Sesaat setelah Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto mengumumkan rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), sontak saja HTI langsung menjadi headline di berbagai media massa baik televisi, cetak, radio maupun portal berita online. HTI menjadi buah bibir berbagai kalangan masyarakat baik pro maupun kontra.
“Pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI,” ujar Wiranto saat jumpa pers, Senin, 8 Mei 2017 di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat. Saat membacakan keputusan tersebut, Wiranto memaparkan tiga alasan pembubaran.
Ketiga alasan pembubaran tersebut dinilai Juru Bicara HTI tidak memiliki dasar sama sekali. “Tidak memiliki dasar sama sekali. HTI adalah organisasi legal berbadan hukum perkumpulan (BHP). Sebagai organisasi legal, HTI mempunyai hak konstitusional untuk melakukan dakwah yang amat diperlukan untuk perbaikan bangsa dan negara ini,” ungkapnya dalam konferensi persnya, Selasa, 9 Mei di Kantor DPP HTI, Jakarta Selatan.
Melalui kegiatan dakwah yang dilakukan secara intensif di seluruh wilayah Indonesia, HTI telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan SDM negeri ini yang bertakwa dan berkarakter mulia. Ini tentu sangat diperlukan di tengah berbagai krisis yang tengah dialami oleh negara ini seperti korupsi yang berpangkal pada lemahnya integritas SDM yang ada.
HTI juga terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang bakal merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU Sisdiknas dan lainnya; sosialisasi anti narkoba; menentang gerakan separatisme dan upaya disintegrasi. HTI pun terlibat dalam usaha membantu para korban bencana alam di berbagai tempat, seperti tsunami Aceh (2004), gempa Jogjakarta (2006) dan lainnya.
Oleh karena itu, alasan pertama Wiranto menyebut “sebagai ormas berbadan hukum, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional,” secara faktual terbantahkan.
Alasan kedua, yaitu “kegiatan yang dilaksanakan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas,” juga tidak memiliki dasar yang otentik. Lantaran tidak ada HTI dalam tulisan, pernyataan atau dalam buku-bukunya menyatakan seperti yang dituduhkan tersebut.
“Tidak ada HTI dalam tulisan, pernyataan atau dalam buku-bukunya menyatakan seperti yang dituduhkan tersebut,” tegas Ismail.
Adapun alasan ketiga, yakni “aktivitas yang dilakukan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI,” tentu saja sangat mengada-ada.
“Itu tudingan yang mengada-ada. Secara faktual, HTI selama lebih dari 20 tahun telah terbukti mampu melaksanakan kegiatan dakwahnya secara tertib, santun dan damai, serta diselenggarakan sesuai prosedur yang ada. Tidak pernah ada benturan atau keresahan masyarakat,” bebernya.
Kalaupun ada, lanjut Ismail, itu lebih terjadi pada awal tahun 2017 ini. Itu pun lebih tepat disebut gangguan, bukan benturan. Jadi dalam hal ini HTI itu korban, ketika hendak menyelenggarakan kegiatan diganggu oleh pihak lain. Mestinya yang disalahkan adalah pengganggu itu. Bukan malah menyalahkan korban.
Pernyataan Ismail tersebut merujuk pada aksi anarkis berupa ancaman dan pembubaran sepihak oleh ormas tak bertanggung jawab dalam pemanasan maupun acara Masirah Panji Rasulullah saw. (Mapara) yang diselenggarakan HTI di 36 kota besar di Indonesia. Bukannya menindak secara tegas aksi intoleran itu, Polisi malah seakan menjadi backing perampasan bendera Nabi saw. berwarna hitam dan putih serta pemukulan terhadap aktivis HTI hingga jatuh.
Jadi jelas, yang mengancam keamanan dan ketertiban adalah ormas yang tak bertanggung jawab tersebut beserta aksi pembiaran yang dilakukan Kepolisian. “Pembiaran itu merupakan pelanggaran HAM warga negara itu,” tegas Komisioner Komnas HAM Manajer Nasution menanggapi aksi perampasan atribut dan pemukulan terhadap aktivis HTI awal April 2017 lalu.
Namun, media massa corong rezim represif tak peduli dengan fakta yang sebenarnya terjadi. Mereka lebih senang menari dengan gendang yang ditabuh Wiranto. Dalam beberapa headline pemberitaan mereka menyatakan HTI telah dibubarkan sSerta menganggap seluruh aktivitas HTI menjadi ilegal. Berbagai ulasan di televisi pun seolah-olah menunjukkan pidato Wiranto tersebut merupakan pembubaran HTI.
