Tampaknya International Khilafah Forum (IKF) merupakan acara internasional yang paling bersahaja yang pernah diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ahad, (23/4/2017) di Kantor DPP HTI, Crown Palace, Jakarta Selatan. Sekitar 200 tokoh di Jakarta dan dari berbagai daerah di Indonesia yang laki-laki dipersilakan duduk di lantai dua. Tempat duduk yang ada tidak bisa menampung semua peserta sehinga banyak yang berdiri. Pembicara duduk santai di panggung tanpa backdrop. Para tokoh wanitanya dipersilakan duduk di lantai tiga dengan layar yang menampilkan pembicara.
Maklumlah, acara yang menghadirkan pembicara dari Turki dan Australia tersebut beberapa bulan sebelumnya sudah dipersiapkan diselenggarakan di Balai Sudirman Jaksel, lalu empat hari sebelum acara dipindah ke Masjid Az Zikra, Sentul, Kabupaten Bogor lantaran dilarang aparat dengan alasan yang mengada-ngada. Malam jelang IKF, ormas tertentu pun menggeruduk Adz-Dzikra dan menekan pengurusnya untuk membatalkan acara.
Sekitar jam 6 pagi pada hari H, panitia mengevakuasi para tokoh yang terlanjur sudah berdatangan. Dalam kendaraan terpisah tampak da’iyah Kota Banda Aceh Ustadzah Nursalmi dan Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI Sumatera Selatan Umar Husein dibawa ke Jakarta. Puluhan orang berseragam polisi menikmati nasi bungkus sembari lesehan di pinggir jalan di sekitar sembilan mobil Brimob yang terparkir di depan pintu masuk Adz-Dzikra. “Saya ikut IKF dengan penuh semangat, sampai mau bolak-balik tukar tiket demi bisa ikut acara IKF. Sampai di Bogor, saya ke Masjid Adz-Dzikra. Di jalan sudah ada aparat keamanan beberapa mobil reo yang sedang jaga-jaga. Kami belum punya informasi tentang permasalahan yang sedang terjadi. Kami tidak curiga sedikit pun. Sampai di masjid, baru kami tahu ternyata acaranya dipindahkan. Bicara tidak boleh lewat telpon. Kami semakin penasaran. Lalu kami dijemput oleh pihak panitia dan langsung ngebut ke Kantor HTI di Tebet karena acaranya dipindahkan ke sana,” ujar da’iyah Kota Banda Aceh Ustadzah Nursalmi kepada al-wa’ie.
Tetap Prima
Meski setting tempatnya sederhana, kualitas penyampaian materi dan diskusi dalam forum tetap prima. Dalam penyampaian materinya, Ketua DPP HTI Ustadz Rokhmat S. Labib menyatakan Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam yang wajib ditegakkan. “Rasulullah saw. menyebutkan nama khilafah, tsumma takûnu Khilâfah ‘ala minhâjin-nubuwwah; kemudian akan tegak khilafah yang mengikuti metode kenabian,” ujarnya mengutip hadis riwayat Imam Ahmad.
Ia juga menyebutkan bahwa Khilafah adalah riâ’satun ‘âmmah lil-muslimîna jamâ’an fî dunyâ li tathbîqi syarî’ah al-Islâm wa hamlid da’wah al-Islâm ilâ dunya; pemimpin umum kaum Muslim seluruh dunia dalam menegakkan syariah Islam dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia.
Rokhmat juga memaparkan dalil-dalil kewajiban menegakkan Khilafah. “Sungguh aneh kalau ada umat Islam yang membenci Khilafah. Bahkan sangat aneh orang yang ngomong khilafah dianggap sebagai sebuah kejahatan,” tegasnya.
Ia juga menyatakan Khilafah adalah jalan kebangkitan karena Khilafah akan menyatukan umat Islam, menerapkan seluruh syariah Islam yang rahmatan lil alamin untuk menyelesaikan personal-persoalan umat manusia dan melindungi umat Islam.
Pemateri dari Turki, Ustadz Abdullah Imam Oglu, menyebutkan kondisi kaum Muslim pasca runtuhnya Khilafah Islam pada 1924 di Turki. “Kita saat ini tidak memiliki pemerintahan yang berani bersuara lantang atas kezaliman dan pembantaian biadab yang menimpa umat Islam dalam berbagai sendi kehidupan,” tegasnya.
Ia menyatakan apakah sama seorang khalifah yang menerapkan sabda Nabi Muhammad saw., “Terbunuhnya seorang Muslim lebih besar di sisi Allah daripada hancurnya Ka’bah” dengan seorang presiden pembaca al-Quran tetapi lalai menyelesaikan pembantaian dan pemenjaraan umat Islam? “
Apakah sama seorang khalifah yang menggerakkan tentaranya demi melindungi saudaranya dengan presiden yang membiarkan landasan militer Incirlik di Turki digunakan untuk membantai umat Islam?” tanyanya retorik.
