Umat Islam itu satu. Kita harus bersatu. Apapun organisasinya, kita harus menyatu,” ujar KH Romli. Hal itu beliau ungkapkan saat saya bersilaturahmi ke pondok pesantrennya di Lampung pertengahan April lalu.
Sambil duduk di saung, di tengah hamparan sawah yang indah, kiai yang bersahaja itu menambahkan, “Penyatunya adalah Islam. Kita sama-sama rindu penerapan Islam kâffah. Kita ingin hidup ini diatur oleh syariah Islam.”
Saya sampaikan kepada beliau, “Kiai, insya Allah, suatu ketika umat Islam akan menyatu. Posisi umat Islam sebagai khayru ummah akan terwujud sekalipun saat ini terlihat ada upaya adu domba antarsesama umat Islam.”
Dialog dari hati ke hati terasa sejuk. Apalagi ditemani goreng singkong, empek-empek dan teh manis.
Keinginan untuk menyatu itu terasa dari berbagai kalangan, di berbagai daerah. Hanya saja, kadang terlihat masih ada ganjalan keraguan. Sekadar contoh, saat bertemu dengan para tokoh di Bogor, ada seorang ustadz mengungkapkan perasaannya kepada saya, “Kita rindu umat Islam bersatu. Namun, di daerah saya itu alirannya bermacam-macam, bahkan ada yang antispeaker, tidak mau menggunakan pengeras suara.”
Saya sampaikan bahwa prinsip yang harus kita pegang adalah, “Ra`yi ash-shawâb yahtamilu al-khathâ` wa ra’yuhum khathâ` yahtamilu ash-shawâb (Pendapat saya benar, namun mungkin mengandung kesalahan. Pendapat mereka salah, namun mungkin mengandung kebenaran). Itulah sikap para ulama salafush-shâlih.”
“Dengan sikap demikian, kita yakin dengan pendapat kita, sekaligus menghargai pendapat orang lain,” tegas saya.
Saya tambahkan, “Dalam perkara qath’i, kita harus satu. Namun, dalam perkara zhanni, kita boleh berbeda pandangan dan saling menghormati.”
Ada juga yang bertanya, “Indonesia ini kan beragam. Bagaimana Khilafah bisa menyatukan masyarakat yang beragam?” Saat itu saya katakan, “Beragam itu adalah sunnatullah. Pada sisi lain, khilafah itu salah satu syariah Islam. Banyak hadis tentang hal tersebut. Secara imani, semua ajaran syariah Islam pasti cocok untuk berbagai kondisi masyarakat, termasuk masyarakat plural.”
Belum lagi, “Selama 12 abad, Khilafah membentang mulai dari Spanyol hingga Rusia, mencakup benua Eropa, Afrika, dan Asia. Tentu, budaya, pemikiran, etnis dan sebagainya sangat beragam. Khilafah mampu menyatukan keanekaragaman dengan tetap mempertahan-kan keragaman itu,” tegas saya.
Seorang mubalighah menyatakan, “Saya bertemu dengan banyak kiai dan mubalighah. Mereka sepakat dengan syariah Islam. Namun, ada sebagian yang alergi terhadap kata khilafah.”
Saya jawab, “Ustadzah, dalam kondisi sekarang ini tidak heran bila ada orang yang alergi dengan kata khilafah. Sebab, Barat terus-menerus menggambarkan Khilafah itu sesuatu yang buruk dan membahayakan. Padahal bila kita membuka kitab kuning yang ditulis oleh para ulama, kitab-kitab hadis, termasuk buku fikih asli Indonesia seperti tulisan Sulaiman Rasyid, di sana terdapat bahasan tentang Khilafah. Perlu penjelasan. Insya Allah, Allah yang akan menunjukkan siapa pun yang Dia kehendaki kepada kebenaran.”
Intinya, negara yang menerapkan Islam secara kâffah. Anda mau menamai khilafah, imaratul mukminin, atau lainnya, silakan saja.
Satu hal yang penting dicamkan, negeri Muslim terbesar ini sedang dalam bahaya; sedang meluncur ke jurang kehancuran akibat sekularisme yang mewujud dalam neoliberalis-me dan neoimperialisme. Indonesia, bahkan negeri-negeri Muslim lainnya, sedang dicengkeram oleh negara besar penjajah pimpinan AS. Kita harus membebaskan tanah umat Islam dari cengkeraman imperialis. Namun, negara-negara besar penjajah itu tak mungkin rela melepaskan cengkeramannya. Salah satu yang mereka lakukan adalah mengadu-domba antarsesama umat Islam. Politik belah bambu dilakukan. Sebagian umat Islam diinjak; dituduh radikal, garis keras, berbahaya, antikeragaman, dan karenanya layak dibubarkan. Umat Islam lain diangkat; disanjung, dinamai Islam damai, moderat, pluralis, dan karenanya didorong untuk mendukung pembubaran sesama organisasi Islam.
Satu sikap penting yang harus dimiliki: sesama Muslim adalah bersaudara. Aktivitas yang dilakukan oleh komponen umat Islam mana pun selama berpegang pada al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat, dan qiyas syar’iyyah insya Allah berkontribusi positif bagi kemuliaan Islam dan umatnya. Jangan sampai sesama umat Islam rela diadu domba. Sebab, yang pasti beruntung akibat hal tersebut adalah musuh Islam.
Dalam sejarah, ada orang yang diajak menerapkan Islam tidak mau. Justru menghalang-halanginya. Namun, dengan takdir Allah, suatu ketika mereka akan kembali pada ajaran Islam dan menyatu dengan umat Islam. Allah SWT berfirman (yang artinya): Jika dikatakan kepada mereka, “Marilah kamu (tunduk) pada hukum yang Allah telah turunkan dan pada hukum Rasul,” niscaya kamu melihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Bagaimanakah halnya jika mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.” Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (TQS An-Nisa [4]:61-63).
“Tapi, ada juga orang Islam yang termakan propaganda adu domba tersebut. Bahkan mereka menghalangi pengajian dan acara yang dilakukan oleh sesama umat Islam,” ungkap seorang tokoh Islam di Medan dengan nada geram.
Saya hanya katakan, “Kita perlu bersabar dan bersatu. Mereka adalah saudara kita, sesama Muslim. Insya Allah, suatu ketika Allah SWT akan menyatukan hati kita semua. Suatu ketika umat Rasulullah saw. akan bersatu padu.” [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]