HTI

Soal Jawab (Al Waie)

Benarkah Khilafah Ajaran Islam?


Soal:

Ada segelintir orang yang menyatakan Khilafah bukan ajaran Islam. Kata mereka, kerena Islam tidak menentukan bentuk negara. Benarkah demikian? Bahkan kemudian, Khilafah distigmatisasi dan dikriminalisasi.

 


Jawab:

Jika ada yang mengatakan bahwa Khilafah bukan ajaran Islam, maka orang ini boleh jadi bodoh tentang Islam. Pasalnya, adanya Khilafah dan kewajiban untuk menegakkan Khilafah merupakan perkara yang sudah ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah (bagian dari ajaran agama yang urgen). Bahkan kewajiban untuk menegakkan Khilafah disebut tâj al-furûdh (mahkota kewajiban], atau ahamm al-wâjibât (kewajiban yang paling penting).

Bagaimana tidak bodoh tentang Islam, jelas Khilafah merupakan institusi yang menggantikan nubuwwah (kenabian) dalam menjaga agama dan mengurus dunia. Nabi saw. dengan tegas menyatakan:

كَانَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ وَسَتَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ.

Dulu Bani Israil diurus oleh para nabi. Ketika seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi yang lain. Namun sungguh setelah aku tidak lagi ada nabi, yang ada adalah para khalifah (penggantiku). Jumlah mereka banyak (HR Muslim).

Para khulafa’ (jamak dari khalifah) adalah pengganti. Mereka menggantikan Nabi saw. bukan dalam konteks kerasulan dan kenabian, tetapi dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia, yang sebelumnya diurus oleh Nabi Muhammad saw. Karena itu Ibn Khaldun menyatakan:

خِلاَفَةٌ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَرِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ

(Khilafah itu) mengganti pemilik syariah dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.1

Ulama mazhab Syafii hampir semuanya sepakat tentang kedudukan Khilafah, yang keberadaannya untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia. Mereka mengatakan: 2

الإِمَامَةُ [الخِلاَفَةُ] مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا

Imamah (Khilafah) diadakan untuk menggantikan kenabian dalam menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.

Karena itu keberadaan Khilafah sangat vital dan merupakan perkara ma’lûm[un] min ad-dîn bi ad-dharûrah (bagian dari ajaran agama yang urgen). Begitu urgennya, sampai Imam al-Ghazali membuat analogi:

الدِّيْنُ وَالسُّلْطَانُ تَوْءَمَانِ..الدِّيْنُ أُسٌّ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ، فَمَا لاَ أُسَّ لَهُ مَهْدُوْمٌ، وَمَا لاَ حَارِسَ لَهُ فَضَائِعُ

Agama dan kekuasaan (Khilafah) adalah ibarat dua saudara kembar.. Agama adalah pondasi, sedangkan kekuasaan (Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi pasti runtuh. Sesuatu yang tidak mempunyai penjaga pasti akan hilang.

Karena itu semua ulama kaum Muslim dari berbagai mazhab sepakat tentang urgensi adanya Khilafah dan kewajiban untuk menegakkan Khilafah. Baik Ahlus Sunnah, Syiah, Khawarij, Murji’ah, Muktazilah maupun Jabariah; semuanya sepakat. Jika ada yang tidak sepakat, itu hanya satu-dua orang. Mereka disebut sekte ghullat (ekstrem) seperti an-Nadzam dan al-Fuwathi, dari sekte Muktazilah, serta al-Asham dan an-Najadat, dari sekte Khawarij. Mereka yang menolak Khilafah ini, oleh Imam al-Qurthubi, seperti sebutan beliau kepada al-Asham, disebut orang yang tuli tentang syariah.

Jika ada yang mengatakan, kalau memang Khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam, mengapa di dalam al-Quran tidak pernah disebut-sebut?

Jawabannya, jelas. Islam tidak hanya bersumber pada al-Quran, tetapi juga as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas. Keempat dalil ini merupakan sumber ajaran Islam dan dinyatakan sebagai dalil syariah. Secara qath’i keempatnya merupakan wahyu, bersumber dari wahyu, atau ditunjuk oleh wahyu.

Khilafah jelas telah dinyatakan dalam banyak Hadis Nabi saw. serta disepakati keberadaan dan kewajiban untuk menegakkannya oleh para sahabat. Al-Quran juga menyebutkan Khilafah dengan menggunakan dalâlah iltizâm. Sebagai contoh, Allah SWT berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوْكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ

Hendaknya kamu (Muhammad) memerintah mereka berdasarkan apa yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dan berhati-hatilah terhadap fitnah mereka yang bisa memalingkan kamu dari apa yang telah Allah turunkan kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 49).

