luar biasa. Menakjubkan. Semangatnya tak hanya semangat mengibarkan bendera. Semangatnya adalah semangat juang yang begitu nyata.

Tak jauh dari pelataran masjid, Muslimah HTI Kalbar dan beberapa kelompok ibu-ibu pengajian berderet rapi sambil memegang bendera Al-Liwa’ dan Ar-Rayah dalam ukuran kecil. Lelaki Melayu ini melintas di depan mereka. Seketika pekik takbir para Muslimah membahana. Beberapa detik kemudian, beberapa pemuda dengan masing-masing bendera di tangannya mengikuti aksi lelaki pemuda Melayu. Mereka berkumpul, membawa bendera, berlari kecil. Sungguh pemandangan yang mempesona. Di luar, aparat keamanan berjaga-jaga. Entah apa yang ada dalam hati mereka.

Disadari atau tidak, sebenarnya polisi malah menyukseskan acara dengan jadi ‘peserta’. Berdiri di tengah-tengah peserta yang berada di dalam maupun luar masjid.

Masyarakat yang menyaksikan tahu. Baik mereka yang berada di dalam lingkungan masjid maupun yang berada di luar dan tidak bisa masuk ke masjid karena dihalang-halangi. Bukan itu yang terjadi. Ya, mereka tahu, bukan itu yang terjadi. Target HTI tidak gagal. Malah sebaliknya. Mereka memang tidak pawai ke jalan-jalan di Pontianak. Mereka malah berhasil meraih simpati kaum Muslim Pontianak dan merebut opini umum, bahwa perjuangan membela marwah Islam, perjuangan menegakkan kalimat tauhid, perjuangan kembali menegakkan syariah dan Khilafah tak akan pernah surut meskipun berbagai rintangan menghadang.

 

Meski Cacat Tetap Semangat

Salah satu dari puluhan ribu massa yang hadir dalam Mapara Makassar adalah Muhammad Akbari. Lelaki yang salah satu kakinya cacat tersebut sangat mengapresiasi Mapara. Meskipun sudah mengikuti acara serupa di Palopo, ia tetap bersusah payah menempuh perjalanan lebih dari 378 kilometer ke Lapangan Karebosi, Makassar. “Saya sangat salut acara yang dilaksanakan oleh Hizbut Tahrir. Dengan manhaj kenabian yang selalu diagungkan oleh mereka itu telah terbukti, bahwa walaupun selalu dianiaya, diintimidasi dan macam-macam, tapi toh acara tersebut dapat terlaksana dengan baik. SubhanalLâh, saya pribadi bukan syabab Hizbut Tahrir, tetapi insya Allah saya akan menyusul. Dengan alasan apapun nyawa saya siap untuk Khilafah,” ujarnya.

Dalam perjalanan menuju Kota Makassar, ia membawa ketiga anaknya bersama seratus warga Polopo. Sempat terjadi hambatan menuju Kota Makassar, mulai dari kendaraan yang bermasalah hingga terjadinya penghadangan oleh segelintir anggota Ormas dan ratusan aparat Kepolisian.  “Alhamdulillah, kemarin dari tim Palopo berangkat mulai jam 3 pagi, di tengah jalan bermasalah motornya,  yah lanjut naik mobil sendiri. Di jalan terjadi penghadangan oleh pihak polisi. Sempat terjadi penggeledahan, tetapi Alhamdulillah, dengan izin Allah, kami dapat melaluinya, “ ungkapnya, Ahad 16 April 2017 di Makassar.

 

Naik Jarangka

Dalam rangka menghadiri kegiatan Mapara Baubau, kafilah dari Buton Tengah (Buteng) menarik perhatian masyarakat, yaitu melalui jalur laut dengan menggunakan perahu, Ahad (4/9).

Kamaruddin, amir rombongan kafilah Buteng, mengungkapkan, masyarakat dari Kabupaten Buton Tengah sangat antusias dalam menghadiri kegiatan yang digelar HTI Baubau  tersebut. “Berdasarkan fakta di lapangan, peserta yang ikut bersama kami menggunakan perahu yang biasa disebut masyarakat setempat jarangka, mengibarkan bendera tauhid Al-Liwa’ berwarnah putih dan Ar-Rayah berwarnah hitam sepanjang perjalanan,” ujar Kamaruddin saat ditemui sejumlah awak media.

Mereka menggunakan  jarangka karena tidak punya alternatif jalur darat. Namun, justru perjalanannya menjadi unik dan banyak menyedot perhatian warga yang berada di pesisir pantai.

