HTI

Nisa' (Al Waie)

Khilafah Menjamin Kemuliaan Perempuan


Sejarah Kekhilafahan Islam sepanjang hampir 14 abad, banyak mencatat kegemilangan peran perempuan; dari kecerdasan para perawi hadist dan ulamanya sampai para ibu dari tokoh-tokoh besar.  Bahkan salah satu guru Imam Syafii adalah  seorang perempuan, Sayyidah Nafisah.

Pada masa Kekhilafahan Islam, perempuan diposisikan sangat mulia sesuai tuntunan syariah.  Rasulullah saw. pernah mengusir Yahudi Bani Qainuqa dari Madinah  karena menyingkapkan aurat seorang Muslimah dan membunuh seorang Muslim yang membela dia. Khalifah al-Mu’tashim Billah mengirimkan ratusan ribu pasukan menaklukkan Kota Ammuriyah (sekarang Ankara) karena prajurit Romawi melecehkan seorang Muslimah di sana.

Islam menggariskan bahwa peran utama seorang perempuan adalah sebagai umm[un] wa rabbatu bayt (ibu dan pengatur rumah). Islam menjadikan mereka sebagai ibu dan pengatur rumah yang cerdas dan berkualitas. Pendidikan kaum perempuan dijamin Islam saat peradaban lain justru tengah merendahkan mereka. Bahkan Khilafah memiliki perguruan tinggi khusus perempuan yang kualitasnya diakui dunia.  Ini ditunjukkan ketika Raja Inggris George II mengirimkan putri saudaranya, seorang gubernur wanita Dubanit, juga kepala kabinetnya sebagai pimpinan rombongan ilmiah yang terdiri dari 18 pemudi dari putri-putri para pembesar menuju Andalus. Mereka mempelajari aturan-aturan kenegaraan, hukum dan adab-adab perilaku Islam serta segala sesuatu yang berkenaan dengan pendidikan kepada kaum perempuan. Mereka sekaligu mengambil manfaat dari peradaban serta produk-produk Islam pada masa Khalifah Hisyam III (Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil, Lamhah min Târîkh ad-Da’wah).

Khilafah pun memberikan jaminan bagi perempuan di ruang publik.  Sebagai contoh, Prof. Nila Sari, guru besar pada Fakultas Kedokteran Cerrahpahsa Universitas Istanbul Turki, dalam sebuah penelitiannya mengungkapkan bahwa pada era Kekhalifahan Turki Utsmani sudah mulai banyak perempuan yang berprofesi sebagai dokter. Mereka sudah berpraktik baik di dalam maupun Istana Kekhilafahan.

Namun, zaman berubah.  Umat Islam terpuruk setelah Khilafah runtuh tahun 1924  karena lemahnya pemahaman dan keterikatan umat terhadap syariah.  Seiring dengan semakin jauhnya Islam dari penerapannya, nasib perempuan pun berubah.  Lihatlah bagaimana nasib tragis yang  dialami Fadila Rahmatika, tenaga kerja wanita asal Dukuh Blimbing, Desa Sukorejo, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo.  Selama sepuluh bulan menjadi TKW di Singapura, gadis ini menjadi korban penyiksaan dengan dipukuli dan disetrika hingga akhirnya dibuang ke Batam oleh majikannya (Kompas.com, 04/01/2017).

Fadila bukan satu-satunya.  Banyak TKW yang mengalami nasib serupa, bahkan tak jarang sampai rumah sudah menjadi mayat.  Namun, karena kondisi ekonomi yang serba sulit, sering membuat perempuan tak punya pilihan selain mempertaruhkan nasibnya di negeri orang.

Rasa pilu merayapi hati kita setiap membaca kisah perempuan-perempuan yang terpaksa harus bekerja keras mencari nafkah.  Ibu-ibu pemecah batu di Banjarnegara harus menggendong 50-60 kg batu turun naik bukit 25 kali sehari demi uang 110 ribu per 12 hari.  Nenek-nenek buruh gendong di Pasar Beringharjo Yogyakarta setiap harinya bisa menggendong sampai 40-50 kg beban dengan upah yang tak memadai. Masih banyak lagi perempuan yang terpaksa membanting tulang untuk sekadar bertahan hidup.

Perempuan saat ini telah menjadi korban Kapitalisme yang diterapkan penguasa.  Sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan riba dan privatisasi sumberdaya alam sebagai pilarnya  telah menghalangi orang-orang yang lemah mengakses kekayaan yang beredar di masyarakat.  Sistem ini telah menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara kelompok miskin dan kaya.  Lembaga Oxfam menyebutkan harta total empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Dalam sistem Kapitalisme, perempuan dipaksa menyandang beban ganda dari peran ganda yang mereka mainkan.  Perempuan pun masuk jebakan Kapitalisme.  Kaum kapitalis mendapatkan tenaga kerja yang bisa dibayar murah.  Mereka juga menemukan obyek eksploitasi yang bisa mendatangkan keuntungan besar. Lalu dijadikanlah perempuan sebagai alat pemuas nafsu, alat melariskan dagangan, alat memperoleh keuntungan dan alat untuk membeli banyak kepentingan.

Nasib perempuan kian menyedihkan saat mereka juga menjadi sasaran kejahatan yang utama. Perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan perempuan semakin sering menjadi berita utama di berbagai media massa.

