(Tafsir QS ‘an-Naba’ [79]: 17-20)
إِنَّ يَوْمَ الْفَصْلِ كَانَ مِيقَاتًا (17) يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ فَتَأْتُونَ أَفْوَاجًا (18) وَفُتِحَتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ أَبْوَابًا (19) وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا (20)
Sungguh Hari Keputusan itu adalah suatu waktu yang telah ditetapkan, yaitu hari (yang pada waktu itu) ditiup sangsakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok. Dibukalah langit, lalu terdapatlah beberapa pintu, dan dijalankanlah gunung-gunung sehingga menjadi fatamorganalah ia (QS an-Naba’ [78]: 17-20).
Dalam beberapa ayat sebelumnya diterangkan berbagai bukti kekuasaan Allah SWT di dunia. Di antaranya penciptaan bumi sebagai hamparan, gunung-gunung sebagai pasak, manusia sebagai makhluk yang berpasangan, tidur untuk istirahat, malam sebagai pakaian yang menyelimuti, siang untuk mencari penghidupan. Allah SWT pun menciptakan tujuh langit yang kokoh, matahari sebagi pelita hingga hujan yang diturunkan. Semua itu menunjukkan bukti nyata kekuasaan-Nya. Karena itu siapa pun yang menggunakan akalnya, niscaya tidak akan mengingkari kekuasaan-Nya untuk menghidupkan manusia kembali setelah kematiannya.
Kemudian ayat ini memberitakan kepastian Hari Kiamat beserta beberapa kejadian yang menyertainya.
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Inna yawm al-fashl kâna mîqât[an] (Sungguh Hari Keputusan adalah suatu waktu yang telah ditetapkan). Secara bahasa, kata al-fashl bermakna farraqa mayyaza (memisahkan, membedakan), dalam kalimat: fashala qadhiyatayni (membedakan atau memisahkan dua perkara). Kata itu bisa juga bermakna qadhâ wa hakama, dalam kalimat: fashala bayna al-khashmayn (memutuskan dua pihak yang berperkara).1
Dalam konteks ayat ini, yawm al-fashl bermakna Hari Kiamat.2 Disebut yawm al-fashl (hari keputusan) karena Allah SWT pada hari itu memutuskan perkara di antara hamba-Nya.3 Al-Jazairi juga berkata, “Dia memutuskan perkara di antara para makhluk agar Dia memberikan balasan kepada setiap orang berdasarkan apa yang dia usahakan.”4
Penyebutan Hari Kiamat dengan yahm al-fashl juga disebutkan dalam beberapa ayat lain seperti dalam QS ash-Shaffat [37]: 21, QS ad-Dukhan [44]: 40 serta QS al-Mursalat [77]: 14 dan 38.
Ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa Hari Kiamat itu mîqât[an]. Menurut Ibnu Katsir, itu berarti Hari Kiamat telah ditentukan pada waktu tertentu, tidak dapat ditambah dan tidak dapat dikurangi; dan tidak ada seorang pun mengetahui waktunya secara pasti kecuali Allah SWT. Ini sebagaimana firman-Nya:
وَمَا نُؤَخِّرُهُ إِلا لأجَلٍ مَعْدُودٍ
Kami tidak mengundurkannya melainkan sampai waktu yang tertentu (QS Hud [11]: 104).5
Kemudian Allah SWT berfirman: yawm yunfakhu fî al-shû fata‘tûna afwâj[an] (yaitu hari [yang pada waktu itu] ditiup sangsakala, lalu kalian datang berkelompok-kelompok). Ayat ini menerangkan di antara keadaan yang diterjadi pada Hari Kiamat. Disebutkan bahwa pada hari itu yunfakhi fî ash-shûr (ditiup sangkakala). Ada beberapa penafsiran tentang makna ash-shûr. Menurut az-Zuhaili, ash-shûr adalah al-bûq (terompet) yang ditiup, kemudian mengeluarkan suara yang keras. Yang meniup terompet itu adalah Israfil as.6
Menurut Imam al-Qurthubi, sangkakala itu ditiupkan dalam rangka li al-ba’ts (untuk membangkitkan, menghidupkan kembali).7 Ini merupakan tiupan kedua.8 Jika pada tiupan pertama seluruh manusia dan makhluk hidup dimatikan, pada tiupan yang kedua manusia dihidupkan kembali.
