Berbeda dengan kondisi di AS, operasi war on terror di Tanah Air masih mendapat support dari Pemerintah. Ini terlihat dari naiknya anggaran yang dialokasikan Pemerintah untuk BIN, BNPT dan Densus 88. Operasi kontraterorisme yang dilakukan Densus 88 masih senada dengan gaya lama; hardpower yang mengarah pada overacting. Densus 88 masih senang menggunakan tindakan represif dan menggunakan senjata mematikan tersangka teroris ketimbang menangkapnya hidup-hidup. Sikap arogan dan cenderung menggunakan hardpower ini menjadikan siapapun yang sudah dilabeli teroris, meski baru terduga, legal untuk ditangkap, disiksa atau bahkan ditembak mati. Padahal sebagian dari orang yang dituduh teroris adalah warga tidak berdosa.
Strategi represif dan militer dilakukan oleh Polri melalui Densus 88, sementara BNPT secara serius menggarap program deradikalisasi. Ada beberapa target yang disasar oleh BNPT dalam program deradikalisasi ini, yaitu: Pertama, membuat phobia di tengah umat terhadap perjuangan syariah dan Khilafah dengan menciptakan stigma bahwa tujuan terorisme adalah untuk mendirikan Khilafah dan menegakkan syariah Islam. Untuk itu sejumlah even seperti Halqah Nasional Penanggulangan Terorisme digelar di berbagai tempat.
Kedua, mencegah penyebaran dakwah Islam, khususnya dakwah penegakkan syariah dan Khilafah, melalui berbagai penyebaran opini di tengah umat seperti melalui seminar, publikasi hasil penelitian radikalisme sehingga umat akan bersikap antipati terhadap dakwah syariah dan Khilafah serta memusuhi para pengembannya. Berulang di media massa mantan Ketua BNPT Ansyad Mbai menyebut dengan jelas tujuan kelompok teroris adalah ‘untuk mendirikan Negara Islam’.
Ketiga, menciptakan permusuhan terhadap para pengemban dakwah syariah dan Khilafah. Dengan begitu tidak akan ada regenerasi dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat. Dipublikasikan pula hasil penelitian yang mengatakan rohis sebagai sarang teroris. Hal ini ditujukan agar orangtua mewaspadai anak-anak mereka agar tidak terlibat dalam kegiatan pengajian yang menyuarakan syariah Islam dan Khilafah.
Keempat, menebar kecurigaan dan adu domba di tengah umat dengan pola ‘belah bambu’. BNPT merangkul kelompok Islam tradisionalis dan modernis, lalu menginjak kelompok-kelompok garis keras.
Karena itu tentu umat harus selalu waspada atas berbagai propaganda busuk yang ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah Islam. Sebab, jika umat termakan propaganda mereka, alamat umat Islam akan terus berada dalam dominasi dan hegemoni Barat kafir penjajah. Seandainya saja gerakan deradikalisasi dan kontraterorisme tidak didukung oleh media massa sekular, atau ada media massa yang berani mengambil sikap berseberangan dengan mereka, bisa dipastikan program deradikalisasi dan kontraterorisme ini gagal. [Ilham Efendi ; (Dir. Resist Invasion Center)]