Padahal, seperti diberitakan mediaumat.-com, 10 Mei 2017, dalam pernyataan resminya Wiranto hanya mengatakan, “Pemerintah perlu mengambil langkah–langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI.” Kata perlu dalam pernyataan tersebut menunjukkan pada 8 Mei 2017 tersebut “tidak” terjadi pembubaran. Yang terjadi adalah pengumuman bahwa Pemerintah berencana mengambil langkah hukum agar HTI dibubarkan. Artinya, berdasarkan UU yang berlaku, hingga detik ini HTI masih merupakan ormas berbadan hukum yang dilindungi hukum dalam beraktivitasnya.
“Surat peringatan saja belum pernah diterima HTI. Tidak pernah ada pembubaran ormas melalui pidato,” ujar Ismail Yusanto, beberapa saat setelah berita yang menyatakan “HTI Resmi Dibubarkan” mencuat.
HTI menilai langkah Pemerintah untuk pembubaran tersebut harus dihentikan. “Langkah Pemerintah ini harus dihentikan, karena menghentikan dakwah bukan saja bertentangan dengan UU, tetapi hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat juga bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri,” tegas Ismail.
Banjir Dukungan
Sehari setelah pengumuman Pemerintah akan membubarkan HTI, puluhan ulama Banten menolak rencana tersebut dengan memberikan dukungan kepada HTI dalam acara Mudzakarah Ulama, Selasa (9/5/2017) di Ponpes Massa’aratul Muhtajin Kesultanan Banten Lama Kasmen Pimpinan KH TB Fathullah Adzim.
“Tidak usah takut. Ulama Banten membela Hizbut Tahrir. Terus berjuang. Kita menolak dan menentang upaya Pemerintah membungkam ormas Islam. Negara memang sedang kalangkabut. Kita pantang mundur. Walaa takhaf, jangan takut,” tegas KH Fathoni dari Kota Cilegon.
Esoknya, 10 Mei 2017, giliran ulama Bogor yang bersuara. Sekitar 70 kiai dan ustadz Kota dan Kabupaten Bogor dengan tegas menolak rencana pembubaran HTI dalam Silaturahmi Ulama Bogor Bela Ormas Islam di Maejlis Shalawat Muabbad Ponpes Istiqomah Pasir Muncang Gadog Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Di Garut, bukan hanya para ulamanya saja yang berkumpul, tetapi ribuan umat Islam juga dari berbagai ormas di antaranya Muhammadiyah, Persis, KOKAM, PII, NU, G3, HMI, KAMMI. Mereka mengikuti tablig akbar Aliansi Umat Islam Garut yang antara lain menolak pembubaran HTI, Kamis (11/5/2017) di Alun-Alun Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Di tempat lain, seratus kiai, ustadz dan habib Jabodetabek dan sekitarnya dengan tegas juga menyatakan menolak rencana Pemerintah membubarkan HTI, Kamis (11/5/2017) dalam acara “Mudzakarah Ulama dan Habaib Jabodetabek: Tolak Pernyataan Menkopolhu-kam” di Ma’had Daarul Muwahhid Pimpinan KH Shoffar Mawardi, Srengseng, Kembangan, Jakarta Barat.
Pimpinan Majelis Zikir Ratibul Haddad Habib Khalilullah bin Abu Bakar Al-Habsy menyatakan HTI tidak menyimpang dari seruan Islam. HTI dari awal penyebaran dakwahnya di negeri ini telah banyak membantu negara dan bangsa Indonesia ini mencetak generasi-gerasi yang jujur, patuh dan taat.
Ketua MUI Kota Depok KH Achmad Nawawi malah menegaskan jutsru HTI itu pengamal Pancasila sejati.
Pada Jumat (12/5/2017), para kiai dan ustadz Magetan dan sekitarnya menyatakan sikap yang sama di kediaman Ustadz Anas, Cepoko, Panekan, Magetan, Jawa Timur. “Saya tahu HTI perjuangannya ikhlas tanpa pamrih, dan ini sudah langka. Saya tidak suka ada pihak yang menghalangi dakwah Islam. Ini tabiatnya iblis,” ujar Ustadz Anas.
Pengasuh PP Al Muslimun Magetan KH Imam Bukhori menyatakan umat Islam jangan risau jika HTI dibubarkan. Tetap tawakal saja kepada Allah SWT. Pasti akan ditolong oleh Allah, tetapi syaratnya harus tetap istiqamah.
