Sebagaimana diketahui, Pemerintah berencana membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) lewat sejumlah opsi: jalur pengadilan, Perppu atau Kepres. Apapapun langkah Pemerintah uintuk membubarkan HTI tentu layak dipersoalkan. Mengapa? Jawabannya dipaparkan secara lugas oleh Ustadz M. Ismail Yusanto, Juru Biacara HTI, melalui wawancara dengan Redaksi kali ini. Berikut hasil wawancaranya.
Pemerintah berencana membubarkan HTI. Tanggapan Ustadz?
Kita menolak keras rencana pembubaran tersebut karena langkah itu tidak memiliki dasar sama sekali. HTI adalah organisasi legal berbadan hukum perkumpulan (BHP) dengan Nomor AHU-0000258.60.80.2014 tertanggal 2 Juli 2014. Sebagai organisasi legal, HTI memiliki hak konstitusional untuk melakukan dakwah yang amat diperlukan untuk perbaikan bangsa dan negara ini. Semestinya hak ini dijaga dan dilindungi oleh Pemerintah. Apalagi selama ini kegiatan HTI telah terbukti memberikan kebaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu, rencana pembubaran yang hendak dilakukan oleh Pemerintah telah secara nyata akan menegasikan hak konstitusional tersebut, yang dijamin oleh peraturan perundangan yang ada, serta akan menghilangkan kebaikan yang sudah dihasilkan. Secara syar’i, pembubaran terhadap HTI berarti penghambatan terhadap kegiatan dakwah yang konsekuensinya amat berat di hadapan Allah SWT di Akhirat kelak.
HTI dituduh tidak berperan positif dalam proses pembangunan?
Melalui kegiatan dakwah yang dilakukan secara intensif di berbagai daerah, HTI telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan SDM negeri ini yang bertakwa dan berkarakter mulia, Ini tentu sangat diperlukan di tengah berbagai krisis yang tengah dialami oleh negara ini, seperti korupsi, yang berpangkal pada lemahnya integritas SDM yang ada. HTI juga terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang bakal merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Sisdiknas dan lainnya; sosialisasi anti narkoba; menentang gerakan separatisme dan upaya disintegrasi. HTI juga terlibat dalam usaha membantu para korban bencana alam di berbagai tempat, seperti tsunami Aceh (2004), gempa Jogjakarta (2006) dan lainnya. Oleh karena itu, tudingan bahwa HTI tidak memiliki peran positif tidaklah benar.
HTI juga dituduh bertentangan dengan Pancasila?
Sebagai organisasi dakwah, kegiatan HTI adalah menyampaikan ajaran Islam. Tidak ada yang disampaikan oleh HTI baik itu terkait akidah, syakhsiyyah, syariah, dakwah maupun khilafah kecuali itu semua merupakan bagian dari ajaran Islam. Menurut Pasal 59 UU No. 17/2013 Tentang Ormas, ajaran Islam tidaklah termasuk paham yang disebut bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, tudingan bahwa kegiatan HTI bertentangan dengan Pancasila adalah tidak benar dan bertentangan dengan UU Ormas itu sendiri.
Pemerintah juga menyatakan HTI ingin mengganti Pancasila dengan seruan khilafahnya. Benarkah?
Tidak ada HTI dalam tulisan, pernyataan atau buku-bukunya menyatakan seperti itu.
Apa benar gagasan khilafah yang diusung HTI membahayakan atau mengancam NKRI?
Itu tudingan semena-mena. Bila kita cermati, sesungguhnya secara riil ada dua ancaman utama terhadap negeri ini yakni: sekularisme yang makin memurukkan negeri ini dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Telah lebih dari 70 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekular, baik bercorak sosialistik pada masa Orde Lama maupun kapitalistik pada masa Orde Baru dan neo-liberal pada masa reformasi. Faktanya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 70 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus-menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorong dia untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi terasa semakin meningkat tajam. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah lebih 70 tahun merdeka, hidup kok makin susah.
