“A New Caliphate provides an example of how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system” [Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project]
Pada Desember 2004, Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future1. Dokumen ini berisikan prediksi atau ramalan tentang masa depan dunia tahun 2020.
Dalam dokumen tersebut, NIC memperkirakan bahwa ada empat hal yang akan terjadi pada tahun 2020-an yakni:
- Dovod World: Kebangkitan ekonomi Asia; Cina dan India bakal menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.
- Pax Americana: Dunia tetap dipimpin dan dikontrol oleh AS.
- A New Chaliphate: Kebangkitan kembali Khilafah Islam, yakni Pemerintahan Global Islam yang bakal mampu melawan dan menjadi tantangan nilai-nilai Barat.
- Cycle of Fear: Muncul lingkaran ketakutan (phobia), yaitu ancaman terorisme dihadapi dengan cara kekerasan dan akan terjadi kekacauan di dunia—kekerasan akan dibalas kekerasan.
Dari dokumen tersebut jelas sekali bahwa negara-Negara Barat meyakini bahwa Khilafah Islam akan bangkit kembali. Menurut mereka, Khilafah Islam tersebut akan mampu menghadapi nilai-nilai peradaban Barat.
Barat Takut Khilafah Tegak
Khilafah oleh Barat dianggap sebagai suatu ancaman yang menakutkan bagi mereka. Sebab, ketika tegak, Khilafah akan menghentikan hegemoni Kapitalisme Barat atas dunia, yang akan mengganggu kepentingan mereka, khususnya dalam masalah politik dan ekonomi.
Ketika Kekhilafahan Turki Utsmani dibubarkan pada 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Attaturk, 14 tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 1938, Duta Besar Amerika Joseph Clark berdiri dengan Mustafa Kemal dan menyatakan, “Nama Mustafa Kemal akan selamanya dikaitkan dengan pembangunan, pendiri Turki, negara Turki baru yang modern, dan selamanya akan tertulis tanpa terhapuskan dalam perjalanan sejarah.”
Hal itu dilakukan agar negara Turki tetap berpegang pada sistem demokrasi-sekular; tidak berubah kembali menjadi negara yang menganut sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Ketakutan Barat tersebut dibuktikan dengan terus membuat opini buruk tentang Khilafah secara berulang. Sebut saja sewaktu George Walker Bush masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat yang berkuasa dari Januari 2001 hingga Januari 2009. Sebagaimana transkrip pernyataan Bush yang dilansir oleh situs washingtonpost.com pada 5 September 2006, dikatakan, “This caliphate would be a totalitarian Islamic empire encompassing all current and former Muslim lands, stretching from Europe to North Africa, the Middle East and Southeast Asia (Khilafah ini akan menjadi Imperium Islam totaliter yang meliputi semua negeri-negeri Muslim saat ini dan yang dulunya adalah negeri-negeri Muslim, yang membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, dari Timur Tengah hingga Asia Tenggara).”2
Henry Kissinger, Asisten Presiden AS untuk urusan Keamanan Nasional 1969-1975, dalam sebuah wawancara November 2004, mengungkapkan pandangannya dengan menyatakan, “…What we call terrorism in the United States, but which is really the uprising of radical Islam against the secular world, and against the democratic world, on behalf of re-establishing a sort of Caliphate (…Apa yang kita sebut sebagai terorisme di Amerika Serikat, tetapi sebenarnya adalah pemberontakan Islam radikal terhadap dunia sekular, dan terhadap dunia yang demokratis, atas nama pendirian semacam Kekhalifahan).”3
Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada bulan November tahun 2002, saat dilakukan News Conference pada Pertemuan Tingkat Tinggi ke 10 antara Rusia-Uni Eropa (The 10th Russia-European Union Summit) di Brussels, menyatakan, “By the way, I would like you to note that the creation of a caliphate on the territory of the Russian Federation is only the first part of their plan. Actually, if you follow the developments in that sphere, you ought to know that the radicals have much more ambitious goals. They speak about creating a world caliphate.”4
Tony Blair, saat menjabat sebagai Perdana Menteri Inggris, pada pidato di depan Konperensi Partai Buruh, menyatakan, “What we are confronting here is an evil ideology. … They demand the elimination of Israel; the withdrawal of all Westerners from Muslim countries, irrespective of the wishes of people and government; the establishment of effectively Taleban states and Sharia law in the Arab world en route to one caliphate of all Muslim nations (Apa yang sedang kita lawan adalah ideologi setan.…Mereka menuntut penghancuran Israel, penarikan mundur semua orang Barat dari negara-negara Islam, dengan mengabaikan kemauan rakyat dan pemerintahnya, pendirian negara-negara semacam Taliban dan hukum syariah di dunia Arab dan berujung yang sama pada Kekhalifahan untuk semua negara-negara Muslim).”5
Upaya Barat Mencegah Khilafah Berdiri
Untuk mencegah kebangkitan kembali Khilafah Islam, Barat melakukan beberapa upaya, di antaranya:
- Memecah-belah umat Islam.