Setelah tiba di Kota Baubau, panitia sudah menyiapkan kendaraan untuk menuju ke Stadion Betoambari dan selanjutnya mengikuti tablig akbar. Usai kegiatan, kafilah Buteng kembali pulang dengan menggunakan perahu jarangka.

 

Napak Tilas Dipenogoro

Embun masih menempel di rerumputan sepanjang jalan Godean ketika 210 pemuda dengan helm kuning emas melintas. Mereka bukanlah pemotor yang sedang touring,  tetapi Satuan Istimewa Pengawal Panji Rasulullah Yogyakarta. Pagi itu, Ahad (9/4/2017) mereka menuju Dekso, daerah perbukitan di sebelah barat Yogyakarta. Dipimpin Ihsan Abdus Syari’ Reksonegoro mereka menyaksikan medan yang dulu menjadi ajang ujian kesabaran, keberanian dan kegigihan seorang santri dalam membela agama dan kaumnya.

Santri itu bernama Abdul Hamid, Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH Hasan Besari.  Santri itu juga ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro. Ngaji Tafsir Jalalain kepada KH Baidlowi Bagelen. Terakhir ngaji ilmu hikmah kepada KH Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang. Islam yang masuk ke dalam jiwa menjadikannya paham atas keadaan disekitarnya. Matanya terbuka dan melihat bahwa penjajahan akan menghancurkan Islam dan ummatnya. Hanya dengan Islam martabat dan kemuliaan dapat diraih, meskipun harus dengan jalan peperangan. Santri Abdul Hamid pun tampil ke muka, memimpin 108 kyai , 31 Haji, 15 Syeikh, 12 Penghulu Keraton dan 4 kyai guru mengumandangkan perang sabil melawan Kompeni.

Bagaimana bisa seorang santri memimpin para kiai? Siapa sebenarnya santri Abdul Hamid ini? Santri itu ternyata adalah seorang pangeran, putra sulung Sultan Hamengku Buwono ke III. Ia adalah Pangeran Diponegoro. Meski terlahir sebagai putera raja, ia hidup dengan penuh kebersahajaan dan dekat dengan rakyat. Pada masa mudanya sering menyamar sebagai orang kebanyakan dan bergabung dengan para santri di pondok-pondok pesantren. Kelak ia akan menyandang gelar Kyai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi.

Sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah, perlawanan akhirnya dapat dipadamkan. Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang. Darinya banyak pelajaran dapat dipetik oleh umat Islam saat ini. Sebenarnya musuh umat ini adalah kaum kafir penjajah. Mereka sebenarnya lemah dan mudah dikalahkan. Namun, hal itu menjadi sulit ketika umat ini dipecah belah dan diadu. Pangeran Diponegoro dalam perang sabilnya tidak hanya berhadapan dengan kompeni saja, namun justru berhadapan dengan bangsa sendiri bahkan termasuk dari kalangan kraton yang seharusnya membantunya. Bangsa sendiri yang dibutakan oleh gemerlap dunia serta dicengkeram inferioritas terhadap bangsa asing menjadikan mereka memilih mengkhianati saudara dan agama sendiri.

Para pemuda dengan helm mustanir berwarna kuning emas, menyusuri Perbukitan Dekso. Kali ini dengan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah tergenggam erat di tangan. Berkibar tak henti-hentinya, bersama dengan kesabaran, keberanian dan kegigihan Sang Santri Abdul Hamid, Pangeran Diponegoro. Mereka yang telah tercerahkan hati dan pikirannya dapat melihat, negeri ini masih terjajah. Hanya dengan syariah dan Khilafah negeri dan bangsa ini dapat mencapai kemuliaan sejati.

 

Ulama Dukung Khilafah

KH Mansyur Muhyidin, ulama Banten asal Bojonegara, Kabupaten Serang, yang juga Penasihat Bandrong Banten mengajak seluruh kiai, ustadz, santri di Banten untuk mendukung perjuangan penegakkan Khilafah Islam ‘ala minhaj an-nubuwwah. Menurut beliau, tidak perlu ragu atau takut untuk mendakwahkan pentingnya penerapan syariah Islam dalam bingkai Khilafah. Justru harus semangat dan penuh tanggungjawab. “Khilafah itu harus terus disosialisasikan. Agar semua masyarakat memahami dan tahu pentingnya Khilafah, pentingnya syariah Islam,” tuturnya, Sabtu (15/4/2017) di Pondok Pesantren Massaratun Muhtajin, Kesultanan Banten Lama, Kasemen, Kota Serang, Ahad (15/4).