Abdullah menegaskan, itu semua tidaklah sama. “Demi Allah, semua itu tidak pernah sama. Mustahil jalan surga bisa bertemu dengan jalan neraka. Setiap langkah demokrasi tidak mungkin menghasilkan Islam. Sikap pembiaran umat Islam shalat di masjid tidak cukup untuk menerapkan hukum Allah secara paripurna,” tegasnya.
Ia mengingatkan para tokoh yang hadir. “Saudara-saudara yang budiman! Jangan lengah! Saat ini masih ada pemikiran dan sistem Barat yang melenakan umat Islam. Ketahuilah bahwa satu-satunya sistem pengganti yang bisa menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan adalah Islam. Musuh saudara memahami hal ini. Mereka menyadari bahwa Khilafah telah menjadi perjuangan umat Islam beragam lapisan. Mereka hendak menjegal proyek Khilafah dengan berbagai cara,” ungkap Abdullah.
Menjadi ‘Something’
Dalam sesi diskusi, seorang tokoh bertanya, “Bagaimana sikap HTI terhadap kondisi saat ini sampai-sampai Mapara pun dihalang-halangi?”
Dengan mengembangkan senyum khasnya, Juru Bicara HTI Ustadz Muhammad Ismail Yusanto menjawab. “Dengan dihalangi, menunjukkan dakwah kita selama ini ada pengaruhnya. Dakwah kita menjadi ‘something’ (sesuatu yang diperhitungkan) bukan ‘nothing’ (dianggap tidak ada),” ujarnya.
Penguasa sudah lama ingin membubarkan HTI, tetapi tidak ada alasan yang kuat. Berdasarkan UU Ormas, secara hukum untuk membubarkan harus ada putusan pengadilan yang incraht (berkekuatan hukum tetap). Namun, untuk ke pengadilan prosesnya sangat panjang. Dari Surat Peringatan 1, 2, 3 dari Kemenhuk dan Ham sampai tuntutan ke pengadilan. “Dan HTI tidak pernah menerima satu kali pun surat peringatan sehingga melalui hukum sangat sulit membubarkan HTI,” ujarnya.
Langkah lain adalah revisi UU Ormas. Ini pun cukup lama mengingat pembahasan di DPR, UU Ormas belum masuk Prolegnas. Karena itu langkah yang diambil untuk coba membubarkan adalah dengan tuntutan publik. “Dibuat seolah-olah publik tidak suka dengan HTI, terjadi konflik, bentrok, dan lain sebagainya yang kemudian jadi alasan pembubaran. Inilah yang sedang dimainkan Polri melalui Ormas tertentu,” ungkapnya.
Untuk menghadapi itu, Ismail pun mengatakan tiga hal. Pertama: Para pengemban dakwah harus kuat dan tangguh dalam memegang fikrah dan tharîqah. “Terutama jangan terpancing untuk membalas dengan kekerasan kepada Ormas tertentu karena itu yang diharapkan mereka,” bebernya.
Kedua: Pengemban dakwah tidak boleh takut. Tetap berdakwah seperti biasa membangun kesadaran umat.
Ketiga, meski tidak boleh takut, pengemban dakwah juga harus meminimalkan dampak buruk demi menyelamatkan dakwah. “Di antaranya seperti kita mengalah untuk mengubah format acara Mapara di Jakarta,” ujarnya.
Sementara itu, aktivis dakwah dari Australia Abu Anas mengingatkan HTI dan kaum Muslim yang mendukung perjuangannya, bahwa HTI dengan kelompok Islam lain, seperti Ormas tertentu tersebut adalah bersaudara. “Tidak boleh saling menumpahkan darah ataupun saling mencaci-maki,” ungkapnya.
Abu Anas juga menyarankan agar menjelaskan kepada mereka bahwa HTI bukanlah musuh. Jelaskan pula bahwa strategi orang kafir dengan penguasa Muslim adalah memecahbelah umat Islam. Dengan penjelasan tersebut diharapkan mereka sadar. “Dengan begitu strategi penguasa yang ingin membenturkan secara fisik Hizbut Tahrir dengan kelompok lain akan gagal,” tegasnya.
Tetap Semarak
Massa yang tadinya hendak konvoi Al-Liwa’ dan Ar-Rayah menuju Patung Kuda Silang Monas Jakarta serta mengikuti tablig akbar di sana, secara mendadak diubah pula formatnya menjadi Mapara di kota dan kabupatennya masing-masing. Meski demikian, acara tetap semarak.