Pada tahun 2003, lembaga think-tank (gudang pemikir) AS, yakni Rand Corporation, mengeluarkan sebuah Kajian teknis yang berjudul, “Civil Democratic Islam.”6 Secara terbuka, Rand Corp membagi umat Islam menjadi empat kelompok Muslim: Fundamentalis, Tradisionalis, Modernis dan Sekularis.
Kelompok fundamentalis mereka sebut sebagai kelompok yang menolak nilai-nilai demokrasi dan budaya Barat serta menginginkan sebuah negara otoriter yang puritan yang akan dapat menerapkan Hukum Islam yang ekstrem (baca: Khilafah).
Kelompok tradisionalis adalah kelompok yang menginginkan suatu masyarakat yang konservatif.
Kelompok modernis mereka identifikasi sebagai kelompok yang menginginkan Dunia Islam menjadi bagian modernitas global, yang juga ingin memodernkan dan mereformasi Islam dan menyesuaikan Islam dengan perkembangan zaman.
Adapun kelompok sekular adalah kelompok yang menginginkan Dunia Islam dapat menerima paham sekular dengan cara seperti yang dilakukan negara-negara Barat dimana agama dibatasi pada lingkup pribadi saja.
Setelah dilakukan pengelompokan atas umat Islam, langkah berikutnya yang dilakukan Barat adalah melakukan politik belah bambu; mendukung satu pihak dan menjatuhkan pihak lain serta membenturkan antarkelompok. Caranya dengan melakukan empat hal:
- Mendukung kelompok modernis dengan mengembangkan visi mereka tentang Islam sehingga mengungguli kelompok tradisionalis.
- Mendukung kelompok tradisionalis sebatas untuk mengarahkan mereka agar berlawanan dengan kelompok fundamentalis dan untuk mencegah pertalian yang erat di antara mereka; menerbitkan kritik kaum tradisionalis atas kekerasan dan ekstremisme yang dilakukan kaum fundamentalis; mendorong perbedaan antara kelompok tradisionalis dan fundamentalis; mendorong kerjasama antara kaum modernis dan kaum tradisionalis yang lebih dekat dengan kaum modernis; juga mendorong popularitas dan penerimaan atas sufisme.
- Mendukung kelompok sekularis secara kasus-perkasus dan mendorong pengakuan fundamentalisme sebagai suatu musuh bersama; mendorong ide bahwa agama dan negara dapat dipisahkan.
- Memusuhi kelompok fundamentalis dengan menunjukkan kelemahan pandangan keislaman mereka; mendorong para wartawan untuk mengekspos isu-isu korupsi, kemunafikan dan tidak bermoralnya kaum fundamentalis, pelaksanaan Islam yang salah dan ketidakmampuan mereka dalam memimpin dan memerintah.
Kemudian Pada Tahun 2007, Rand Corporation juga menerbitkan sebuah dokumen setebal 217 halaman, terdiri atas 10 bab, yang berjudul, “Building Moderate Muslim Networks”.7
Dalam dokumen tersebut, Rand Corp mengungkapkan peta jalan (road map) bagaimana membangun jaringan Muslim moderat dengan mulai memberikan prioritas bantuannya kepada pihak-pihak yang dinilai paling cepat memberikan dampak dalam perang pemikiran yakni: (1) Akademisi dan intelektual Muslim yang liberal dan sekular; (2) Mahasiswa muda religius yang moderat; (3) Komunitas aktivis; (4) Organisasi-organisasi yang mengkampanyekan persamaan gender; (5) Wartawan dan penulis moderat.
Inilah upaya politik adu domba yang dilakukan oleh Barat terhadap umat Islam. Dalam konteks umat Islam yang ada di Indonesia, sangatlah bisa kita rasakan adanya upaya-upaya adu domba tersebut. Misalnya, upaya membenturkan NU yang dinilai tradisionalis dan Muhammadiyah yang modernis dengan kelompok seperti HTI yang dianggap fundamentalis.
- Melakukan monsterisasi Khilafah.
Ketika ISIS memproklamirkan berdirinya “Khilafah” pada 2014, Barat menjadikan itu sebagai sebuah momentum baru untuk melakukan monsterisasi Khilafah. Berbagai video eksekusi tawanan perang oleh ISIS menjadi alat propaganda Barat kepada dunia, termasuk kaum Muslim. Keadaan ini menjadi salah satu opini buruk bagi dakwah penegakkan syariah Islam dan Khilafah. Seolah-olah Barat ingin mengatakan “Jika ingin Khilafah, lihatlah apa yang dilakukan oleh ISIS.” Padahal Khilafah yang dideklarasikan oleh ISIS tidak memenuhi syarat-syarat sah sebuah Khilafah.8
Mereka juga membuat stigma negatif terhadap Khilafah. Beberapa waktu lalu Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, menyebut ISIS di Irak dan Suriah telah melakukan genosida terhadap kelompok minoritas Kristen, Syiah, Yazidi dan lainnya.9
- Menggunakan penguasa boneka .