Selain para ulama, tokoh-tokoh nasional dan para pakar serta praktisi hukum juga mempermasalahkan rencana pembubaran HTI. Dukungan terhadap HTI tersebut dipublikasikan setiap hari melalui berbagai media sosial (medsos) dan dibagikan oleh masyarakat baik aktivis HTI maupun bukan. Maklumlah di televisi dan media mainstream pemberitaannya dikuasi dan diplintir segelintir orang untuk mencitraburukan HTI.
Menolak Tuduhan Pemerintah
Sepertinya rezim represif anti Islam ini sadar, upaya legitimasi sosial yang mereka galang untuk membubarkan HTI ternyata gagal total. Kini giliran Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Budi Gunawan untuk menakut-nakuti masyarakat agar memberikan dukungan untuk membubarkan HTI di luar jalur hukum dengan alasan keadaan darurat. Pasalnya, tidak ada satu delik pun yang dapat menjerat HTI, bila rencana pembubaran ini di bawa ke meja hijau.
Dengan tegas, pernyataan pemilik rekening gendut mantan ajudan Megawati tersebut dibantah oleh pakar dan praktisi hukum Muhammad Mahendradatta. “Keadaan darurat tidak bisa diterapkan karena HTI bersih dari unsur kekerasan,” tegas Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) tersebut, Jumat (12/5/2017).
Pada hari yang sama, Wiranto kembali meneror masyarakat dengan memonsterisasi Khilafah sebagai ideologi yang mengancam NKRI. Dengan tegas Ismail Yusanto pun membantahnya. Menurut Ismail, Wiranto telah melakukan tudingan semena-mena. Ia juga menegaskan Khilafah adalah ajaran Islam. Dalam UU Ormas tidak disebutkan bahwa Islam itu bertentangan dengan Pancasila. Yang disebut bertentangan dengan Pancasila adalah ateisme, komunisme/marxisme dan leninisme. Bukan Islam. Sepertinya halnya shalat adalah ajaran Islam dalam ibadah mahdah, Khilafah adalah ajaran Islam dalam sistem pemerintahan.
“Istilah ideologi khilafah dimunculkan sebagai monsterisasi ajaran Islam. Supaya tampak menakutkan,” ungkap Ismail.
Ismail pun mengungkapkan, sesungguhnya secara riil ancaman utama terhadap negeri ini adalah sekularisme yang makin memurukkan negeri ini, neoliberalisme yang diterapkan negeri ini dan neoimperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Jadi Khilafah itu bukan ancaman. Khilafah itu ajaran Islam. Khilafah justru akan menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Khilafah akan memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi akibat sekularisme, neo-liberalisme dan neo-imperialisme.
Namun, berita di televisi dan media corong rezim represif semakin gencar memfitnah HTI. Kini, mereka tidak lagi mengundang narasumber dari HTI (sebelumnya, meskipun diberi kesempatan berbicaranya sangat dibatasi, namun bisa efektif menyanggah tudingan miring dari pihak yang pro rezim represif sehingga menjadi promosi gratis bagi HTI). Untung saja, dalam waktu yang bersamaan di medsos berbagai kegiatan dan testimoni dukungan masyarakat di berbagai kota bahkan ke pelosok kecamatan pun terus mengalir kepada HTI. Kecaman pun terus dialamatkan kepada Pemerintah sehingga membuat Wiranto prihatin (Tribunnews.com, 16/5/2017).
Dalam waktu yang bersamaan, dukungan berbagai kalangan masyarakat terus mengalir kepada HTI. Lagi-lagi hanya medsos yang mempublikasikannya, baik berupa berita teks, foto maupun video. Namun, Wiranto tampaknya belum putus asa. Ia pun mencoba membodohi masyarakat dengan mengaitkan HTI dengan ISIS. Lagi-lagi televisi dan media corong rezim represif pun mengamininya sebagai headline. Kata Wiranto, petempur ISIS dikhawatirkan mulai pulang kampung ke negara-negara asalnya, termasuk ada yang pulang ke Indonesia. Ancaman terorisme juga muncul dari organisasi yang disinyalir dekat dengan ISIS. “…Saya menyatakan HTI termasuk memiliki hubungan dekat dengan ISIS,” ujar Wiranto di Kantor Kemenristek Dikti, Rabu (17/5/2017).
Kontan saja, para pengguna medsos yang mengetahui fakta sebenarnya langsung menyebarkan link penolakan Hizbut Tahrir terhadap deklarasi Khilafah yang diusung ISIS, juga link berita aktivis HTI yang dibunuh oleh ISIS. Keesokan harinya viral pula sanggahan dari Jubir HTI.