Setelah dihidupkan, mereka pun digiring menuju sebuah tempat.9 Tepatnya, di Padang Mahsyar.10 Mereka datang secara afwâj[an] (berkelompok-kelompok). Kata afwâj merupakan bentuk jamak dari kata fawj yang berarti jamâ’ah (kelompok).11
Az-Zamakhsyari berkata, “Dari kubur mereka menuju tempat, umat-perumat. Masing-masing umat bersama pemimpin mereka.12
Menurut Mujahid, kata tersebut berarti zumar[an] (berkelompok-kelompok).13 Ibnu Jarir ath-Thabari juga memaknai kata itu dengan zumar[an] zumar[an] wa jamâ’t[an] jamâ’t[an] (berombongan-rombongan dan berkelompok-kelompok).14 Imam al-Qurthubi dan Abu Hayyan menafsirkan kata tersebut dengan umam[an] (umat-per mat), masing-masing umat bersama dengan pemimpin mereka.15
Menurut Atha‘, semua nabi datang bersama dengan umatnya masing-masing. Ini didasarkan pada firman Allah SWT:
يَوْمَ نَدْعُوا كُلَّ أُناسٍ بِإِمامِهِمْ
(Ingatlah) suatu hari (yang pada hari itu) Kami mrmanggil tiap umat dengan pemimpinnya (QS al-Isra‘ [17]: 71).16
Kemudian Allah SWT berfirman: wafutihat al-samâ‘ fakânat abwâb[an] (dibukalah langit, lalu terdapatlah beberapa pintu). Keadaan lainnya adalah langit dibuka langit dalam banyak pintu. Menurut Ibnu Jarir, langit tersebut terbelah, lalu retak-retak, sehingga menjadi jalan-jalan. Padahal sebelumnya merupakan bangunan yang kokoh, tidak ada belahan maupun retakan.17
Setelah terbelah, langit tersebut memiliki abwâb (pintu-pintu). Secara lahir, firman Allah SWT: Fakânat abwâb[an] bermakna semua langit itu menjadi pintu. Akan tetapi, yang dimaksud tidak demikian. Maksudnya, langit itu memiliki pintu yang sangat banyak.18
Menurut Ibnu Katsir, pintu-pintu tersebut menjadi thuruq wa masâlik (jalan-jalan dan tempat lalu-lalang) untuk turunnya malaikat.19 Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, ini sebagaimana firman-Nya:
وَيَوْمَ تَشَقَّقُ السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ وَنُزِّلَ الْمَلَائِكَةُ تَنْزِيلًا
(Ingatlah) hari (ketika) langit pecah-belah mengeluarkan kabut putih dan diturunkanlah malaikat bergelombang-gelombang (QS al-Furqan [25]: 25).20
Kata futihat merupakan bentuk mâdhi (waktu yang telah telah lalu). Penggunaan bentuk mâdhi itu menunjukkan kepastian peristiwa itu terjadi.21
Lalu disebutkan: wasuyyirat al-jibâl fakânat sarâb[an] (dan dijalankanlah gunung-gunung sehingga menjadi fatamorganalah ia). Diberitakan pula bahwa ketika itu gunung-gunung itu suyyirat (dijalankan). Diterangkan dalam beberapa ayat lainnya seperti firman-Nya:
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ
(Ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami memperjalankan gunung-gunung (QS al-Kahfi [18]: 47).
Setelah dijalankan, gunung-gunung itu kemudian menjadi sarâb[an] (fatamorgana). Menurut al-Jazairi, itu berarti mitsl as-sarâb (seperti fatamorgana). Terlihat ada air, tetapi faktanya tidak ada. Demikian juga dengan gunung-gunung tersebut.22
Menurut Fakhruddin ar-Razi, itu artinya tidak ada sesuatu. Siapa saja yang memandang tempatnya, tidak mendapati sesuatu sebagaimana orang melihat fatamorgana dari kejauhan. Ketika dia mendatangi tempat tersebut, dia melihat tidak ada sesuatu pun.23
Menurut Ibnu Jarir, gunung-gunung itu dirobohkan dan dicabut dari pangkalnya, kemudian menjadi debu yang beterbangan, yang tampak oleh orang yang melihatnya seperti fatamorgana; sesuatu yang disangka oleh orang yang melihatnya dari jauh adalah air, namun pada faktanya hanya debu.24
Kepastian Hari Kiamat
Ayat-ayat ini memberikan banyak pelajaran penting bagi kita. Di antaranya adalah: Pertama, kepastian Hari Kiamat. Jika pada awal ayat ini diberitakan tentang keraguan sebagian orang tentang kedatangan Hari Kiamat, maka ayat ini meastikan bahwa Hari Kiamat itu pasti terjadi. Tak seorang pun mengetahui kapan persisnya, juga tidak seorang pun bisa memajukan atau menundanya. Akan tetapi, itu telah ditetapkan Allah SWT. Dalam ayat ini dtegaskan bahwa Hari Kiamat itu mîqât[an] (suatu waktu yang telah ditetapkan).
