Soal:
Apakah Negara Khilafah mempunyai model baku dari Nabi saw.? Atau model Negara Khilafah hanya rekaan para sahabat semata?
Jawab:
Pertama: Khilafah adalah penerus Negara Islam yang didirikan oleh Nabi saw. Ini dijelaskan oleh beliau:
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ…
Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian, atas kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian Dia mengakhirinya jika Dia berkehendak untuk mengakhirinya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).
Hadis Nabi saw. ini menjelaskan bahwa Negara Islam yang didirikan Nabi saw. adalah negara nubuwwah, yang eranya berakhir dengan wafatnya Nabi saw. Setelah Nabi saw. wafat, Negara Islam dilanjutkan oleh Khilafah yang mengikuti manhâj nubuwwah. Nabi saw. sendiri menggunakan istilah Khilâfah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah untuk menjelaskan bahwa Khilafah ini adalah negara yang melanjutkan apa yang telah dibangun dan diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat baru sama sekali. Apalagi dituduh bahwa ini adalah negara hasil rekaaan para sahabat.
Penggunaan istilah Khilâfah adalah untuk menjelaskan bahwa negara ini mengganti atau melanjutkan apa yang ditinggalkan oleh Nabi saw. Istilah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah juga digunakan untuk menjelaskan bahwa negara ini benar-benar hanya melanjutkan apa yang diwariskan oleh Nabi saw., bukan membuat yang baru.
Kedua: Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat pengganti Nabi saw. (Khalifah) yang mengurus urusan agama dan dunia. Ini sebagaimana yang mereka lakukan di Saqifah Bani Sa’idah sampai akhirnya terpilihlah Abu Bakar. Beliau lalu dibaiat di Masjid Nabawi sebagai khalifah (pengganti Nabi saw.) yang pertama, yang mengurus urusan agama dan dunia.
Karena itu para ulama sepakat mendefisinikan Khilafah dengan istilah:1
الإِمَامَةُ [الخِلاَفَةُ] مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حَرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
Imamah [Khilafah] diadakan untuk menggantikan kenabian dalam urusan menjaga agama dan mengurus urusan dunia dengan agama.
Dari Hadis Nabi saw., Ijmak Sahabat dan pendapat para ulama ini sebenarnya sudah jelas, bahwa Islam mempunyai model kepemimpinan dan negara yang khas.
Hanya saja, masih ada yang mempertanyakan, jika memang Islam mempunyai model kepemimpinan dan negara yang khas, mengapa para sahabat berselisih saat Nabi saw. wafat? Mengapa mereka tidak sepakat terhadap proses pengangkatan ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali bahkan sampai Muawiyah melakukan perebutan kekuasaan?
Dalam hal ini harus dibedakan antara uslûb dan tharîqah dalam pengangkatan Khalifah. Suksesi kepemimpinan dari Nabi saw. ke Abu Bakar dilakukan dengan musyawarah di Saqifah Bani Sa’idah adalah uslûb. Begitu juga suksesi kepemimpinan dari Abu Bakar ke ‘Umar. Yang dilakukan Abu Bakar adalah meminta pendapat penduduk Madinah, setelah terkumpul dan diketahui bahwa orang yang mereka inginkan menggantikan Abu Bakar adalah ‘Umar maka sebelum wafat, beliau pun memberikan wasiat kepada Umar. Begitu pun suksesi kepemimpinan dari ‘Umar ke ‘Ustman. Saat itu ada penunjukan lima orang ditambah ‘Abdullah bin ‘Umar. Kemudian mereka melakukan musyawarah hingga terpilih ‘Utsman. Begitu juga suksesi kepemimpinan dari ‘Utsman ke ‘Ali bin Abi Thalib yang dilakukan oleh militer kepada ‘Ali di Masjid Nabawi. Semua ini adalah bagian dari uslûb (perkara teknis), yang memang bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun, meski uslûb-nya berbeda-beda, semuanya berpegang teguh pada satu tharîqah (metode baku), yaitu baiat. Karena itu tidak satu pun khalifah yang terpilih dan diangkat menjadi khalifah kaum Muslim, kecuali pasti dibaiat. Dalam hal ini baiat tersebut ada dua: Pertama, baiat pengangkatan (in’iqâd). Kedua, baiat ketaatan (thâ’ah).
Dengan demikian jelas, Negara Islam atau Negara Khilafah mempunyai bentuk baku, termasuk dalam masalah suksesi kepemimpinan.