Berbarengan dengan IKF di Jakarta, tablig akbar di Kabupaten Bogor dilaksanakan di dua tempat. Pelaksanaan pertama di Lapangan Futsal Cibungbulang, pengisi KH Muhyidin, Ustadz Harun al-Rasyid dan Ustadz Asep Supriyatna. Acara dihadiri sekitar 1300 peserta.
Dengan jumlah massa yang kurang lebih sama, tablig akabar dilaksanakan pula di Masjid Al-Musyaddad Komplek LIPI Cibinong. Pembicara Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar, Dr. Ahmad Sastra, Ustadz Abu Umar dan Ustadz Didik Suhermanto.
Di Kabupaten Bekasi, sekitar seribu kaum Muslim mengikuti tablig akbar di Islamic Center As-Suryaniyah, Setu–Bekasi. Mereka sangat antusias mengikuti acara. Rasa gembira dan haru menyelimuti para peserta yang membubarkan diri dengan tertib setelah acara berakhir sambil mengibarkan Al-Liwa’ dan Ar-Rayah seraya bertakbir.
Masih di Kabupaten Bekasi, acara serupa digelar di Masjid Jami’ Nurul Huda Tegal Gede Cikarang. Masjid dua lantai ini seakan tidak mampu menampung antusiasnya kehadiran peserta yang memenuhi sejak pagi hingga zuhur. Dengan background Ar-Rayah besar yang terpampang di dinding masjid, bergantian para pemateri menyampaikan orasinya yang membakar semangat sekitar 500 jamaah.
Kota Bekasi tak mau kalah. Acara serupa dilaksanakan pula di dua tempat. Sekita 450 massa memadati Masjid Asy-Syuhada Komplek Kranggan Permai Jatisampurna Kota Bekasi. Pembicara Ustadz Dede Salman dan Ustadz Mukti Chandra. Sekitar 700 kaum Muslim menghadiri acara yang digelar di Aula Masjid Al-Busyro Kecamatan Mustika Jaya.
Di Depok, kegiatan dikhususkan untuk perempuan. Agar keluar dari keterpurukan yang selama ini melanda di berbagai bidang, kaum Muslim harus bangkit. “Kebangkitan diawali oleh sebuah pemikiran yang jernih dan cemerlang sehingga kita mendapatkan solusi yang hakiki. Itulah akidah Islam,” ujar Ustadzah Nurlaela Asuro di Aula Masjid Dian Al- Mahri Kubah Emas, Sawangan, Depok, Jawa Barat.
“Lantas dengan apa kita keluar dari keterpurukan ini. Apakah cukup pasrah? Diam? Atau menyerah? Ya, kita harus bangkit!” pekiknya di hadapan sekitar 600 ibu- ibu majelis taklim dan remaja.
Menurut Nurlaela, sungguh Islam rahmatan lil ‘alamiin, akan membawa rahmat dan keberkahan bagi alam, manakala syariah ditetapkan secara kâffah. “Bersama umat berjuang bangkit menuju Islam dalam bingkai Khilafah,” ajaknya.
Pembicara lainnya, Ustadzah Tri Yuni, menyatakan hal pertama yang penting segera dilakukan adalah bergandeng tangan untuk menunaikan kewajiban.
Menurut Tri Yuni, berdiam diri, tidak berjuang menegakkan Khilafah bagi kaum Muslim, merupakan suatu kemaksiatan. Apalagi pada Khilafahlah bergantung banyak pelaksanaan hukum Islam. “Artinya, tanpa Khilafah, banyak hukum Islam, sebagaimana saat ini, tidak dapat dilaksanakan,” jelasnya.
Cilegon, Karawang dan Jakarta menyusul keesokan harinya.
Tetap Berkibar
Seusai tablig akbar di Pondok Pesantren Al-Khairiyah, Senin (24/4), sekitar 700-an peserta melakukan pawai panji Rasulullah saw. dengan mengelilingi lingkungan pondok hingga ke jalan raya. Peserta yang berdatangan dari beberapa kecamatan dan kabupaten sekitar juga melanjutkan pawai tersebut mengunakan kendaraan menuju pulang. Pawai dengan membawa bendera hitam dan putih bertuliskan lafal tauhid itu berkibar sangat semarak. Terlihat para santri bersurban, masyarakat umum, serta ustadz dan kiai pimpinan pondok pesantren turut mengibarkannya.
