(Tafsir QS ‘an-Naba’ [79]: 6-16)
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا (6) وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا (7) وَخَلَقْنَاكُمْ أَزْوَاجًا (8) وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا (9) وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا (10) وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا (11) وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا (12) وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا (13) وَأَنْزَلْنَا مِنَ الْمُعْصِرَاتِ مَاءً ثَجَّاجًا (14) لِنُخْرِجَ بِهِ حَبًّا وَنَبَاتًا (15) وَجَنَّاتٍ أَلْفَافًا (16)
Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dan gunung-gunung sebagai pasak; Kami telah menjadikan kalian berpasang-pasangan; Kami telah menjadikan tidur kalian untuk istirahat; Kami telah menjadikan malam sebagai pakaian; Kami telah menjadikan siang untuk mencari penghidupan; Kami telah membangun di atas kalian tujuh buah (langit) yang kokoh; Kami telah menjadikan pelita yang amat terang (matahari); Kami telah menurunkan dari awan air yang banyak tercurah agar Kami menumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan serta kebun-kebun yang lebat (QS an-Naba‘ [79]: 6-16).
Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang sikap kaum musyrik yang meragukan dan mengingkari naba‘ ‘azhîm (berita besar). Menurut para mufassir, yang dimaksud dengan berita besar itu adalah Hari Kiamat. Lalu ditegaskan dalam berikutnya, bahwa mereka pasti akan mengetahui kebenaran berita itu.
Lalu dilanjutkan dalam ayat-ayat berikut yang menunjukkan kekuasaan Allah SWT di alam semesta. Semua itu menjadi bukti bahwa kejadiannya bukan mustahil. Jika Allah SWT berkuasa menciptakan semua itu, maka membuat semua berakhir dengan kiamat adalah lebih mudah bagi Diri-Nya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: ‘Alam Naj’al al-ardh mihâd[an] (Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?). Huruf hamzah pada awal ayat ini adalah istifhâm (kata tanya). Maknanya li at-taqrîr (untuk mengukuhkan). Ini merupakan permulaan penjelasan tentang kekuasaan Allah SWT untuk membangkitkan makhluk dengan menyebutkan sebagian keajaiban yang Dia ciptakan.1
Yang pertama kali disebutkan, bumi itu Allah SWT jadikan sebagai mihâd[an]. Menurut Qatadah, al-mihâd bermakna bisâth (hamparan, permadani). Imam al-Qurthubi dan asy-Syaukani memaknai kata itu dengan al-withâ‘ wa al-firâsy (sesuatu yang dihamparkan dan tempat tidur). Ini sebagaimana firman-Nya:
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا
Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 22).2
Menurut Ibnu Katsir, “Terhampar untuk semua makhluk, dibentangkan bagi mereka sehingga bumi menjadi tenang, diam dan stabil.”3
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa al-jibâla awtâd[an] (dan gunung-gunung sebagai pasak). Setelah disebutkan al-ardh (bumi), kemudian disebutkan al-jibâl. Kata al-jibâl merupakan bentuk jamak al-jabal yan berarti gunung. Adapun awtâd merupakan bentuk jamak dari kata watad (pasak, paku); sesuatu yang ditancapkan ke dalam tanah untuk mengikat tali kemah agar bisa berdiri.4 Menurut Fakhruddin ar-Razi, ada kata yang dihilang dalam ayat ini, yakni li al-ardh.5 Artinya, Allah SWT menjadikan gunung-gunung itu sebagai pasak atau paku bagi bumi sehingga ini menyempurnakan bumi. Pengertian itu pula yang diterangkan oleh para mufassir lain.
Menurut az-Zuhaili, gunung-gunung itu dijadikan sebagai awtâd (pasak-pasak) untuk mengokohkan bumi sebagaimana kemah dikokohkan dengan watad (pasak).6 Asy-Syaukani berkata, “Kami telah menjadikan gunung-gunung itu sebagai pasak bagi bumi agar stabil dan tidak bergerak-gerak seperti kemah-kemah yang dikokohkan dengan pasak yang ditancapkan.”7
Ibnu Katsir juga berkata, “Allah SWT telah menjadikan gunung-gunung itu sebagai pasak-pasak yang ditancapkan, ditetapkan dan dikokohkan hingga bumi itu tenang dan tidak berguncang oleh penghuni yang ada di atasnya.”8
Lalu disebutkan: Wa khlaqnâkum azwâj[an] (Kami telah menjadikan kalian berpasang-pasangan). Setelah menyebutkan bumi dan gunung, kemudian Allah SWT mengarahkan perhatian manusia kepada diri mereka; bahwa manusia Allah SWT jadikan azwâj[an]. Kata tersebut merupakan bentuk jamak dari kata az-zawj (pasangan). Menurut Imam al-Qurthubi, kata azwâj di sini bermakna ashnâf[an] (berjenis-jenis), yakni laki-laki dan perempuan.9 Dengan jenis yang berpasangan itu—yakni pria dan wanita—maka satu sama lain saling senang dan menghasilkan keturunan (Lihat: QS ar-Rum [30]: 21;10 QS al-Najm [53]: 45).