Memang dalam praktik pengambilan baiat tersebut ada yang tepat dan ada yang menyalahi aturan. Namun, ini masalah human error dan tidak ada kaitannya dengan sistem Islam atau sistem pemerintahannya itu sendiri karena sistemnya sudah jelas dan baku.
Sebagai contoh, kesalahan Muawiyah saat mengambil baiat dari umat untuk Yazid bin Muawiyah, yang dilakukan dengan menggunakan senjata dan harta. Ini jelas merupakan human error. Begitu seterusnya. Inilah yang terjadi dalam sejarah Khilafah Bani Umayah, ‘Abbasiyah dan ‘Utsmaniyah. Karena itulah Nabi saw. mengisyaratkan dengan istilah, “mulk[an] ‘adhdh[an]” (kekuasaan yang mengigit/zalim).2
Ketiga: Dari aspek bentuk negara, sistem pemerintahan dan struktur, negara yang dibangun oleh Nabi saw. dan diwariskan kepada para sahabat juga jelas. Negara Khilafah adalah negara kesatuan, bukan federasi atau commenwealth. Ketika wilayah Negara Islam yang dipimpin Nabi saw. telah mencapai seluruh Jazirah Arab, hukum yang diterapkan hanya satu untuk seluruh wilayah. Hal yang sama ketika negara ini dipimpin oleh para sahabat dan para khalifah setelah mereka. Ini berbeda dengan sistem federasi, yang masing-masing wilayah mempunyai hukum yang berbeda. Khilafah juga bukan commenwealth karena berbagai wilayah yang dibebaskan oleh Khilafah bukan berstatus sebagai koloni, atau bekas koloni.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Negara Khilafah juga bukan republik, monarki, parlementer, demokrasi, teokrasi maupun autokrasi. Sistem Khilafah dipimpin oleh Khalifah, bukan oleh presiden, sebagaimana sistem republik; tidak dipimpin oleh raja, sebagaimana dalam sistem monarki; juga bukan oleh perdana menteri, sebagaimana dalam sistem parlementer. Kedaulatannya pun di tangan syariah, bukan di tangan manusia, sebagaimana dalam sistem demokrasi. Khalifah juga bukan titisan atau wakil Tuhan, maksum (manusia setengah dewa), sebagaimana dalam sistem teokrasi. Kekuasaan Khalifah juga terbatas, dibatasi oleh syariah, tidak bersifat mutlak sebagaimana dalam sistem autokrasi dan diktator.
Struktur Khilafah pun unik. Masing-masing telah dinyatakan dan dicontohkan dalam Sunnah Nabi saw.3
- Khalifah.
Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan dan penerapan syariah.4
Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) dan aqwâl (sabda) Rasulullah saw. serta Ijmak Sahabat tentang kewajiban mengangkat khalifah pengganti Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Bahkan Sahabat lebih mendahulukan pengangkatan khalifah daripada pemakaman Rasulullah saw.5
- Mu’âwinûn at-Tafwîdh.
Mu’âwinûn at-Tafwîdh (Wuzarâ’ at-Tafwîdh) adalah para pembantu Khalifah dalam bidang pemerintahan. Mereka diangkat oleh Khalifah untuk bersama-sama memikul tanggung jawab pemerintahan dan kekuasaan. Mereka mendapat mandat untuk mengatur berbagai urusan serta melaksanakannya menurut pendapat dan ijtihadnya sesuai dengan ketentuan syariah.6
Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw., “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang amir (Imam/Khalifah), Allah menjadikan bagi dirinya seorang pembantu (wazîr) yang jujur dan benar. Jika dia lupa, wazîr itu akan mengingatkan dia. Jika dia ingat, wazîr itu akan membantu dia.” (HR at-Tirmidzi).
- Wuzarâ’ at-Tanfîdz.
Wuzarâ’ at-Tanfîdz adalah para pembantu Khalifah dalam bidang administrasi. Pada masa Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin mereka disebut al-kâtib (sekretaris). Tugas mereka hanyalah tugas administrasi, bukan tugas pemerintahan, yakni membantu Khalifah dalam urusan implementasi kebijakan, pendampingan, dan penyampaian kebijakan.7
Di antara dalilnya adalah hadis dari Zaid bin Tsabit bahwa Nabi saw. telah menyuruh dia untuk mempelajari tulisan Yahudi hingga ia bisa menuliskan surat-surat Nabi saw. (untuk kaum Yahudi) dan membacakannya ketika kaum Yahudi mengirim surat kepada beliau (HR al-Bukhari).
- Wali (Gubernur).
Wali adalah orang yang diangkat oleh Khalifah sebagai penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi). Dengan kata lain, wali adalah penguasa negara di tingkat propinsi (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 73).