Barat juga melakukan indoktrinasi paham sekular terhadap para penguasa di negeri-negeri Muslim. Akibatnya, negara tersebut tidak akan mau menjadikan Islam sebagai bagian untuk mengatur masalah dalam kehidupan bertatanegara. Akibat lebih lanjut, penguasa tersebut tidak akan membiarkan ide syariah dan lhilafah berkembang di negeri tersebut.
Untuk mewujudkan tujuanya, Barat berupaya keras agar agama (Islam) di negeri-negeri Muslim—walau sebagai agama resmi negara—tidak menjadi asas dan bangunan politik dan pemerintahan. Islam dibiarkan hidup tetapi sebatas dalam urusan ibadah serta himbauan moral yang diulang-ulang dan menjemukan.
Dengan situasi seperti ini Barat berharap agar seruan Islam ideologis apalagi penegakkan Khilafah akan menghadapi barrier politik yang kuat dari masyarakat. Caranya, salah satunya, dengan memberikan pujian kepada negara tersebut dengan penerapan demokrasi-sekularnya. Akhirnya, yang berkembang di tengah masyarakat adalah opini bahwa Khilafah mengancam keamanan dan keutuhan sebuah negara yang bersifat majemuk/plural.
Wakil Presiden AS, Mike Pence, saat datang ke Indonesia pada bulan April 2017 lalu, menyatakan “Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, Islam di Indonesia telah menginsipirasi dunia.”10
- Membangun legitimasi hukum.
Cara lain yang digunakan Barat adalah dengan melakukan pendekatan hukum atau Law Approach. Mereka membuat UU yang bisa menjegal usaha untuk menegakkan Khilafah tersebut. Sebutlah misalnya UU anti-smith, UU keamanan nasional, UU anti diskriminasi dan sejenisnya. Terbukti, beberapa usaha penegakan Khilafah terhalang karena dibenturkan dengan UU tersebut. Dinyatakan, misalnya, bahwa disebut Khilafah adalah ide yang menjurus pada paham dan perilaku anti semit, mengganggu keamanan nasional dan sebagainya.
- Menggunakan kekuatan represif negara.
Jika kemudian cara-cara sebelumnya tidak mampu untuk menjegal ide Khilafah, maka negara akan beralih dengan cara melakukan tindakan represif terhadap para aktivis pejuang Khilafah. Inilah yang dialami oleh beberapa aktivis di sejumlah Negara, termasuk di sejumlah negeri Muslim seperti Malaysia, Pakistan, Bangladesh, termasuk di Indonesia. Pemerintah di negeri ini tampak mulai represif untuk mencegah berkembangnya ide khilafah di Indonesia. Buktinya, Pemerintah tidak memberikan ijin atas penyelenggaraan kegiatan dakwah untuk mensyiarkan Panji Rasulullah saw., yakni Al-Liwa’ dan Ar-Rayah, beberapa waktu lalu. Padahal kegiatan itu sekadar untuk menyampaikan pendapat atau gagasan yang dilindungi oleh UU.
Penutup
Semoga, dengan mengetahui dan menyadari upaya-upaya yang dilakukan oleh Barat untuk membendung tegaknya Khilafah, kita bisa terhindar dari upaya yang dilakukan oleh Barat tersebut, termasuk tidak mau di adu domba dengan sesama Muslim.
Selain itu, kalau Barat saja percaya bahwa Khilafah akan kembali tegak pada tahun 2020-an sebagaimana prediksi dokumen bertajuk Mapping The Global Future oleh NIC, yang dengan itu mereka berupaya sekuat tenaga untuk menghalangi tegaknya Khilafah, maka seharusnya umat Islam lebih bersemangat lagi dalam memperjuangkan Khilafah. Pasalnya, tegaknya Khilafah bagi umat Islam bukan karena faktor ramalan atau prediksi, namun karena merupakan sebuah keniscayaan, yang berasal dari bisyârah (kabar gembira) yang disampaikan oleh Rasulullah saw.:
ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan ada lagi Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (HR Ahmad).
Semoga kita termasuk bagian yang memperjuangkan dan menyambut kabar gembira tersebut seraya tetap berpegang kepada tharîqah dakwah Rasulullah saw. dalam mewujudkan kembali Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Amin. [Adi Victoria; (Humas HTI Kaltim)]
Catatan kaki :
1 https://www.dni.gov/files/documents/Global%20Trends_Mapping%20the%20Global%20Future %202020%20Project.pdf
2 http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2006/09/05/AR2006090500656.html
3 http://www.khilafah.com/america-and-the-caliphate-past-a-present/
4 http://en.kremlin.ru/events/president/transcripts/21773
5 http://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/4689363.stm
6 https://www.rand.org/pubs/monograph_reports/MR1716.html
7 http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monographs/2007/RAND_MG574.pdf
8 http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_37540