Ada juga yang menjelaskan bahwa termasuk di dalam cakupan makna ini adalah pasangan pada makhluk seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, dan sebagainya.11
Menurut Fakhruddin al-Razi, penafsiran ini seperti firman Allah SWT:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنا زَوْجَيْنِ
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan (QS adz-Dzariyat [51]: 49).
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wa ja’alnâ nawmakum subât[an] (Kami telah menjadikan tidur kalian untuk istirahat). Ayat ini masih menerangkan seputar apa yang dialami manusia, yakni tentang an-nawm atau tidur. Disebutkan bahwa Allah SWT telah menjadikan tidur sebagai subât[an]. Ibnu al-Anbari berkata, “Kami telah menjadikan tidur kalian untuk memutus perbuatan kalian. Sebab, pada asalnya kata as-sabt berarti al-qath; (memotong, memutus).”12 Menurut asy-Syaukani, “Istirahat bagi badan kalian.”13 Ibnu Katsir berkata, “Yakni, memotong gerakan untuk beristirahat dari berbagai kegiatan dan kerja mencari penghidupan di sepanjang hari.14
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa ja’alnâ al-layl libâs[an] (Kami telah menjadikan malam sebagai pakaian). Kemudian diterangkan tentang peristiwa yang dialami oleh manusia; bahkan oleh semua penduduk di muka bumi, yakni al-layl (malam). Kata al-layl menunjuk waktu sejak matahari terbenam hingga matahari terbit. Diterangkan bahwa malam itu dijadikan Allah SWT sebagai al-libâs. Menurut al-Qaffal, al-libâs adalah sesuatu yang dipakai manusia dan menutupi dirinya. Dengan demikian al-libâs menjadi penutup bagi dirinya.15
Ketika disebutkan bahwa malam hari dijadikan sebagai libâs (pakaian), maksudnya adalah ka al-libâs (seperti pakaian) dalam hal dapat menutupi, yakni sesuatu yang dipakai oleh seseorang untuk menutupi tubuhnya. Dengan demikian maksud ayat ini adalah Allah SWT telah menjadikan malam sebagai penutup yang menutupi orang yang ingin bersembunyi dengan kegelapannya.16 Selain itu keadaannya gelap dan hitam sehingga menutupi manusia, seperti disebutkan dalam QS al-Syams [91]: 4).17
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa ja’alnâ al-nahâr ma’âsy[an] (Kami telah menjadikan siang untuk mencari penghidupan). Jika malam dijadikan pakaian, siang dijadikan ma’âsya. Kata ma’âsy di sini bermakna waqt ma’âsy (waktu mencari penghidupan).18 Kata al-ma’âsy berarti al-‘aysy (penghidupan) dan segala sesuatu yang bisa dijadikan sebagai sandaran hidup. Dengan demikian ayat ini bermakna, “Sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan bagi mereka siang bersinar terang supaya dapat melakukan aktivitas mencari rezeki yang dibagikan Allah SWT kepada mereka.”19
Menurut Ibnu Katsir, Allah SWT telah menjadikan siang hari cerah, terang dan bercahaya agar manusia pulang dan pergi mencari penghidupan, berniaga, dan lain-lain.20
Lalu Allah SWT berfirman: Wa Banaynâ fawqakum sab’[an] syidâd[an] (Kami telah membangun di atas kalian tujuh buah [langit] yang kokoh). Yang dimaksud dengan sab’[an] syidâd[an] adalah tujuh langit.21 Syidâd merupakan jamak dari syadîd yang berarti muhkamah qawiyyah al-khalqi (ciptaan yang kokoh dan kuat), tidak berubah dengan berjalannya waktu.22
Menurut asy-Syaukani, langit merupakan ciptaan yang kuat dan bangunan yang teliti. Oleh karena itu langit disifati dengan kata asy-syiddah (kuat, kokoh). Ketebalannya masing-masing lima ratus tahun perjalanan sebagaimana diberitakan dalam al-Hadis.23
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa ja’alnâ sirâj[an] wahâj[an] (Kami telah menjadikan pelita yang amat terang [matahari]). Kata sirâj berarti sesuatu menerangi dan bercahaya. Hâj berarti yang menyala-nyala dan berkilauan. Yang dimaksud adalah matahari.24Allah SWT menjadikan matahari yang menerangi seluruh dunia dengan sinarnya yang menyinari seluruh penghuni bumi.25 Ditegaskan dalam ayat ini bahwa Allah SWT-lah Yang menjadikan matahari tersebut.
