HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Khilafah: Kebaikan, Bukan Ancaman


Perbincangan seputar Khilafah kini memenuhi ruang publik. Hal itu dipicu oleh pernyataan Menko Polhukam Wiranto terkait rencana Pemerintah untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut Wiranto (Kompas.com, 12/05/17), kegiatan yang selama ini dijalankan oleh HTI berpotensi mengancam kedaulatan politik negara. Hal itu menjadi dasar bagi Pemerintah untuk mengambil langkah pembubaran HTI. Ideologi Khilafah yang selama ini diusung oleh HTI, kata Wiranto, secara jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Pernyataan Wiranto ini kontan mendapat respon luar biasa di masyarakat. Dukungan terhadap HTI terus mengalir dari tokoh ulama, akademisi, advokat, ormas Islam, dan sebagainya. Besarnya dukungan tersebut mungkin di luar dugaan Wiranto. Seperti yang dikutip oleh Tribunnews.com (16/05/17), Wiranto mengatakan, “Saya sungguh prihatin tatkala tren untuk bela membela ini muncul sehingga terjadi benturan di masyarakat dan itu tidak betul.

Keprihatinan Wiranto ini menunjukkan kekagetannya terhadap sikap umat Islam yang ternyata sangat kuat membela HTI. Tentu perbincangan terbuka terkait Khilafah ini bisa menjadi sarana uji publik untuk lebih mengetahui realitas dan esensi Khilafah.

 

Khilafah Bukan Ancaman

Tuduhan bahwa syariah dan Khilafah adalah ancaman sesungguhnya bagian dari penyesatan politik dan upaya memalingkan umat dari ancaman sebenarnya. Perang Salib yang berkepanjangan telah memberikan inspirasi bagi Barat, bahwa kaum Muslim tidak mungkin dikalahkan secara fisik sebelum mereka dilumpuhkan secara pemikiran. Barat lalu melakukan ghazwul-fikri (perang pemikiran) dan membuat berbagai propaganda negatif terhadap ideologi Islam. Perang peradaban antara Islam dan Kapitalisme ini sebenarnya merupakan sebuah keniscayaan yang mesti terjadi sebagaimana diramalkan oleh Huntington dalam bukunya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

Khilafah merupakan entitas politik yang akan menerapkan syariah Islam secara kâffah. Artinya, melalui Khilafah inilah ideologi Islam akan eksis secara politis dan praktis. Dalam kacamata perang peradaban tentu keberadaan Khilafah semacam itu sangat tidak diinginkan oleh Barat di bawah pimpinan Amerika dan sekutunya. Mereka akan menghadang setiap upaya yang dapat mengantarkan pada tegaknya syariah Islam dalam institusi Khilafah. Salah satu caranya adalah mengkriminalisasi syariah dan Khilafah dengan cara monsterizing (monsterisasi), labelling dan stigmatisasi.

Padahal secara faktual ideologi Kapitalismelah yang harus didudukkan sebagai ancaman. Faktanya, hasil penerapan ideologi ini telah terbukti menyengsarakan masyarakat dunia. Dana Moneter Internasional/IMF bahkan turut mengakui bahwa Kapitalisme telah gagal untuk mensejahterakan dunia. Menurut laporan Oxfam pada awal tahun lalu, krisis kesenjangan global mencapai titik ekstrim. Sebesar 1% orang kaya di dunia memiliki kekayaan yang setara dengan semua penduduk dunia ini jika digabungkan (Oxfam.org, 18/01/16).

 

Esensi Utama Khilafah

Sangat aneh kalau ada elemen umat Islam yang menolak dan menentang Khilafah. Pasalnya, Khilafah adalah ajaran Islam dan kewajiban syar’i untuk mewujudkannya. Para ulama bahkan menyebut kewajiban menegakkan khilafah sebagai tâj al-furûdh (mahkota kewajiban). Khilafah, sebagaimana dijelaskan oleh ulama (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukmi fî al-Islâm, 2002: 34), adalah: Kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Berdasarkan definisi ini, ada tiga esensi utama Khilafah. Pertama: Mewujudkan ukhuwah. Dengan Khilafah akan terwujud ukhuwah umat Islam sedunia secara nyata dalam kehidupan. Umat Islam memiliki akidah dan syariah yang sama sehingga digambarkan oleh Rasulullah saw. bagaikan satu tubuh. Jika ada bagian yang sakit, seluruh tubuhikut merasakannya. Ukhuwah yang demikian kuat itu akan dapat diwujudkan secara nyata ketika ada yang menyatukan umat dalam satu negara, yakni Khilafah.

