Rasul saw. tidak melakukan perbuatan kecuali mengikuti apa yang diwahyukan kepada beliau. Hal itu ditegaskan di dalam al-Quran. Allah SWT berfirman:
﴿قُلْ إِنَّمَا أَتَّبِعُ مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ مِن رَّبِّي﴾
Katakanlah, “Sungguh aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepada diriku.” (QS al-A’raf [7]: 203).
Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepada diriku (QS al-An’am [6]: 50; Yunus [10]: 15).
﴿إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَىٰ إِلَيَّ﴾
Dengan demikian, perbuatan Rasul saw. merupakan bagian dari wahyu yang diekspresikan atau diungkapkan melalui perbuatan beliau. Jadi perbuatan (af’âl) Rasul saw. merupakan bagian dari as-Sunnah, artinya merupakan dalil syariah.
engikuti as-Sunnah, termasuk perbuatan beliau, adalah wajib. Mengikuti (ittibâ’) atau meneladani (at-ta’assi) perbuatan Rasul saw. itu harus persis seperti perbuatan beliau (bi mitsli fi’lihi), sesuai niat dan maksud perbuatan beliau (‘alâ wajhihi) dan dilakukan karena perbuatan beliau (li ajli fi’lihi). Namun, kewajiban mengikuti dan meneladani perbuatan Rasul saw. itu bukan berarti wajib melakukan apapun yang beliau lakukan, tetapi maknanya adalah wajib ittiba’ sesuai dengan perbuatan beliau. Jika perbuatan beliau wajib maka melakukan perbuatan itu adalah wajib. Jika perbuatan beliau sunnah maka melakukan perbuatan itu adalah sunnah. Jika perbuatan beliau mubah maka melakukan perbuatan itu adalah mubah.
Untuk bisa ittibâ’ dan ta’assi terhadap perbuatan Rasul saw. maka harus diketahui status perbuatan beliau itu. Dengan mengetahui status perbuatan Rasul saw. itu maka pelaksanaan atas perbuatan beliau (qiyâmu bi fi’li ar-Rasûl) bisa ditunaikan dengan benar.
Dalam hal ini, perbuatan Rasul saw. ada tiga jenis1: (1) perbuatan jibiliyyah; (2) perbuatan yang menjadi kekhususan beliau; (3) perbuatan yang tidak termasuk keduanya, yakni menjadi tasyrî’ umum bagi kita.
Pertama: Perbuatan Jibiliyyah. Perbuatan jibiliyyah adalah perbuatan Rasul saw. yang beliau lakukan sebagaimana manusia biasa. Perbuatan itu merupakan karakter alamiah manusia, baik Rasul maupun selain beliau, seperti berdiri, duduk, makan, minum, berjalan, tidur dan sebagainya. Perbuatan seperti ini menurut jumhur hukumnya mubah, baik bagi Rasul maupun bagi umatnya; kecuali jika ada dalil yang menjelaskan kesunnahannya, seperti makan dengan tangan kanan, sehingga menjadi tasyrî’ bagi kita dan hukumnya sunnah.
Kedua: Perbuatan yang ditetapkan oleh nas sebagai bagian dari kekhususan Rasul saw. (min khawwâsh ar-Rasûl). Perbuatan ini bukan perbuatan jibiliyyah, namun khusus bagi Rasul saw. saja. Selain beliau justru tidak boleh melakukannya. Misal, puasa wishâl (puasa terus hingga malam), menikahi wanita lebih dari empat orang, kewajiban shalat tahajud pada malam hari, kewajiban shalat witir, kewajiban shalat dhuha, kewajiban berkurban dan sebagainya. Perbuatan itu hanya khusus bagi Rasul saw. dan tidak disyariatkan untuk kita sebagai perkara wajib. Jika perbuatan seperti itu disyariatkan untuk kita maka hal itu kita lakukan sesuai yang disyariatkan untuk kita itu. Misalnya, shalat tahajud, shalat witir atau shalat dhuha kita lakukan sebagai shalat sunnah, bukan seperti Rasul saw. yang melakukan semua itu sebagai wajib.
Ketiga: Perbuatan Rasul selain kedua jenis di atas menjadi tasyrî’ secara umum yang berlaku bagi kita. Terkait perbuatan Rasul saw. jenis ini, kita dituntut untuk mengikuti dan meneladaninya. Untuk itu harus diketahui status perbuatan itu bagi kita apakah wajib, sunnah atau mubah. Ketetuannya adalah sebagai berikut:
Perbuatan Rasul saw. yang bukan jibiliyyah dan bukan kekhususan ini ada dua kategori. Pertama, yang merupakan penjelasan (bayân) atas seruan sebelumnya. Perbuatan ini tanpa diperselisihkan menjadi dalil yang harus kita ikuti. Status hukum perbuatan ini mengikuti status seruan yang dijelaskan (al-mubayyan). Jika yang dijelaskan wajib maka hukum perbuatan itu wajib. Jika yang dijelaskan sunnah maka sunnah melakukannya. Jika yang dijelaskan mubah maka mubah pula melakukannya.
Status perbuatan itu sebagai penjelasan (bayân) kadang dinyatakan dengan perkataan secara jelas (sharîh al-maqâlah). Contoh, perbuatan Rasul saw. dalam bentuk shalat merupakan bayân atas seruan shalat. Hal itu dinyatakan secara sharîh dalam sabda Rasul saw.:
«صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى»
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Perbuatan Rasul saw dalam melaksanakan haji merupakan bayân atas seruan berhaji. Hal itu dinyatakan secara sharih dalam sabda Rasul saw.:
«خُذُوْا عَنِّيْ مَنَاسِكَكُمْ»
Ambillah dariku tata cara haji kalian (HR Muslim dan an-Nasa’i).
