Khilafah—isim fâ’il-nya Khalifah—adalah terminologi yang sangat akrab dengan kaum Muslim di negeri ini. Apalagi pada setiap malam bulan Ramadhan, mayoritas kaum Muslim selalu menyebut-nyebut dan mengingat istilah itu. Tentu karena Khilafah adalah ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya. Kaum Muslim setelah Rasulullah saw. wafat lebih dari 1000 tahun hidup sejahtera dalam naungan Khilafah.
Tanggal 3 Maret 1924, Barat kemudian meruntuhkan institusi Khilafah Utsmani di Tukri lewat tangan Musthafa Kemal Attaturk. Kaum Muslim kemudian kehilangan perisai umat tersebut. Negeri Islam kemudian dikerat-kerat seiring dengan berlangsungnya penjajahan.
Meski kemudian negeri-negeri Islam itu merdeka secara fisik, imperialisme tidaklah berhenti. Penjajahan kemudian berubah bentuk antara lain menjadi penjajahan pemikiran. Penjajahan pemikiran tersebut berlangsung hingga sekarang, termasuk penjajahan terminologi. Terminologi Khilafah, misalnya, sedemikian rupa dimonsterisasi. Akibatnya, syariah Islam yang tegak dengan sistem Khilafah menjadi momok yang sangat menakutkan.
Musuh Sejati Umat Islam
Syariah dan Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Islam dan rangkaian ajaran syariahnya, termasuk Khilafah, bukanlah musuh negeri ini. Musuh sejati negara saat ini adalah Kapitalisme-Liberalisme. Inilah yang secara nyata semakin memperpuruk kehidupan bangsa.
Liberalisme-Kapitalisme menjadikan sistem ekonomi di negeri ini secara nyata mengikuti paham neo-liberalisme. Paham ini meniscayakan pengurangan peran negara dalam sektor ekonomi. Bahkan negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu (korporat) yang sangat diperlukan untuk memicu pertumbuhan ekonomi.
Pengurangan peran negara di sektor ekonomi tersebut melalui privatisasi sektor publik, pencabutan subsidi komoditas strategis yang menjadi hajat hidup masyarakat, penghilangan hak-hak istimewa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) melalui ketentuan perundang-undangan, yang menyamadudukkan BUMN dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta).
Neo-liberalisme sejatinya merupakan upaya pelumpuhan peran negara untuk mencapai negara korporasi (corporate state), yaitu ketika negara dihela oleh persekutuan jahat politikus dengan pengusaha. Keputusan-keputusan politik yang diambil akhirnya tidak lagi berpihak kepada rakyat, namun untuk kepentingan segelintir pengusaha swasta, domestik maupun asing.
Dampak buruk dari sistem perekonomian demikian ini sangat nyata terasa. Kenaikan TDL (tariff dasar listrik) baru-baru ini sungguh akibat nyata dari diterapkannya faham neo-liberalisme di sektor listrik. Salamudin Daeng (AEPI) menyebutkan proyek yang dijalankan dalam pengelolaan listrik ini adalah dengan skema Publik Private Partnership (PPP). Maknanya, negara bekerjasama atau menyerahkan pengelolaan listrik kepada pebisnis yang notabene mereka juga adalah elit penguasa. Model proyeknya Engineering Procerement and Constuction (EPC) yang dibiayai dengan utang luar negeri melalui APBN dan utang PLN. Dengan demikian proyek listrik merupakan lahan subur dalam mengeruk uang, termasuk lahan subur untuk korupsi.
Akibat dari pengelolaan listrik seperti ini, TDL di era Presiden Jokowi naik hingga 100%. Rakyat menjerit. Industri merintih tertatih-tatih. Perusahaan kecil-menengah sekarat karena tidak mampu menahan beban kenaikan listrik. Akibat berikutnya, kemiskinan semakin tinggi; kesenjangan sosial semakin lebar; sensitifitas masyarakat meninggi, masyarakat mudah sekali terpropokasi. Kondisi ini jelas-jelas mengancam keutuhan NKRI.
Khilafah Ajaran Islam
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna Khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Kata khilâfah banyak dinyatakan dalam hadis, di antaranya:
إنَّ أَوَّلَ دِيْنِكُمْ بَدَأَ نُبُوَّةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَرَحْمَةً
Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada Khilafah dan rahmat (HR al-Bazzar).
Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُم الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam. Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”
Karena itu Khilafah adalah ajaran Islam. Mewujudkan eksistensinya adalah sebagai kewajiban layaknya kewajiabn lain dalam syariah Islam. Bahkan keberadaan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkoka kewajiban)”. Jika Khilafah hilang, banyak hukum-hukum Islam terabaikan.
Karena itu Khilafah sangat tidak layak dijadikan sebagai obyek yang menyeramkan atau obyek kriminalisasi. H. Mohammad Syamlan (Wagub Bengkulu 2005-2010/Dewan Penasehat MUI Bengkulu) mengungkapkan, “Kalau Khilafah ditolak, hapus saja itu Bab Khilafah dalam kitab-kitab fikih.”
Dalam Kitab fikih yang terbilang sederhana—namun sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantumka bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.