Kedua, Hari Kiamat merupakan yawm al-fashl. Sebagaimana telah dipaparkan, pada hari itu Allah SWT memutuskan berbagai perkara di antara hamba-Nya. Allah SWT berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ
Sungguh Tuhanmu, Dialah Yang memberikan keputusan di antara mereka pada Hari Kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya (QS as-Sajdah [32]: 25).
Patut diingat, dalam mengadili dan memutuskan perkara para makhluk-Nya, hukum yang digunakan adalah hukum-Nya, bukan hukum yang lain. Allah SWT berfirman:
إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ بِحُكْمِهِ
Sungguh Tuhanmu akan menyelesaikan perkara di antara mereka dengan hukum-Nya (QS an-Naml [27]: 78).
Ketiga, dibangkitkan seluruh manusia dari kubur mereka, dan mereka datang ke Padang Mahsyar secara berkelompok-kelompok. Dalam ayat ini disebutkan mereka datang secara afwâj[an] (berkelompok-kelompok).
Keempat, terjadi berbagai peristiwa yang mengubah wajah alam semesta. Langit yang digambarkan dalam ayat sebelumnya (ayat 12) diciptakan sebagai bangunan yang kokoh dan tidak ada berlobang, pada Hari Kiamat dibuka dengan memiliki banyak pintu. Sebagaimana diterangkan dalam QS al-Furqan [25]: 25, pintu-pintu itu menjadi jalan para malaikat yang turun dari langit.
Demikian juga dengan gunung-gunung. Jika saat ini terlihat menjulang tinggi dan kokoh, pada Hari Kiamat kelak gunung-gunung itu dicabut dari pangkalnya, lalu dihancurleburkan menjadi debu beterbangan, yang terlihat seperti fatamorgana.
Itu di antara peristiwa yang akan terjadi pada Hari Kiamat. Bagi orang yang menggunakan akalnya dengan benar, tentu tidak sulit untuk meyakini semua itu. Tatkala dia melihat kekuasaan Allah SWT yang tergelar di alam semesta, termasuk dirinya, maka tidak sulit bagi dia meyakini bahwa Allah SWT juga berkuasa untuk menghancurkan atau mengubah semua itu menjadi bentuk lain. Ketika Allah SWT berkuasa menciptakan manusia dari ketiadaan, tentu Dia juga mampu untuk menghidupkan manusia kembali.
Demikianlah. Ayat-ayat ini mengingatkan kepada kita semua bahwa Hari Kiamat pasti terjadi. Tak ada seorang pun bisa menghalangi ketika waktu yang telah Dia tentukan telah tiba. Dengan mengingat Hari Kiamat, kita akan sibuk mempersiapkan semua bekal untuk menghadapinya.
Wal-Lâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
- Ahmad Mukhtar, Mu’jam al-Lughah al-Mu’âshirah (tt: ‘ALam al-Kutub, 2008), 638
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 304; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 385
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 175; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 1994), 441; al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 30 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998), 15
- Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsî, 4 (Madinah; Maktabah al-Ulum wa al-Hikam, 2003), 503. Lihat juga dalam al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 157
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 304
- Al-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, 30, 15. Lihat juga al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 441.
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19, 175; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 441; al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, vol. 15 (Beirut: Dat al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 201
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 441; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tabzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 387
- Al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, 15, 202; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 385
- Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, 5 (Beirut: Darul al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), 279
- Az-Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr, 30, 15
- Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 687
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 304
- At-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fîl al-Qur‘ân, 24, 157. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 441
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19, 175; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 385
- Al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 31 (Beirut: Dar Ihya al-Turtas al-‘Arabi, 1420 H), 12
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fîl al-Qur‘ân, 24, 158
- Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, 5, 441. Lihat juga ; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’ânî al-Tabzîl, vol. 4, 387; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10, 385
- Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 305.
- Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, 19, 175; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 441
- Al-Alusi, Rûh al-Ma;ânî, 15, 202
- Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsî, 4, 355
- Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 31, 14
- Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fîl al-Qur‘ân, 24, 158. Penjelasan yang sama juga disampaikan oleh al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 441