Contoh bayân seruan sunnah seperti penjelasan Rasul saw. tentang berkurban. Abu Bardah bercerita: Rasul saw. pernah berkhutbah kepada kami:
«مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَ وَجَّهَ قِبْلَتَنَا وَ نَسَكَ نُسْكَنَا فَلاَ يَضْبَحْ حَتَّى يُصَلِّيَ»
Siapa yang shalat dengan shalat kami, menghadapkan wajahnya ke kiblat kami dan menempuh jalan kami, maka hendaknya ia tidak menyembelih (kurban) hingga ia shalat (‘Idul Adhha) (HR Muslim).
Jabir bin Abdullah berkata:
«نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ»
Kami berkurban bersama Rasulullah saw. pada tahun Hudaibiyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang (HR Muslim, Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Bayân atas seruan mubah misalnya penjelasan tentang memakai cincin: Rasulullah saw memakai cincin di tangan kanan beliau (HR al-Bukhari, Ahmad, an-Nasâi, at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Bayân itu kadang disampaikan sebagai qarâ’in ahwâl (indikasi dalam bentuk perbuatan tertentu), seperti ketika ada lafal mujmal atau umum yang hendak di khususkan, atau lafal muthlaq yang hendak dibatasi, namun belum di-takhshîh atau dibatasi oleh Rasul. Lalu pada saat dibutuhkan, Rasul saw. melakukan suatu perbuatan yang layak dijadikan bayân. Contoh, Rasul saw. memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangan sebagai bayân atas seruan QS al-Maidah [5] ayat 38. Pelaksanaan rajam oleh Rasul saw. merupakan bayân atas had zina. Rasul saw. bertayamum dengan mengusap muka dan tangan sampai siku sebagai bayân seruan tayamum dalam QS an-Nisa’ [4] ayat 43.
Kedua, perbuatan yang bukan merupakan bayân atas seruan sebelumnya sehingga kemungkinan hukumnya bisa wajib, sunnah atau mubah. Perbuatan Rasul saw. itu semata menunjukkan adanya thalab al-fi’li (tuntutan agar dilaksanakan).
Perbuatan Rasul saw. yang bukan merupakan bayân itu diketahui sifat thalab-nya dengan mengaitkan perbuatan beliau itu dengan sejumlah qarînah yang menyertainya. Jadi qarînah (indikator) yang menyertai perbuatan-perbuatan itulah yang akan menentukan apakah thalab perbuatan Rasul saw. itu bersifat pasti sehingga hukumnya wajib, bersifat tidak tidak pasti namun dianjurkan sehingga hukumnya sunnah, ataukah bersifat pilihan sehingga hukumnya adalah mubah. Dalam hal ini hukum melaksanakan perbuatan Rasul saw. itu sesuai dengan sifat yang ditunjukkan oleh qarînah tersebut; apakah wajib, sunnah atau mubah.
Namun, dari penelaahan, kadang ada perbuatan Rasul yang tidak diketahui sifatnya. Dalam hal ini perlu dilihat: Jika dalam perbuatan itu tampak adanya maksud taqarrub kepada Allah, maka hukumnya sunnah. Pasalnya, adanya maksud taqarrub jelas menunjukkan bahwa melaksanakan lebih dikuatkan dari meninggalkan. Keberadaan perbuatan itu tidak ada sanksi atas meninggalkannya, menunjukkan thalab-nya tidak jâzim sehingga hukumnya mandûb. Contohnya membaca doa qunut pada shalat subuh. Beliau melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya. Karena mengandung maksud taqarrub kepada Allah maka melakukannya lebih dikuatkan sehingga hukumnya sunnah.2
Jika dalam perbuatan itu tidak tampak maksud taqarrub kepada Allah maka melakukannya adalah mubah. Hal itu karena kenyataan bahwa Rasul melakukannya menunjukkan thalab. Kenyataannya bukan termasuk perbuatan untuk ber-taqarrub kepada Allah maka tidak menunjukkan adanya tarjîh untuk melakukannya, bahkan justru bisa dipahami tidak adanya tarjîh (penguatan) untuk melakukannya dari pada meniggalkannya. Jika ini dikaitkan dengan dalâlah thalab maka menunjukkan thalab itu adalah takhyîr (pilihan), artinya diberi pilihan untuk melakukan atau tidak melakukan, dan hal itu berarti hukumnya mubah. Contohnya, berdiri ketika ada jenazah yang lewat, megundang jamuan makan untuk uslûb dakwah, dsb.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Lihat, al-‘Allamah Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/84-88; Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, I/226-seterusnya; Syaikh ‘Atha’ ibn Khalil Abu ar-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, hlm. 75-76; Abu al-Husain al-Bashri, al-Mu’tamad, I/377; Ibnu al-Amir al-Haj, At-Taqrîr wa at-Tahbîr, II/302; as-Subki, Al-Ibhâj, II/172; Al-Isnawi, Syarh al-Isnawî, II/240; asy-Syaukani, Irsyâdu al-Fuhûl, hlm. 31; Wahbah az-Zuhaili, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqhi, hlm. 43-45.
- Lihat: HR al-Bukhari, hadis no. 3781; HR Muslim, hadis no. 1087, 1088; HR Abu Dawud, hadis no. 1233; dll.