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa anzalnâ min al-mu’shirât mâ‘a[n] tsajjâj[an] (Kami telah menurunkan dari awan air yang banyak tercurah). Pengertian al-mu’shirât adalah as-sahâb (awan). Demikian menurut Ikrimah, Abu al-Aliyah, adh-Dhahhak, al-Hasan, Rabi’ bin Anas, dan lain-lain.26
Asy-Syaukani berkata, “Al-Mu’shirât adalah awan yang menyimpan air, namun hujan belum turun.”27
Menurut az-Zuhaili, “Awan dan mendung yang sudah waktunya menurunkan hujan, lantas hujan pun turun.”28
Dari awan tersebut lalu diturunkan mâ‘[an] tsajjâj[an]. Kata mâ‘ berarti air. Adapun tasjjâj[an], menurut Mujahid, Qatadah dan Rabi‘ bin Anas, berarti munshabb]an] (tertumpah, tercurah). At-Tsauri menafsirkan kata itu dengan mutatâbi’ân (berturut-turut). Adapun menurut Ibnu Zaid bermakna: katsîr (banyak).29
Dengan demikian ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan hujan yang sangat lebat dari awan dan mendung.
Selanjutnya Allah SWT berfirman: linukhrija bihi habb[an] wanabât[an] (agar Kami menumbuhkan dengan air itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan). Dengan air yang turun dari hujan itu, Allah SWT menumbuhkan habb[an] (biji-bijian), gandum, dan sebagainya; juga nabât[an].30 Menurut asy-Syaukani, itu adalah semua yang dimakan oleh hewan, seperti rumput dan semua tumbuhan lainnya.31
Disebutkan pula: wa Jannât alfâf[an] (serta kebun-kebun yang lebat). Selain biji-bijian, ditumbuhkan pula jannât alfâf[an] (kebun yang lebat). Menurut asy-Syaukani, itu adalah kebun yang antara satu pohon dengan pohon lainnya saling melilit karena lebatnya cabang-cabangnya.32
Bukti Kepastian Kiamat
Menurut akal manusia yang sempit, kedatangan Hari Kiamat beserta berbagai kejadian yang menyertai Hari Kiamat dianggap mustahil. Demikian pula saat manusia dibangkitkan kembali pada hari itu, diperlihatkan seluruh amalnya, dilakukan hisab atas semua amalnya, serta diberikan balasan berupa surga dan neraka. Semua itu sulit diterima akal.
Akan tetapi, semua pengingkaran akal itu menjadi runtuh tatkala semua itu dikaitkan dengan kekuasaan Allah SWT. Sebagai Zat Yang Mahakuasa, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ketika Dia menghendaki, terjadilah apa yang Dia kehendaki.
Ayat-ayat ini itu pun mengerahkan pandangan manusia pada berbagai realitas di sekitar manusia, yang semuanya itu menunjukkan kekuasaan Allah SWT. Bumi yang amat besar Allah SWT jadikan hamparan luas yang amat nyaman ditempati oleh manusia. Gunung-gunung yang menjulang tinggi Allah SWT jadikan sebagai pasak-pasak yang mengokohkan bumi. Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan. Allah SWT menjadikan tidur sebagai kesempatan untuk istirahat manusia; malam hari sebagai penutup; siang hari sebagai waktu untuk bekerja dan beraktivitas. Allah SWT pula yang membangun langit yang seolah menjadi atas sebanyak tujuh tingkat. Allah SWT pun mencipatkan matahari sebagai penerang dunia. Dengan itu terjadi siang dan malam. Allah SWT juga menurunkan hujan dari langit, yang dengan itu tumbuh berbagai pohon dan tanam yang amat berguna bagi manusia dan hewan ternak.
Semua realitas itu menunjukkan besarnya kekuasaan Allah SWT. Jika Allah SWT mampu menjadikan itu semua, tentu amat mudah pula bagi Allah Swt mendatangkan kiamat beserta semua kejadian yang mengiring kiamat. Amat mudah bagi Allah SWT menghidupkan kembali manusia yang sudah mati seperti sediakala, memperlihatkan semua amal mereka, memberikan balasan terhadap mereka dengan adil, dan berbagai kejadian lain pada Hari Kiamat. Sungguh, sebuah kepicikan sekaligus kesombongan manusia tatkala mengingkari kedatangan Hari Kiamat. Wajarlah jika mereka mendapatkan hukuman yang amat pedih. Semoga kita dijauhkan dari semua itu.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1998), 8.
2 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 171; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439; al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 15, 201.
3 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 302.
4 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Beirut: Dar al-Fikr al-Muashir, 1998), 8.
5 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turtas al-‘Arabi, 1420 H), 8.
6 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 8.
7 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
8 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 302.
9 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 171; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 302.
11 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 302.
12 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 685; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 9.
13 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 302-303.
15 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 9.
16 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 8.
17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 303.
18 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 685; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
19 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439
20 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 303.
21 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 685; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 303.
22 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 685.
23 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
24 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 8; al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 686. Bahwa yang dimaksud denganny adalah matahari juga disebutkan dalam al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
25 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 303.
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 303.
27 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
28 Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30, 8.
29 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 303.
30 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
31 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.
32 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 439.