Hadir sebagai mubalig antara lain KH Muhammad Ma’mun (Pimpinan Ponpes Darul Falah – Pandeglang), KH Yasin Muthahhar (Pimpinan Ponpes Al-Abqory – Kota Serang/DPP HTI) dan KH Syamsudin Ramadhan (Lajnah Khusus Ulama DPP HTI). Sekitar 500-an peserta yang terdiri dari pimpinan ponpes, ustadz, serta para santri memenuhi majelis. Acara yang dimulai pukul 13.00 hingga 16.00 ini pun turut disimak aparat TNI dan polisi.

KH Muhammad Ma’mun mengulas tentang dalil-dalil dalam al-Qur’an dan al-Hadis tentang Kekhilafahan serta kewajiban umat Islam dipimpin seorang khalifah. Ia juga menyayangkan keadaan negara ini yang mayoritas Muslim, bahkan dipimpin oleh presiden dan wakil presiden yang Muslim, namun keadaan kaum Muslim seperti minoritas yang diperlakukan tidak adil. “Kita juga sangat prihatin. Sebagian dari Muslim masih menganggap Khilafah sebagai lamunan,” ujarnya.

Mubalig lainnya, KH Yasin Muthahhar mengulas tentang kewajiban syar’i penegakkan Khilafah. “Khilafah itu dalam rangka menghidupkan syariah Islam, menghidupkan sunnah, menyatukan umat Islam. Inti khilafah itu mempersatukan. Ini bagian dari perintah Rasulullah saw. Jadi harus didukung. Jangan dicurigai,” tuturnya.

“Patut dicurigai atau didukung?” tanyanya. Peserta menjawab serentak, “Didukung!”

Kepada aparat yang hadir, kiai muda ini pun mengingatkan, agar tidak curiga kepada Hizbut Tahrir untuk menghancurkan NKRI. Hizbut Tahrir memperjuangkan tegaknya Khilafah dalam rangka menerapkan syariah. “Bapak Intel catet. Khilafah ini bukan untuk menghancurkan Indonesia. Khilafah itu untuk menyatukan umat Islam. Untuk menyatukan kaum Muslim. Indonesia akan tetap menjadi Indonesia. Indonesia tidak akan bubar. Hizbut Tahrir tidak merusak. Islam tidak akan pernah merusak. Justru yang merusak itu palu arit.”

Adapun KH Syamsudin Ramadhan menegaskan tentang kesepakatan ulama dari berbagai mazhab yang menegaskan wajibnya Khilafah. Ia mengingatkan, “Jika pendapat ulama yang telah disepakati bersama itu diselisihi, maka ia sudah mungkar. Jika Khilafah ditolak, maka dia mungkar,” tegasnya.

Dituturkan juga sosok pendiri Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Taqiyudin an-Nabhani dan Syaikh Abdul Qadim Zallum. Keduanya adalah ulama besar yang diakui dari sisi nashab dan hashab-nya. Bahkan Syaikh Taqiyuddin adalah cucu dari Syaikh Yusuf an-Nabhani yang dikenal secara luas oleh kalangan Ahlus Sunah wal Jamaah  dan mendapat julukan Asy-Syafii Ats-Tsani. “Jadi, Hizbut Tahrir itu bukan didirikan oleh aktivis, tetapi didirikan ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengikuti kecenderungan fikihnya mazhab Syafii,” tegasnya.

 

Pertahankan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah

Mapara Makassar sedianya dilaksanakan mulai pukul  07.30 – 10.30 di Lapangan Karebosi harus mengalami perubahan secara mendadak karena  upaya untuk menggagalkan-nya sangat kuat yang melibatkan banyak pihak. Yang lebih tajam adalah adanya penangguhan izin penggunaan Lapangan Karebosi -2 H dengan surat berkop Dinas Pemuda dan Olah Raga yang diterima pada Jumat, 14 April, padahal sebelumnya sudah mendapat izin an. Walikota Makassar di-ttd Sekda tanggal 09 April 2017.