Perintah “memerintah” dengan apa yang telah Allah SWT turunkan kepada Nabi saw. jelas membutuhkan institusi. Tanpa institusi untuk memerintah, perintah tersebut tidak bisa dilaksanakan. Karena itu Muhammad saw. dibaiat sebagai kepala Negara Islam, bukan sebagai nabi. Pasalnya, untuk menjadi nabi tidak membutuhkan baiat. Negara Islam yang didirikan oleh Nabi saw. inilah diteruskan oleh para sahabat. Negara inilah yang oleh Nabi saw. kemudian disebut Khilafah:

تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ…

Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian. Atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir).

Nabi saw. menyebut era Khilafah para sahabat sebagai Khilafah yang mengikuti metode kenabian karena mereka hanya melanjutkan, tidak ada yang mereka tambah atau mereka kurangi. Dengan kata lain, para sahabat yang menggantikan Nabi saw. untuk menjaga agama dan mengurus dunia ini tidak menyalahi tuntunan beliau. Hadis seperti ini bukan hanya satu, tetapi banyak. Tidak hanya al-Quran dan hadis, yang telah menjelaskan kedudukan Negara Islam (Khilafah) ini, tetapi juga Ijmak Sahabat.

Karena itu, menolak Khilafah sebagai ajaran Islam, berarti menolak apa yang dinyatakan oleh al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Penolakan seperti ini belum pernah dilakukan oleh ulama kaum Muslim pada masa lalu, kecuali mereka yang dianggap sekte menyimpang, sesat dan ekstrem. Pada zaman modern, Ali Abdurraziq, dengan kitab Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm, boleh disebut sebagai orang pertama yang menolak adanya Negara Islam (Khilafah) ini. Namun, penolakannya itu diganjar oleh Universitas al-Azhar dengan pencabutan semua ijazah dan gelarnya karena dianggap memalukan institusi al-Azhar.

Khilafah juga bukan sekadar nama (ism), tetapi juga mempunyai makna/konotasi (musamma) yang jelas dan desktiptif, antara lain: Khilafah adalah negara yang berbentuk kesatuan, bukan federasi, bukan uni, atau commenwealt. Khilafah menganut sistem pemerintahan yang unik; bukan kerajaan, presidentil maupun parlementer. Khilafah juga negara manusia, bukan negara tuhan sehingga bukan negara teokrasi, juga bukan negara demokrasi, autokrasi, diktator dan sejenisnya.

Karena itu, mengklaim penguasa kaum Muslim tertentu sebagai khalifah jelas keliru karena faktanya jelas bukan. Mengklaim pemimpin jamaah kaum Muslim sebagai khalifah juga keliru karena faktanya jelas bukan. Begitulah, Khilafah adalah ism (nama), yang mempunyai musamma (makna/konotasi) yang khas.

Setelah lebih dari 90 tahun, Khilafah ism wa musamma  telah hilang dari benak kaum Muslim, kini ia telah kembali lagi. Umat pun telah memiliki pemahaman yang jelas, jernih dan benar tentang Khilafah, sebagai ism wa musamma yang khas. Karena itu mereka tidak pernah mendukung proklamasi “Khilafah ISIS”. Upaya stigmatisasi Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah dengan “Khilafah ISIS” pun gagal total. Semua ini membuktikan bahwa pemahaman umat Islam tentang Khilafah tersebut telah kembali.

Bahkan kini Khilafah telah menjadi milik umat, bukan hanya kelompok tertentu. Ini tampak sebagaimana upaya penguasa untuk membubarkan organisasi tertentu, karena dianggap megusung Khilafah, akhirnya bukan hanya berhadapan dengan organisasi tersebut, tetapi harus berhadapan dengan umat, karena Khilafah telah menjadi milik umat. Organisasi ini pun telah diemban dan dijaga oleh umat. [KH. Hafidz Abdurrahman]

 

Catatan kaki:

1         Ibn Khaldun, Muqaddimah, Mesir, al-Azhariyyah, 1930 M, hlm. 159.

2         Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mesir, al-Wathan, 1298 H, hal. 3; ar-Ramli, Niyahatu al-Muhtaj, Syarah al-Minhaj, VII/389; al-Baidhawi, Mathali’ al-Andhar ‘ala Thawali’ al-Anwar, hlm. 228.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*