Ancaman kedua, neo-imperialisme. Indonesia memang telah merdeka. Namun, penjajahan ternyata tidak berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk Indonesia, tetap bergelora. Neo-imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen hutang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tetapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Lihatlah, demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, lahirlah berbagai UU seperti UU Kelistrikan yang telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi dan kebijakan yang menguntungkan asing, dan tentu saja merugikan negara.
Jadi Khilafah itu bukan ancaman. Khilafah itu ajaran Islam, yang justru akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran, dan memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi akibat neo-liberalisme dan neo-imperialisme.
Bisakah dikatakan bahwa semua itu adalah wujud dari kecintaan HTI terhadap negeri ini?
Betul sekali. Dakwah HTI dilakukan adalah demi Indonesia ke depan yang lebih baik. Bila kehancuran Khilafah disebut sebagai ummul-jarâ’im (pangkal segala keburukan), maka diyakini bahwa tegaknya kembali syariah dan Khilafah akan menjadi pangkal segala kebaikan, kerahmatan dan kemaslahatan, termasuk bagi Indonesia. Karena itu, dalam konteks Indonesia, ide khilafah yang substansinya adalah syariah dan ukhuwah, sesungguhnya merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan baru (neo-imperialisme) yang nyata-nyata sekarang tengah mencengkeram negeri ini yang dilakukan oleh negara adikuasa. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan global bisa dihadapi secara sepadan. Adapun syariah nantinya akan menggantikan sekularisme-liberalisme yang telah terbukti memurukkan negeri ini. Karena itu pula, perjuangan HTI bisa dibaca sebagai bentuk kepedulian dan kecintaan yang amat nyata dari HTI dalam berusaha mewujudkan Indonesia lebih baik pada masa datang, termasuk guna meraih kemerdekaan hakiki negeri ini atas berbagai bentuk penjajahan yang ada.
Sesungguhnya Khilafah yang dimaksudkan HTI itu apa? Bisa dijelaskan lebih detail?
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim untuk menerapkan syariah secara kâffah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Telah sepakat empat madzhab atas kewajiban Khilafah. Syaikh Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah menyebutkan, “Para imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) rahimahumulLâh telah bersepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu.”
Mestinya umat Islam tak lagi memperdebatkan apakah syariah dan Khilafah itu wajib atau tidak. Pasalnya, dari penjelasan di atas, perkara ini sudah ma’lûm[un] min ad-dîn bi adh-dharûrah (sesuatu yang sudah diketahui kewajibannya).
Apa dalilnya?
Secara syar’i, dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu: al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qâ’idah Syar’iyyah. Dalil al-Quran, antara lain, perintah Allah SWT kepada kita untuk menaati ulil amri dalam Surat an-Nisa ayat 59. Perintah untuk menaati ulil amri sekaligus menjadi dalil kewajiban untuk mewujudkan ulil amri itu. Sebab, tak mungkin Allah SWT memerintahkan untuk menaati sesuatu yang tidak ada. Jadi ayat ini, menurut Syaikh ad-Dumaji dalam kitabnya, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, menunjukkan bahwa mengangkat Imam (Khalifah) sebagai ulil Amri bagi umat Islam adalah wajib hukumnya.
Dalil al-Quran lainnya adalah perintah Allah SWT kepada Rasulullah saw. untuk memutuskan hukum berdasarkan wahyu yang telah Allah SWT turunkan kepada beliau. Ini antara lain terdapat dalam Surat al-Maidah ayat 48. Dalam hal ini, kaidah ushul fikh mengatakan, perintah kepada Rasulullah saw. hakikatnya adalah perintah kepada kaum Muslim selama tidak dalil yang mengkhususkan bahwa perintah itu hanya kepada beliau saja. Faktanya, tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada beliau saja. Ini berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum Muslim. Yang perlu diketahui, perintah untuk berhukum kepada hukum Allah SWT (syariah) dalam ayat ini tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang imam (khalifah). Artinya, ayat di atas, juga seluruh ayat yang memerintahkan untuk berhukum dengan hukum Allah, menurut Syaikh ad-Dumaji, hakikatnya adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam (khalifah) yang akan menegakkan syariah Islam itu.