Setelah menghubungi pihak-pihak terkait atas penangguhan tersebut,  HTI Sulsel tetap akan melaksanakan kegiatan tersebut pada Ahad, 16 April. Pasalnya, semua adalah bagian dari aspirasi umat yang diatur UU yang tidak boleh dihambat. Karena itu pada saat pelaksanaannya, kegiatan diatur dengan meminta peserta hadir shalat subuh berjamaah di Masjid Al-Markaz Al-Islami dan dilanjutkan tablig akbar. Pukul 07.30 kegiatan dilanjutkan dengan melakukan longmarch menuju Karebosi. Namun, karena terjadi penghada-ngan oleh ratusan personil Kepolisian dari berbagai satuan maka aksi dilanjutkan dengan orasi-orasi sembari melakukan komunikasi yang baik dan terus menyampaikan orasi dan tausiyah akibat dari menghalangi dakwah di jalan Allah. Setelah negosiasi sekitar dua jam, barikade puluhan mobil brimob dan barakuda yang menutup pintu Al-Markaz akhirnya bisa diberikan jalan untuk longmarch.

Ribuan peserta Mapara melantunkan Shalawat Badar memenuhi jalan protokol, Jalan Masjid Raya dan Jalan Gunung Bawakaraeng. Mereka berjalan menuju Karebosi dengan mengusung Al-Liwa’ dan Ar-Rayah. Kegiatan tersebut mendapat perhatian masyarakat kota Makassar.

Ribuan peserta yang tidak dapat informasi perubahan tersebut datang ke Karebosi. Namun, mereka tidak bisa masuk lapangan, dihadang polisi yang menjaga  acara seni dan budaya—yang  hanya dipersiapkan dua hari—untuk  menggeser Mapara.  Padahal tempat Mapara belum ada pembatalan dari pihak berwenang, hanya penangguhan. Akibatnya, peserta Masirah memenuhi jalan Jenderal Sudirman Karebosi yang tumpah sambil melantunkan shalawat badar meski harus bersabar menunggu sekitar tiga jam dari datangnya peserta yang longmarch dari Al-Markaz.

Bagaikan kaum Anshar menyambut Muhajirin dengan lantunan shalawat mengharu-biru dengan lautan manusia puluhan ribu menyatu memenuhi jalan Jenderal Sudirman. Allahu Akbar. Semua telah diatur oleh Yang Mahakuasa. Justru kegiatan tersebut memberi kesan yang mendalam dengan situasi seperti itu.

Kemudian Ketua DPP HTI  Rokhmat S Labib memberikan tausyiah dalam bentuk mimbar terbuka dengan menaiki truk tronton. Ia mengingatkan umat Islam untuk tidak takut terhadap perjuangan Hizbut Tahrir dan tidak menjadikan Hizbut Tahrir sebagai musuh. “Di kesempatan ini saya ingin sampaikan, bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan dari perjuangan Hizbut Tahrir dan menganggap Hizbut Tahrir sebagai musuh. Pertanyaan saya, apakah Hizbut Tahrir pernah korupsi? Apakah Hizbut Tahrir pernah menjual pulau-pulau kepada asing? Apakah Hizbut Tahrir yang memberikan berbagai tambang kepada pihak asing? Aneh, saudara-saudara. Mereka yang korupsi, mereka yang menjarah harta negara, mereka yang utang banyak, mereka yang memberikan kekayaan negara kepada asing. Mereka cuci tangan! Justru menuduh Hizbut Tahrir sebagai ancaman. Jadi, sesungguhnya rakyat ini ditakut-takuti! Sebab, Hizbut Tahrir akan memperjuangkan Islam!” serunya, diikuti pekikan takbir oleh para peserta.

Usai mendengarkan orasi, massa pun membubarkan diri. Namun, tiba-tiba sekitar 30 orang dari ormas tertentu menghadang dan berupaya merebut panji Islam yang dibawa Panglima Laskar Pembela Islam Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan Abdurrahman dan peserta lainnya. Terjadilah saling dorong. Kondisi makin memanas ketika massa HTI dan laskar FPI tetap mempertahankan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah dari percobaan perampasan oleh kelompok anarkis dan intoleran tersebut.

Insiden berakhir setelah dilerai polisi. “Dari laporan peserta yang menyaksikan peristiwa tersebut, pihak Kepolisian memarahi mereka yang mencoba mengganggu jalannya acara yang notabene sudah bubar,” ungkap Humas HTI Sulsel Dirwan Abduj Jalil.