 

Salah Paham

Kodrat perempuan adalah menjadi ibu yang menyayangi dan selalu mendampingi anak-anaknya.  Ia bahagia dicintai dan dibutuhkan anak-anak.  Ia mendidik dan menempa anak-anak untuk menghadapi hidup.  Mendidik anak semacam ini tidak dapat dilakukan paruh waktu atau sambilan semata. Ia  membutuhkan curahan waktu, pikiran, tenaga dan usaha keras.  Karena itu bila perempuan dituntut juga untuk memikul beban nafkah, mampukah ia menghasilkan anak berkualitas?

Dengan peran yang diemban sebagai ibu, perempuan mestinya mendapatkan perlindungan dan jaminan untuk menjalankan peran tersebut sebaik-baiknya.  Nafkahnya ditanggung. Pendidikan berkualitas ia dapatkan. Kesehatannya terjamin. Bukan sebaliknya. Ia dipaksa menelan propaganda peran ganda; di rumah sebagai istri dan ibu, di luar rumah sebagai pekerja.  Hampir 24 jam ia terus beraktivitas.

Ketika kemudian ditawarkan Islam sebagai solusi permasalahan perempuan, muncul berbagai reaksi negatif.  Banyak kalangan yang menuding Islam akan memasung kebebasan perempuan, mengurung perempuan dalam penjara rumah tangga, mengebiri hak-hak politiknya dan menenggelamkan mereka dalam kebodohan dan keterbelakangan.

Dengan gambaran yang salah tentang perlakuan Khilafah terhadap perempuan, muncullah ketakutan di kalangan perempuan terhadap penerapan syariah Islam oleh khilafah.  Padahal ketakutan semacam itu sama sekali tidak berdasar bila kita melihat aturan dan fakta yang benar dari penerapan Islam pada masa Rasulullah saw. dan para khalifah setelah beliau.

 

Khilafah Memuliakan Perempuan

Berikut ini adalah beberapa poin penting terkait posisi perempuan dalam sistem Khilafah.

 

  1. Pendidikan.

Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang, lelaki maupun perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan Muslimah untuk memiliki pendidikan islami setinggi mungkin. Merekalah yang nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya.

Khilafah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan. Ayat 173 dalam draf rancangan konstitusi Negara Khilafah (yang disusun oleh Hizbut Tahrir) menyatakan: “Negara berkewajiban mengajarkan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, baik laki-laki maupun wanita. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan cuma-cuma serta mereka diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dengan fasilitas sebaik mungkin.”

 

  1. Pekerjaan.

Tugas utama perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Dia tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada wali, yakni para lelaki, baik yang menjadi suaminya ataupun ayahnya, ataupun saudaranya. Jika seorang perempuan tidak memiliki wali, negara wajib menjamin nafkahnya.

Namun demikian, perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat selain peran mereka dalam keluarga seperti yang telah disebut di atas. Keberadaan dokter, guru, perawat, hakim, polisi perempuan  sangatlah penting bagi keberlangsungan masyarakat.

 

  1. Pemerintahan.

Perempuan boleh menyuarakan opini politik mereka dan mendapat kedudukan dalam pemerintahan Khilafah. Mereka bisa menjadi hakim, kepala departemen pemerintahan dan anggota Majelis Umat. Mereka boleh memberikan suara dalam pemilihan Khalifah. Namun, mereka tidak dapat memegang posisi Khalifah ataupun jabatan-jabatan terkait dengan penguasa (seperti Wali, Mu’awin Tafwidh, Amir Jihad).  Hal ini tidak berarti perempuan akan diabaikan hak-haknya.  Khalifah dan penguasa lain, sekalipun laki-laki, mereka terikat untuk hanya menjalankan hukum Allah, yang menjamin keadilan baik untuk laki-laki maupun perempuan.

 

  1. Kehidupan keluarga.

Pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik dan penganiayaan terhadap perempuan adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kedamaian melalui hubungan kemitraan antara suami dan istri. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Orang yang imannya paling sempurna di antara kalian adalah yang paling berakhlak mulia dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR at-Tirmidzi)

 

  1. Kehidupan sosial.

Dalam kehidupan sosial, perempuan terikat dengan beberapa aturan seperti mengenakan jilbab bila keluar rumah, bersama mahram dalam safar, tidak ber-khalwat dan tidak ber-tabarruj.  Tujuan dari peraturan ini bukanlah mengekang kebebasan perempuan.  Justru dengan peraturan tersebut perempuan terlindung dari berbagai peluang tindak kejahatan dan eksploitasi seksual yang merendahkan martabat perempuan.  Begitupun para istri merasa tenteram karena pandangan dan pergaulan suami lebih terjaga.

 

Khatimah

Demikianlah beberapa gambaran bagaimana Khilafah akan memuliakan perempuan.  Karena itu perempuan memiliki kepentingan besar dalam agenda penegakan kembali Khilafah. Namun penting dipahami bahwa upaya penegakan khilafah bukan semata-mata karena iming-iming hidup mulia, melainkan juga manifestasi dari ketaatan seorang hamba pada perintah Penciptanya. Hal ini karena Khilafah adalah bagian dari hukum syariah yang dituntut untuk direalisasikan. Para ulama salaf telah sepakat, bahwa menegakkan Khilafah adalah suatu kewajiban. [Tim LTs-Muslimah HTI].

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*