Menurut Ismail Yusanto, fitnah Menkopolhukam Wiranto yang menyebutkan Hizbut Tahrir memiliki hubungan dekat dengan ISIS patut diduga sebagai upaya kotor Pemerintah untuk membubarkan HTI.
“Ini adalah cara kotor pejabat Pemerintah kepada kelompok yang tidak disukainya,” beber Ismail.
Ismail menegaskan pernyataan Wiranto tersebut merupakan fitnah besar. “Ini suatu fitnah besar. Hizbut Tahrir tidak memiliki hubungan sama sekali apalagi hubungan dekat dengan ISIS!” tegasnya.
Menurut Ismail, sikap Hizbut Tahrir terhadap ISIS sangat jelas. Dua atau tiga hari setelah deklarasi Kekhilafahan oleh ISIS, Hizbut Tahrir mengeluarkan pernyataan resmi yang intinya menolak deklarasi tersebut karena dinilai tidak syar’i. Melalui pernyataan tersebut sangat jelas posisi Hizbut Tahrir dengan ISIS, jadi bukan hanya tidak ada hubungan, tetapi bahkan menolak keberadaan ISIS, selanjutnya juga melakukan kritik keras terhadap apa yang terjadi di sana. “Akibat sikap Hizbut Tahrir tersebut, bahkan salah satu anggota senior Hizbut Tahrir dibunuh ISIS,” jelas Ismail.
Semua dalih pembubaran dengan mudah dipatahkan, tetapi rupanya Wiranto masih penasaran. Saran mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie untuk menerbit-kan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) pun diaminkan Jaksa Agung M Prasetyo, Kemendagri Tjahjo Kumolo dan Wiranto. Pada Rabu, 17 Mei, Wiranto menegaskan bahwa rencana pembubaran HTI melalui Perppu merupakan langkah yang sesuai prosedur hukum.
Tentu saja rencana tersebut mendapat kecaman dari para ahli hukum. Salah satunya adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Ia menilai itu sebagai langkah politik yang otoriter.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra juga menegaskan dengan mengeluar-kan Keputusan Presiden (Keppres) atau Perppu justru Presiden Jokowi bisa dimakzulkan karena melanggar norma hukum yang ada, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang di dalamnya mengatur prosedur pembubaran Ormas. Sebab, sumpah jabatan presiden mengatakan akan berlaku adil serta memegang teguh Undang-Undang Dasar 1945, undang-undang, dan segala peraturan dengan selurus-lurusnya. “Pelanggaran sengaja atas sumpah jabatan bisa membuka peluang bagi pemakzulan,” tutur Yusril.
Deklarasi Tim Pembela HTI (TP-HTI)
Untuk melawan pembubaran secara legal, di dibentuk Tim Pembela HTI (TP-HTI): 1000 Advokat Bela HTI, Selasa (23/5) di Kantor Ihza & Ihza Law Firm, Jakarta. HTI menunjuk Yusril Ihza Mahendra sebagai Koordinator Tim Pembela HTI. Yusril pun menyebutkan alasannya menerima pinangan HTI.
“Kami telah menelaah persoalan HTI ini, kami dalam suatu keyakinan bahwa mereka di posisi yang benar. Pemerintah di posisi yang salah. Karena itu kami siap berhadapan dengan Pemerintah dalam membela persoalan HTI ini,” tegasnya.
Ia juga menegaskan tidak ada dasar hukumnya aparat dan Ormas di daerah membubarkan kegiatan HTI. “Di daerah-daerah itu jangan ada aparat polisi, tentara, jaksa atau siapa pun melarang kegiatan-kegiatan HTI. Tindakan pelarangan itu adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku, tidak ada dasarnya!” tegas Yusril.
Sebagai Koordinator TP HTI, Yusril akan menjelaskan secara persuasif kepada publik tentang kedudukan HTI di mata hukum yang berlaku. “Saya memegang amanah ini mewakili rekan-rekan HTI, mengambil langkah-langkah hukum, yang akan dilakukan juga oleh teman-teman (TP HTI, red) di daerah-daerah,” ungkapnya.
Pasalnya, lanjut Yusril, jangankan dibubarkan, dikasih surat peringatan juga belum. Dilarang kegiatan sementara juga tidak. Tiba-tiba di daerah sudah ada aparat kepolisian yang melarang kegiatan HTI. “Tindakan seperti itu adalah tindakan di luar hukum,” pungkasnya. [Joko Prasetyo]