Menurut Abdul Qadir Audah, Islam menjadikan kaum Muslim sebagai umat yang satu, menyatukan mereka dalam satu negara, memberikan satu imam bagi mereka guna memerintah negara yang satu, dan umat yang satu tersebut bertugas menegakkan Islam dan mengendalikan berbagai urusannya dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Islam (Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyyah, 1981: 278).

Kedua: Melaksanakan syariah. Tugas utama Khilafah adalah menegakkan hukum syariah Islam. Memang ada sebagian hukum syariah yang dapat dan harus dijalankan oleh individu. Namun, tidak sedikit hukum syariah yang hanya bisa dijalankan oleh negara. Dengan demikian esensi Khilafah adalah penegakan syariah secara kâffah. Ketika itu terjadi, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan terwujud dalam kehidupan (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah SWT itu akan terwujud melalui penerapan syariah di bawah sistem Khilafah. Karena itu Khilafah akan membawa kebaikan untuk negeri ini dan penduduknya, Muslim dan non-Muslim.

Ketiga: Mengemban dakwah. Tugas Khilafah lainnya adalah mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Dengan Khilafah Islam dapat tersebar luas di berbagai penjuru dunia dengan cepat. Sejarah telah membuktikan realitas tersebut. Selama 13 tahun Rasulullah saw. berdakwah di Makkah, hanya sedikit penduduknya yang masuk Islam. Namun, setelah Rasulullah saw. hijrah ke Madinah dan berhasil membangun Daulah Islam, seluruh Jazirah Arab bisa dikuasai dan penduduknya berbondong-bondong masuk Islam.

Tugas mengemban dakwah Islam ini terus dilanjutkan oleh para khalifah sesudah Rasullah saw. Berkat dakwah mereka, Islam bisa tersebar luas di dunia, termasuk sampai ke negeri ini. Sebagian dari para ulama yang disebut Walisongo adalah utusan Khalifah yang dikirim untuk berdakwah ke negeri ini. Kesultanan Samudera Pasai, Mataram, Cirebon, Banten, Demak, serta kesultanan lainnya di kawasan Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku merupakan bukti bahwa dakwah Islam melalui Khilafah telah mempengaruhi perkembangan sosial politik di negeri ini.

 

Khilafah: Kebaikan untuk Indonesia

Tiga esensi utama Khilafah tersebut—ukhuwah, syariah dan dakwah—akan memberikan kebaikan dan keberkahan bagi dunia termasuk negeri Indonesia ini. Sebaliknya, tanpa Khilafah dunia saat ini justru menderita dalam cengkeraman kerakusan Kapitalisme global. Sebagai contoh beberapa kebaikan yang akan diperoleh negeri ini dengan adanya Khilafah. Pertama: Terjaminnya kesejahteraan rakyat. Salah satu tanggung jawab utama Khalifah berdasarkan syariah adalah menjamin kebutuhan pokok rakyat. Dananya diperoleh di antaranya dari hasil pengelolaan kekayaan alam oleh negara. Karena itu syariah telah melarang memberikan kekayaan alam kepada asing dan swasta. Namun faktanya, akibat diterapkan Kapitalisme, kekayaan alam di negeri ini justru dikuasai oleh asing.

Indonesia saat ini memiliki 263 blok minyak bumi dan gas bumi (migas), 79 blok di antaranya sudah produksi. Dari 79 blok tersebut sekitar 55 blok migas (70%) dikelola oleh perusahaan migas asing berskala global. Di antaranya yang besar adalah Chevron, Total, Inpex, ExxonMobil, Petronas, Petrochina, CNOOC, Santos, British Petroleum, Hess, dan Stat Oil. Kuatnya penguasaan asing dalam industri migas tersebut tidak terlepas dari pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2001 yang menjadi dasar privatisasi dan liberalisasi di tingkat hulu dan hilir industri migas di Indonesia.

Akibatnya, kekayaan alam yang besar di negeri ini hanya dinikmati oleh pihak asing, sementara rakyat jatuh dalam kemiskinan. Mengacu pada data yang dirilis BPS bahwa jumlah kemiskinan per September 2016 mencapai 27,76 juta atau 10,7% dari total penduduk.