Tahun 2015, ada penelitian Balitbang Diklat Kemenag yang dimuat di situs Balitbang Diklat Kemenag tertanggal 23 Juli 2015 dengan titel, “Perlukah Risaukan Gerakan Keagamaan Transnasional di Indonesia?” Dengan tegas penelitian itu menyatakan bahwa gerakan keagamaan transnasional, termasuk HTI, tidaklah membahayakan atau mengancam NKRI. Menurut penelitian ini, HTI meskipun mewacanakan Khilafah, harus dimaknai agar umat Islam memiliki solidaritas yang tinggi terhadap umat Islam di manapun berada sebagaimana ajaran Islam bahwa umat Islam itu bersaudara.”
Khilafah adalah Solusi
Indonesia dan dunia saat ini dililit oleh berbagai persoalan: kemiskinan dan kesenjangan antara kaya dan miskin, politik yang opurtunis, hukum yang tebang pilih sehingga sulit diraih keadilan, budaya yang semakin permisif, pendidikan dan kesehatan yang samakin mahal, serta kehidupan sosial kemasyarakatan yang semakin semraut.
Di bidang ekonomi, misalnya, ada mega-skandal korupsi yang merugikan kas Negara seperti BLBI (Rp 3,7 trilyun), Bank Century (Rp 7.4 trilyun), Korupsi E-KTP (Rp 2.3 trilyun), pembangunan Gedung Olahraga Hambalang (Rp 464 milyar), simulator SIM (Rp 121 milyar). Dengan apa semua ini terselesaikan?
Perampasan kekayaan alam oleh asing seperti tambang emas Papua oleh PT. Freeport, Tambang Geothermal di Jawa Barat oleh PT. Chevron, Tambang Batu bara di Kalimantan, tambang minyak bumi dibanyak tempat, tambang nikel di Sulawesi, dan lain sebagainya. Bisakah perangkat sistem yang ada saat ini memberikan solusi?
Alih-alih sistem ini menyelesaikan persoalan itu semua. Yang ada, BUMN semakin dikuasai oleh asing. Sebut saja saham PT Indosat Tbk (65% Qatar Telecom, Norwegia 5,38%, Pemerintah 14,29%, dan public 15,33%). PT Telkom (35% sudah dikuasai Singapura, 65% Telkom).
Belum lagi dengan utang luar negeri yang semakin membengkak. Nilai utang Pemerintah hingga akhir bulan Maret 2017 naik Rp 60,63 trilyun. Dari posisi akhir Februari 2017 sebesar Rp 3.589,12 triliun. Sejak NKRI merdeka, utang tersebut semakin membengkak dan mustahil diselesaikan dengan sistem yang ada.
Di tengah persoalan bangsa dan dunia seperti inilah syariah Islam dengan sistem Khilafah menjadi satu-satunya solusi yang sangat strategis. Sebalikinya, ideologi Sosialis-komunis dan Kapitalis terbukti telah gagal memimpin dunia.
Solusi syariah Islam atas pesoalan ini dari awal berbeda dengan prinsip ekonomi neo-liberalisme (kebebasan). Islam membagi kepemilikan ekonomi menjadi tiga: kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Kekayaan alam berupa gas, tambang dan aset hajat hidup orang bayak (seperti laut dan sungai) adalah aset milik umum, yang tidak boleh dimiliki negara atau individu. Rasul saw. bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air dan api (HR Ibn Majah dan Abu Dawud).
Sistem Khilafah adalah sistem yang menjadi bingkai untuk menerapkan seluruh syariah Islam sebagai solusi berbagai persoalan kehidupan; mulai dari ekonomi, politik, sistem peradilan, sistem pendidikan, kesehatan, sistem sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.
Ijmak Ulama Tentang Khilafah
Kewajiban menegakkan Khilafah ini telah menjadi ijmak para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Imam al-Qurthubi menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah) dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).
Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, 12/205).
Imam al-Ghazali menyatakan, “Kekuasaan itu penting demi keteraturan agama dan keteraturan dunia. Keteratuan dunia penting demi keteraturan agama. Keteraturan agama penting demi keberhasilan mencapai kebahagiaan akhirat. Itulah tujuan yang pasti dari para nabi. Karena itu kewajiban adanya Imam (Khalifah) termasuk hal-hal yang penting dalam syariah yang tak ada jalan untuk ditinggalkan. (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 99).
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyatakan, “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa wajib hukumnya mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).
Imam al-Mawardi menyatakan, “Melakukan akad Imamah (Khalifah) bagi orang yang (mampu) melakukannya hukumnya wajib berdasarkan ijmak meskipun al-‘Asham menyalahi mereka” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyyah, hlm. 5).
Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Ketahuilah juga, para sahabat Nabi saw. telah sepakat bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan itu sebagai kewajiban terpenting karena mereka telah menyibukkan diri dengan hal itu dari menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17).
Imam asy-Syaukani menyatakan, “Mayoritas ulama berpendapat Imamah (Khilafah) itu wajib. Menurut ‘Itrah (Ahlul Bait), mayoritas Muktazilah dan Asy’ariyah, Imamah (Khilafah) itu wajib menurut syariah (Asy-Syaulani, Nayl al-Awthâr, VIII/265).
Pendapat para ulama tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll). [Luthfi Hidayat]