 

Tidak Ada Yang Bisa Cegah Matahari Terbit 

Secara prosedural HTI Jawa Barat sudah menempuh langkah yang benar dan terencana baik, tetapi pada injury time Polda Jabar tidak mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dan menyarankan pembatalan acara (larangan). Hal itu disusul dengan pencabutan rekomendasi Polrestabes Bandung dan pencabutan izin penggunaan tempat acara di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat. “Semuanya atas nama otoritas dengan alasan karena situasi keamanan yang tidak mendukung. Padahal logikanya, harusnya pengganggu itu yang semestinya ditertibkan,” ungkap Humas HTI Jabar Luthfi Afandi.

Provokasi juga terjadi dengan aksi demo dari kelompok tertentu mulai dari mendemo Kantor HTI Jabar hingga demo ke DPRD dan Polisi, mulai Polsek hingga Polda; untuk memberikan tekanan kepada aparat agar menggagalkan acara Hizbut Tahrir. Rupanya upaya kelompok tersebut berhasil menekan aparat.

Gangguan di lapangan juga terjadi dengan cara yang tidak elegan. Mendemo Kantor HTI dengan menyobek baligho, ancaman pembubaran acara, menduduki tempat acara, teror-teror melalui media online dan pesan singkat, serta bukti-bukti lainnya. Gangguan juga datang dari pihak aparat, mulai dari menghadang bus dari daerah, menekan PO bus untuk membatalkan, hingga tidak memberikan izin tempat konferensi tokoh di salah satu hotel bintang empat di Kota Bandung.

Namun demikian, atas izin dan pertolongan Allah, acara berjalan dengan lancar karena dengan sigap panitia melakukan penjadwalan ulang, memindahkan tempat acara dan memecahnya menjadi di beberapa titik. Acara berjalan sukses tanpa ada gangguan berarti apalagi pembubaran. Isu pembubaran adalah berita bohong yang disebarkan pihak tertentu.

Di luar sepengetahuan kelompok tertentu, pada Jumat (14/4) bada shalat subuh, HTI Jawa Barat sukses menyelenggarakan Tablig Akbar dengan tajuk “Khilafah Kewajiban Syar’i, Jalan Kebangkitan Umat” di Masjid An-Nur Kota Bandung. Acara yang dihadiri oleh ribuan masyarakat Bandung dan sekitarnya berjalan semarak. Ketua DPD I HTI Jabar Muhammad Riyan juga menegaskan bahwa pada Jumat ini Jawa Barat telah memulai rangkaian Masirah Panji Rasulullah. Tangisan bahagia, haru dan sedih menjadi satu di subuh yang syahdu itu.

Bahagia karena Allah memberikan kemudahan atas terselenggaranya acara. Haru karena dalam situasi yang demikian sulit, aktivis Hizbut Tahrir dengan kesungguhan dan kesabaran merancang dan menyelenggarakan acara. Sedih karena ternyata upaya makar terhadap dakwah masih terus berlanjut, bahkan dilakukan oleh saudara Muslim sendiri, baik karena kebodohan maupun karena kesepakatan jahatnya.

Namun, Alhamdulillah, Sabtu (15/4), HTI Jabar  sukses menggelar lima acara sekaligus pada waktu yang hampir bersamaan. Pertama, tablig akbar di depan Kantor HTI Jabar Jalan Jakarta Kota Bandung. Kedua, pawai berjalan mengelilingi sepanjang Jalan Jakarta, Jalan Ahmad Yani dan kembali ke Jalan Jakarta.   Ketiga, tablig akbar di Masjid Raya Kota Bandung. Selepas mengikuti tablig akbar, ribuan orang bergerak keluar untuk membentangkan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah di lapangan rumput sintetis alun-alun Kota Bandung. Keempat, tablig akbar di area parkir Eks Palaguna. Dalam suasana yang makin panas dan bergairah, ribuan orang yang awalnya memadati Masjid Raya mendapatkan semangat dengan orasi politik dari Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib. Kelima, Indonesia Khilafah Forum (IKF). Forum tersebut berjalan dengan format yang bersahaja di aula salah satu rumah makan di Kota Bandung dengan dihadiri lebih dari 300 tokoh. Alhamdulillah.

“Sungguh tak ada yang bisa mencegah terbitnya matahari! Begitulah juga Khilafah, tak ada yang bisa mencegahnya,” pekik Ketua DPP HTI Rokhmat S Labib yang kemudian disambut takbir ribuan massa Mapara Bandung, Sabtu, 15 April 2017  di Jalan Jakarta, Kota Bandung, Jawa Barat. [Joko Prasetyo, dari kontributor daerah]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*