Dalilnya di antaranya adalah hadis dari Burdah, “Rasulullah saw. mengutus Abu Musa dan Muadz bin Jabal ke Yaman. Masing-masing diutus untuk memimpin sebuah wilayah. Yaman dibagi menjadi dua wilayah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
- Amîrul Jihâd.
Departemen Peperangan (Dâirah al-Harbiyah) merupakan salah satu instansi negara. Kepalanya disebut Amîr al-Jihâd. Hal itu karena Rasulullah saw. menamakan komandan pasukan sebagai amir (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 86).
Di antara dalilnya adalah hadis riwayat Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjadi amir pasukan (Perang Mu’tah) adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja‘far bin Abi Thalib. Jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah. Jika ia gugur maka hendaklah kaum Muslim memilih salah seorang laki-laki di antara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir yang memimpin mereka.”
- Departeman Keamanan Dalam Negeri.
Departeman Keamanan Dalam Negeri adalah sebuah departemen yang dipimpin oleh kepala polisi. Tugasnya adalah menjaga keamanan di dalam Negara Islam. Namun, dalam kondisi tertentu, yakni ketika Kepolisian tidak mampu, bisa ditangani oleh militer dengan izin Khalifah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 94).
Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw. memiliki kedudukan sebagai kepala kepolisian dan ia termasuk di antara para amir.” (HR al-Bukhari).
- Departemen Luar Negeri.
Departemen Luar Negeri adalah departemen yang mengurusi seluruh urusan luar negeri terkait hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungannya; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya, ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun ekonomi. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri karena semua itu merupakan kepentingan hubungan Negara Khilafah dengan negara-negara lain (An-Nabhani, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).
Dalilnya adalah af’âl (perbuatan) Rasulullah saw. Beliau—sebagai kepala negara—melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Beliau mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara. Beliau pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai (bersifat sementara). Hal yang sama dilakukan juga oleh para khalifah setelah beliau. Mereka menjalin hubungan politik dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Para Khalifah bisa melakukan sendiri semua aktivitas tersebut atau mengangkat wakil untuk melakukannya. Hal ini menunjukkan perlunya ada satu jabatan yang akan mengurusi semua urusan tersebut (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 116; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).
- Departemen Perindustrian.
Departemen Perindustrian adalah departemen yang mengurusi semua perindustrian, baik terkait industri berat maupun industri ringan; baik berupa pabrik-pabrik yang menjadi milik umum maupun pabrik-pabrik yang menjadi milik pribadi, yang memiliki hubungan dengan industri-industri militer (peperangan). Semua industri dengan berbagai jenisnya itu harus dibangun dengan berpijak pada politik perang (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 106).
Dalilnya adalah: Pertama, al-Quran (QS al-Anfal [8]: 60) yang memerintahkan kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang membuat semua musuh merasa ketakutan.
Kedua, as-Sunnah. Rasulullah saw. pernah memerintahkan pendirian industry manjaniq (senjata pelontar) dan dababah (semacam tank dari kayu). Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqât, dari Makhul, berkata, “Sungguh Nabi saw. menggempur penduduk Thaif dengan manjaniq selama empat puluh hari.”
Ketiga, kaidah fikih “Mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjib[un](Suatu kewajiban tidak akan terlaksana dengan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu hukumnya wajib).” Artinya, perintah menyiapkan kekuatan itu akan terlaksana dengan sempurna jika ada industri persenjataan (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 82).
- Peradilan.
Peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga ini bertugas menyelesaikan perselisihan di antara sesama rakyat, mencegah hal-hal yang dapat membahayakan hak-hak jamaah (rakyat), dan mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dengan individu di dalam struktur pemerintahan, baik ia seorang penguasa, pegawai maupun pejabat pemerintah di bawah Khilafah (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109).
Peradilan ini bisa ditangani sendiri oleh Khalifah atau Khalifah mengangkat orang lain untuk menjalankannya. Kedua hal ini ada dalilnya dalam as-Sunnah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117). Bahkan terdapat Ijmak Sahabat tentang ketetapan mengangkat para qâdhi (hakim). Ibnu Qudamah berkata, “Kaum Muslim (para Sahabat) telah berijmak atas pensyariatan mengangkat para qâdhi (hakim).” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/373).
- Kemaslahatan Umum.
Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) adalah struktur pelaksana pemerintahan, yakni badan-badan pelaksana atas perkara-perkara yang wajib dilaksanakan di dalam sebuah pemerintahan guna memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat umum (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).