Adapun dalil as-Sunnah banyak. Rasulullah saw., misalnya bersabda, “Man mâta wa laysa fî ‘unuqihi bay’at[un] mâta mîtat[an] jâhiliyyat[an].” Artinya, “Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak ada baiat (yakni kepada Khalifah), maka matinya adalah mati jahiliah (yakni mati dalam keadaan berdosa).” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Artinya, berdasarkan hadis ini, baiat itu wajib hukumnya, sementara baiat itu tak ada kecuali kepada Imam (Khalifah). Dengan demikian hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat imam (khalifah) itu wajib hukumnya.
Lalu dalil Ijmak Sahabat. Hal ini telah disebutkan oleh para ulama. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, misalnya, para Sahabat telah berijmak atas kewajiban mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir. Bahkan mereka memandang ini sebagai kewajiban amat penting. Terbukti, para Sahabat lebih menyibukkan diri dalam memilih dan mengangkat khalifah sambil menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.
Adapun dalil Qâ’idah Syar’iyyah adalah kaidah yang berbunyi. “Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fa huwa wâjib[un].” Artinya, “Suatu perkara yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna maka perkara itu wajib adanya.”
Seperti kita tahu, banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Karena itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, sesuai kaidah syariah di atas, Khilafah wajib hukumnya.
Jika demikian, lalu mengapa Pemerintah menganggap Khilafah itu sebagai ancaman?
Mungkin karena belum paham, atau salah paham, atau ada pihak-pihak tertentu di pusat kekuasaan yang memang membenci segala sesuatu yang berbau Islam. Jangan lagi soal Khilafah, dulu kerudung, lalu ide bank syariah dan lainnya juga tidak dikehendaki.
Ada tuduhan bahwa kegiatan yang dilakukan HTI telah menimbulkan benturan di masyarakat?
HTI selama lebih dari 20 tahun telah terbukti mampu melaksanakan kegiatan dakwahnya secara tertib, santun dan damai serta diselenggarakan sesuai prosedur yang ada. Tidak pernah ada apa yang disebut benturan atau keresahan masyarakat. Kalaupun ada, itu terjadi di awal tahun 2017. Itu pun lebih tepat disebut gangguan pihak lain. Artinya, ketika hendak menyelenggarakan kegiatan, HTI diganggu oleh pihak lain. Mestinya yang disalahkan adalah pengganggu itu, bukan malah menyalahkan korban. Oleh karena itu tudingan bahwa kegiatan HTI telah menimbulkan benturan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat adalah tudingan mengada-ada.
Kalau begitu, apa sebenarnya yang melatarbelakangi rencana Pemerintah mencabut status badan hukum HTI?
Tidak tahu saya. Tapi menurut rumor, itu disebabkan kemarahan partai berkuasa atas kekalahannya di Pilkada DKI khususnya, dan hampir 60% di Pilkada 2017 lalu. Nah, yang dituding menjadi biang kekalahan di antaraya adalah HTI. Sebagai gantinya, HTI harus bubar dan Habib Rizieq harus ditangkap. Ini faktor politik. Ada juga faktor ideologi. Mereka menyebut, Aksi 411, 212 dan lainnya, yang berujung pada kekalahan Ahok, adalah bukti nyata bangkitnya apa yang mereka sebut sebagai Islam Kanan atau Islam Radikal. Sebelum membesar, ini kelompok harus dihabisi.
Apakah rencana pembubaran HTI ini semakin membuktikan bahwa rezim Jokowi represif dan anti Islam?
Ya, jelas sekali. Bila rencana itu diteruskan, publik akan semakin mendapatkan bukti bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini adalah rezim represif anti Islam. Buktinya, setelah sebelumnya melakukan kriminalisasi terhadap para ulama, bahkan di antaranya ada yang masih ditahan hingga sekarang, lalu melakukan pembubaran atau penghalangan terhadap kegiatan dakwah di sejumlah tempat, kini Pemerintah melakukan langkah guna membubarkan ormas Islam. Pada saat yang sama, rezim justru dengan sekuat tenaga melindungi penista al-Quran, termasuk melalui sidang peradilan yang tampak sekali dilihat oleh publik berjalan sangat tidak adil. Pemerintah juga membiarkan aksi-aksi anarkis bahkan separatis di berbagai tempat. []