HTI

Ibrah (Al Waie)

Syu’bah Bin Al-Hajjaj


Nama lengkapnya adalah Syu’bah bin al-Hajjaj bin Ward al-’Ataki al-Azdi Abu Bistham al-Wasathi. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Syu’bah bin al-Hajjaj. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama hadis terkemuka. Syu’bah lahir pada tahun 80 H di bawah kekuasaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, lalu menetap di Bashrah (Irak).

Syu’bah bin al-Hajjaj banyak dipuji oleh para ulama. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, berkomentar, “Tidak ada pada masa Syu’bah orang yang seperti dia dalam bidang hadis.”

Imam Syafii juga berkata, “Andaikata tidak ada Syu’bah, orang Irak tidak banyak mengetahui hadis.”

Bahkan Imam adz-Dzahabi menegaskan,  “Syu’bah adalah Al-Hâfizh al-Kabîr, ulama besar pada zamannya, sekaligus ‘Amirul Mukminin’ di bidang hadis.” (Adz-Dzahabi, Târîkh al-Islâm, 4/71).

Karena kepakaran dan penguasaannya atas ribuan hadis, saat Syu’bah wafat, tidak aneh jika Imam Ibnu al-Mubarak berkomentar, “Pada hari ini hadis telah mati (karena kematian Syu’bah, pen.).”

Hal ini wajar karena menurut Abu Abdullah bin Hakim, “Syu’bah belajar hadis kepada 400 ulama dari generasi tâbi’in.” (Lihat: An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât,  I/244; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, IV/358).

Syu’bah bin al-Hajjaj memang amat giat dalam menuntut ilmu. Demi meraih ilmu pula, Syu’bah biasa mengorbankan apa saja. Terkait ini, ia pernah bercerita, “Aku pernah menjual bejana warisan ibuku seharga tujuh dinar (sekitar Rp 15 juta) untuk biaya belajar.” (Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffâzh, 1/195).

Kegigihan dan pengorbanan Syu’bah dalam belajar juga dikisahkan oleh Imam Ahmad ra., dalam Kitab Al-’Ilal bi Ma’rifah ar-Rijâl, “Syu’bah pernah tinggal di tempat Hakam bin Utbah selama 18 bulan (sampai kehabisan bekal, pen.) sehingga ia harus menjual penyangga dan tiang rumahnya untuk biaya belajar.”

Syu’bah bin al-Hajjaj termasuk ulama hadis yang sangat ketat dalam periwayatan hadis. Tentang ini, Abu Al-Walid berkata: Hammad bin Zaid pernah berkata kepadaku, “Jika terjadi perselisihan antara aku dan Syu’bah, aku akan mengikuti pendapatnya.” Aku pun bertanya kepada dia, “Mengapa bisa seperti itu?” Ia menjawab, “Karena Syu’bah tidak cukup mendengar setiap hadis dengan dua puluh kali, sedangkan aku mencukupkan hanya sekali mendengar.”

Tentang betapa ketatnya Syu’bah dalam meriwayatkan hadis, Abu al-Walid pun berkata: Aku pernah bertanya kepada Syu’bah tentang suatu hadis. Dia menjawab, “Sungguh aku tidak akan mengatakan sedikitpun kepadamu tentang hadis itu.” Aku bertanya kepada dia, “Mengapa?” Ia menjawab, “Karena aku hanya mendengar hadis itu sebanyak satu kali.”

Ketatnya Syu’bah dalam meriwayatkan hadis boleh jadi karena ia amat khawatir jika sampai ia keliru. Ini antara lain tampak dari ucapannya, “Tidak ada sesuatu yang lebih aku takutkan, yang dapat memasukkan diriku ke dalam azab neraka, selain meriwayatkan hadis (secara keliru, pen.).” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 7/213).

Sebagai seorang ulama hadis terkemuka, Syu’bah bin al-Halaj tentu memiliki banyak murid. Namun, Syu’bah bin al-Hajjaj termasuk ulama yang tidak suka kepada murid-muridnya yang tidak mengamalkan ilmu yang mereka pelajari. Terkait ini, Imam Abu Dawud berkisah: Suatu ketika kami sedang berada di rumah Syu’bah untuk menulis dan menyusun kitab. Tiba-tiba, seorang pengemis datang dan Syu’bah berkata, “Bersedekahlah kalian untuk pengemis itu! Sungguh, Abu Ishaq pernah menyampaikan kepadaku suatu hadis dari Abdullah bin Mi’qal, dari Adi bin Hatim yang berkata bahwa Rasulullah telah  bersabda, ‘Jagalah diri kalian dari azab neraka sekali pun dengan (bersedekah) sebutir kurma.’” (HR Muttafaq ‘alaih).