Dalilnya adalah perbuatan (af’âl) Rasulullah saw. dan Khulafaur Rasyidin dalam mengatur negara. Saat itu urusan administrasi diurus dengan penuh sistematik. Untuk itu perlu ada struktur guna mempermudah pengaturan dalam melaksanakan seluruh kewajiban negara. Oleh karena itu perlu adanya Departemen Pendidikan, Kesehatan, Pekerjaan, Perhubungan, Pertanian dan sebagainya. Semua ini kembali pada ijtihad dan kebijakan Khalifah mengenai apa dan berapa jumlah Kemaslahatan Umum (Struktur Administrasi) yang dibutuhkan untuk dapat menunaikan segala kewajiban negara dan memenuhi kepentingan (maslahat) masyarakat umum (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 117; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 128).
- Baitul Mal (Kas Negara).
Baitul Mal (Kas Negara) merupakan sebuah badan yang bertanggung jawab atas setiap pendapatan dan belanja negara yang menjadi hak kaum Muslim (Zallum, Al-Amwâl fi Dawlah al-Khilâfah, hlm. 15). Baitul Mal berada di bawah pengawalan Khalifah secara langsung atau di bawah kawalan orang yang dilantik untuk mengurusinya. Rasulullah saw. kadang-kadang menyimpan, memungut dan membagikan sendiri harta kaum Muslim; kadang-kadang beliau mengangkat orang lain untuk menanganinya. Khulafaur Rasyidin sesudah beliau juga kadang-kadang mengurusi sendiri urusan Baitul Mal dan kadang-kadang mengangkat orang lain untuk mengurusinya.
Dalil tentang Baitul Mal ini sudah cukup banyak dan masyhur di dalam hadis dan Ijmak Sahabat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 120; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 135).
- Penerangan.
Penerangan merupakan perkara penting bagi dakwah dan negara. Lembaga Penerangan tidak termasuk badan yang melayan kepentingan masyarakat umum, tetapi kedudukannya berhubungan langsung dengan Khalifah sebagai instansi yang mandiri. Dalil dalam hal ini adalah al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 83) dan as-Sunnah, di antaranya hadis penuturan Ibn Abbas mengenai pembebasan Makkah, “Sungguh, tidak ada kabar sama sekali bagi kaum Quraiys. Karena itu, tidak ada kabar kepada mereka tentang Rasulullah saw., dan mereka tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh beliau.” (HR Hakim dalam Al-Mustadrak).
Ini menunjukkan bahwa Lembaga Penerangan yang terkait dengan kemanan negara berhubung langsung dengan Khalifah atau struktur yang didirikan untuk tujuan itu (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 143).
- Majelis Umat.
Majelis Umat (Majelis Syura) adalah majelis yang terdiri dari para individu yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan pendapat sebagai tempat merujuk bagi Khalifah dengan meminta masukan mereka dalam berbagai urusan. Majelis ini juga mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (koreksi) terhadap Khalifah dan semua pegawai negara.
Keberadaan Majelis Umat ini diambil dari aktivitas Rasulullah saw. yang sering meminta pendapat sejumlah orang di antara kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum masing-masing; diambil dari perbuatan (af’âl) khusus Rasulullah saw. terhadap beberapa orang tertentu di kalangan Sahabat untuk meminta pendapatnya; serta diambil dari perbuatan para Khulafaur Rasyidin yang sering meminta pendapat para ulama dan ahli fatwa di kalangan mereka (An-Nabhani, Muqaddi-mah ad-Dustûr, hlm. 121; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 147).
Khatimah
Dengan demikian Negara Khilafah adalah negara yang sangat jelas bentuk, sistem pemerintahan dan strukturnya. Karena itu hanya orang yang buta saja yang tidak bisa melihatnya, atau dibutakan mata hatinya oleh Allah SWT, sehingga tidak mau tahu ajaran agamanya. WalLâhu a’lam. [H. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Mesir, al-Wathan, 1298 H, hal. 3; ar-Ramli, Niyahatu al-Muhtaj, Syarah al-Minhaj, VII/389; al-Baidhawi, Mathali’ al-Andhar ‘ala Thawali’ al-Anwar, 228.
- Ahmad dari Nu’man bin Basyir.
- Struktur Negara Khilafah, bahwa Negara Khilafah dalam bidang pemerintahan dan administrasi memiliki 13 struktur, bisa dilihat dalam kitab: An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 113; Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 96; Hizb at-Tahrîr, hlm. 82; dan Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 18.
- Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 47; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20.
- Lihat, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, hlm. 114.
- Lihat, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 55.
- An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 115; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 64.