Negara pun dililit utang yang sudah mencapai tingkat mengkhawatirkan. Sebagaimana yang dilaporkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat hingga Februari 2017 sebesar Rp 3.589,12 triliun. Jumlah utang ini naik 1,13 persen senilai Rp 39,95 triliun dibanding total outstanding utang Rp 3.549,17 triliun di Januari 2017.

Kedua: Terjaminnya keamanan rakyat dalam sistem sosial yang baik. Penerapan hukum syariah yang berbasis pada akidah akan memberikan pengaruh untuk meningkatkan ketakwaan individu. Hal ini akan mendorong setiap individu untuk menjauhi berbagai perbuatan keji dan munkar. Khilafah hadir sebagai penjaga dan penegak hukum syariah ini, termasuk pula memberikan hukuman berupa ‘uqûbat dan ta’zîr bagi siapa saja yang menyimpang dan melanggar.

Sebaliknya, sistem Kapitalisme-Liberalisme justru menyuburkan berbagai kejahatan dan kemunkaran. Seperti yang dilaporkan oleh news.detik.com (30/12/2016) pada tahun 2016, setiap 12 menit 18 detik terdapat satu kasus kejahatan yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Dari 43.149 kasus kriminalitas yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya, terdapat kasus-kasus menonjol yang mengalami peningkatan selama tahun 2016 lalu. Salah satunya adalah kejahatan perampokan yang mengalami kenaikan 12 persen dari tahun sebelumnya. Kasus lainnya adalah kasus perkosaan naik 6 persen, dan kenakalan remaja seperti tawuran naik 400 persen.

Ketiga: Terjaganya integrasi dan kedaulatan negara. Salah satu hukum syariah yang akan diterapkan oleh Khilafah adalah haramnya disintegrasi. Sebab, hal tersebut bertentangan dengan konsep ukhuwah yang menjadi salah satu esensi Khilafah. Bandingkan dengan upaya negara-negara Barat, khususnya Amerika, yang justru sering mendukung isu separatisme di negeri-negeri Islam. Konflik separatisme di Yaman, kasus lepasnya Timor Timur dari Indonesia, dan isu separatisme di Papua tidak dapat dilepaskan dari peran negara asing di dalamya.

Berita yang dipublikasikan jaringan media Fairfax dan The Canberra Times (13/8/2011) menyebutkan tentang laporan rahasia mengenai kelompok separatis Papua. Laporan yang bertajuk Anatomy of Papuan Separatis itu mengungkap sejumlah nama politisi, akademisi, wartawan, pekerja sosial dan pemimpin agama dari seluruh dunia yang menyokong gerakan separatisme di Papua. Di antara mereka ada Senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Agung Desmond Tutu, anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh Andrew Smith serta mantan pemimpin Papua Nugini Michael Somare.

Kini bahkan muncul opini Minahasa Merdeka. Seperti yang dikutip Jpnn.com (15/05/17) bahwa keinginan mendirikan Minahasa Raya Merdeka bergema di tengah aksi bela terdakwa penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama di Manado.  Bahkan di salah satu akun di facebook bernama Minahasaland telah menyatakan akan segera mendeklarasikan Minahasa Merdeka lengkap dengan benderanya yang berwarna merah biru ditaburi sembilan bintang. Namun sayang, aparat pemerintah pusat dan daerah cenderung mendiamkannya padahal kasus tersebut sudah jelas-jelas merupakan tindakan makar.

 

Penutup

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dipahami bahwa ancaman sesungguhnya bagi negeri ini adalah sistem Kapitalisme-Liberalisme. Ini karena berbagai kerusakan di bidang ekonomi, hukum, sosial dan politik yang terjadi di negeri ini bersumber pada penerapan sistem Kapitalisme ini. Apabila kita peduli untuk melepaskan negeri ini dari berbagai persoalan ancaman tersebut, kita harus memilih sistem yang baik dan benar. Itulah syariah Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah. Keberadaan syariah sebagai rahmat adalah natîjah (hasil) dari syariah yang diterapkan. Konsekuensinya, syariah hanya akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin manakala diterapkan secara keseluruhan (kâffah).

Sebagai catatan akhir, marilah merenungkan ayat ini:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّـهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Dr. M. Kusman Sadik; Penulis adalah Ketua Lajnah Khusus Intelektual DPP HTI.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*