Namun, meski telah disampaikan hadis tersebut oleh Syu’bah bin al-Hajjaj, tetap saja tidak ada yang mau mengeluarkan sedekah. Lalu Syu’bah berkata lagi, “Sungguh, Amir bin Murrah pernah menyampaikan satu hadis kepadaku, dari Haitsamah, dari Adi bin Hatim yang pernah berkata bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Jagalah diri kalian dari azab neraka sekalipun dengan (bersedekah) setengah biji kurma. Jika kalian tidak memilikinya, (bersedekahlah) dengan berkata yang baik.’” (HR al-Bukhari).

Meski demikian, tetap saja tidak ada yang mau mengeluarkan sedekah. Lalu Syu’bah berkata untuk ketiga kalinya, “Bersedekahlah kepada pengemis itu! Sungguh, Muhalla adh-Dhabi pernah menyampaikan satu hadis kepadaku, dari Adi bin Hatim yang berkata bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Jagalah diri kalian dari azab neraka sekali pun dengan (bersedekah) setengah biji kurma. Jika kalian tidak memilikinya, maka (bersedekahlah) dengan berkata yang baik.’” (HR al-Bukhari).

Lagi-lagi tidak ada satu pun dari para santrinya yang mau mengeluarkan sedekah. Kemudian Syu’bah berkata dengan nada marah, “Pergilah kalian dari rumahku! Sungguh, aku tidak akan mengajarkan hadis kepada kalian selama tiga bulan!”

Setelah itu Syu’bah masuk ke dalam rumahnya. Ia lalu mengambil makanan yang ada dan memberikan makanan itu kepada pengemis itu sambil berkata, “Ambillah makanan ini. Sungguh ini adalah jatah makanan kami hari ini.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ, 7/227-228).

Kisah di atas sekaligus menunjukkan betapa dermawannya Syu’bah bin al-Hajjaj. Ya, Syu’bah memang sangat gemar bersedekah kepada kaum miskin dan yang membutuhkan. Padahal ia sendiri bukan orang kaya. Terkait ini, Abu Dawud ath-Thayalisi berkisah: Ketika kami sedang bersama Syu’bah, Sulaiman bin al-Mughirah datang dalam keadaan menangis. Syu’bah bertanya kepada dia, “Apa yang membuat Anda menangis, wahai Abu Said?” Ia menjawab, “Keledaiku mati sehingga pemasukanku pun menjadi hilang.” Syu’bah bertanya, “Berapa kamu membeli keledai itu?” Ia menjawab, “Tiga dinar (sekitar Rp 6 juta, pen.).” Syu’bah lalu berkata, “Kebetulan aku mempunyai tiga dinar. Sungguh aku tidak memiliki lebih dari itu.” Syu’bah lalu memberikan uang tiga dinar kepada Abu Said dan berkata, “Gunakanlah uang ini untuk membeli keledai dan tidak perlu bersedih lagi.”

Kegemarannya bersedekah juga ditegaskan oleh Yahya bin Said al-Qahthani, “Syu’bah adalah orang yang paling gemar memberi selama ia masih memiliki harta untuk diberikan kepada orang lain,” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubalâ, 7/211).

Syu’bah bin al-Hajjaj juga terkenal sebagai ulama yang ahli ibadah. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abu Bahr al-Bakrawi, “Aku tidak melihat orang yang kuat beribadah seperti Syu’bah. Ia beribadah kepada Allah hingga punggungnya menjadi bungkuk (karena banyak dan lamanya rukuk) dan kurus kering (karena banyaknya puasa).”

Syu’bah bin Hajjaj wafat pada tahun 160 H pada umur 77 tahun (Lihat: An-Nawawi, Tahdzîb al-Asmâ’ wa al-Lughât,  I/244; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb at-Tahdzîb, IV/358).

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*