Pada saat tablig akbar, KH Nadziri, kasepuhan dari Kelapian, Pontang, Kabupaten Serang, menyatakan bahwa Khilafah adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Alasannya, karena Islam bukan hanya mengatur tentang ibadah semata, namun juga sistem kehidupan. “Mereka (orang-orang kafir, red.) menginginkan kita umat Islam mengikuti cara ekonomi, politik, sosial milik mereka. Mereka senang. Itulah kedengkian orang-orang kafir,” ucapnya.
Begitupun KH Sohari, Pimpinan Ponpes Miftahul Huda, Kecamatan Mancak, Kabupaten Serang, berpesan kepada aktivis Hizbut Tahrir untuk bertahan dan terus berdakwah dengan cara-cara yang baik. “Meski ada yang nyang nyang nyong nyong, terus maju. Islam akan menang,” tandasnya.
KH Sachrowardi, ulama Kota Cilegon, menyatakan terus mendukung Hizbut Tahrir untuk berdakwah menyuarakan syariah dan Khilafah. Bahkan secara khusus ia mendoakan agar perjuangannya segera mencapai hasilnya dan keberkahan serta rahmat Islam bisa dirasakan oleh semua umat.
Di Karawang, Mapara digelar di Masjid Aliyah Interchange Rest Area Karawang Barat. Sebelum subuh, sekitar 2.500 massa sudah memadati ruangan utama dan koridor Masjid Aliyah hingga keluar teras. Kegiatan ini diawali dengan shalat subuh berjamaah. Usai tablig akbar, ribuan massa yang hadir keluar masjid untuk berdoa bersama sekaligus mensosialisasikan Panji Rasulullah saw.
Sekitar tiga ribu massa memadati pula Masjid Al-Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Suasana sangat ramai dengan kibaran Panji Rasulullah yang diusung oleh para jamaah. Dalam tablignya, Ustadz Rokhmat S. Labib menyatakan ketika pengalaman Isra Mi’raj-nya diceritakan Rasulullah saw., kafir Quraisy menganggap itu adalah cerita dusta. Berbeda dengan Abu Bakar, pada saat itu ia justru menjadi orang yang paling percaya dan yakin tentang perjalanan isra dan mi’raj Rasulullah saw.
Menurut Rokhmat, sikap inilah yang harus dimiliki oleh setiap Muslim, bahwa apa yang berasal dari Allah adalah benar, dan hukum-hukum yang datang dari Allah adalah benar. Benar dalam informasi-informasinya dan adil dalam hukum-hukumnya.
Lalu ia bertanya kepada jamaah: “Apakah kita yakin dengan apa yang datang dari Allah?”
“Yakin!” jawab jamaah.
“Apakah kita yakin dengan hukum-hukum Allah ?” tanyanya lagi.
Massa kembali menjawab, “Yakin!”
“Jika kita mau menjadi siddiqin maka kita harus meyakini apa-apa yang diturunkan oleh Allah,” tegas Rokhmat.
Ia lalu membandingkan antara ayat di Surah al-Baqarah tentang puasa dan ayat di Surah al-Baqarah soal qisâsh. “Apakah ada Muslim yang berani mengatakan bahwa puasa itu tidak wajib? Apakah ada Muslim yang berani mengatakan bahwa puasa hanya berlaku di Arab dan di masa Nabi Muhammad saja ?” tanya Rokhmat.
Jamaah serentak menjawab “Tidak!”
Kenyataannya, saat ini ada Muslim yang mengimani puasa itu wajib, namun tidak soal qisâsh. “Inilah yang disebut sebagai orang yang mengimani sebagian kitab dan mengingkari sebagian lainnya. Allah secara tegas menyebut orang semacam ini sebagai al-kâfirûna haqqan,” tegas Rokhmat seraya mengutip al-Quran Surat an-Nisa ayat 150-151.
Ia juga menyatakan, Islam tidak mengenal moderat alias mengambil jalan tengah antara Islam dan kufur ataupun liberal yang jelas-jelas tidak mau terikat syariah Islam. Jika dipaksakan menjadi Islam moderat atau Islam liberal, itu bukan Islam lagi namanya. Ia pun mencontohkan orang dan hutan. “Jika dipaksakan maka bukan lagi orang namanya tetapi…” belum selesai perkataannya, ribuan massa pun langsung tertawa.
Rokhmat lalu menanyakan kepada jamaah, apakah siap berjuang untuk menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam naungan Khilafah. “Siap!” saut jamaah yang disusul dengan pekikan takbir.
Usai tabligh akbar, massa pun melakukan konvoi motor sembari mengibarkan panji hitam dan bendera putih bertuliskan dua kalimat syahadat di langit Jakarta. “Allahu Akbar!…Allahu Akbar!…Allahu Akbar!” pekik mereka dengan penuh semangat. [Joko Prasetyo, dari kontributor daerah]