HTI

Catatan Jubir (Al Waie)

Perubahan


Adagium mengatakan, tidak ada yang tetap di muka bumi ini kecuali perubahan. Semua selalu berubah dan akan terus berubah. Bisa ke arah yang baik, bisa juga sebaliknya, bergantung pada siapa yang menggerakkan dan nilai-nilai apa yang menjadi dasar perubahan itu. Oleh karena itu, bila kita menginginkan perubahan ke arah yang baik, orang-orang yang baik tidak boleh tinggal diam. Mereka harus menjadi penggerak perubahan, dan pastikan perubahan itu terjadi dengan dasar nilai-nilai yang baik.

++++

Dakwah adalah bagian penting dari ajaran Islam yang menjadi instrumen utama perubahan. Islam sesungguhnya adalah agama yang sangat pro terhadap perubahan (pro-change). Boleh dikatakan tidak ada bagian dari ajaran Islam yang tidak ditujukan bagi perubahan. Lihatlah, meski kita mungkin sudah merasa bertakwa, dalam khutbah Jumat, misalnya, masih saja terus diserukan untuk lebih bertakwa. Ini menjadi esensi dari khutbah Jumat. Tidak boleh dilupakan. Harus selalu disampaikan, agar orang terus berubah menjadi lebih baik.

Lalu mengapa dakwah? Melalui dakwah, ajaran Islam bisa diketahui, dipahami, dihayati dan diamalkan sehingga membentuk perilaku. Perilaku yang dilakukan secara bersama dalam kurun waktu yang panjang akan menghasilkan budaya. Jadi, dakwah akan menghasilkan budaya. Budaya yang baik. Dalam aneka sisi dan aspek. Jadi, dakwahlah yang  akan membentuk budaya, bukan sebaliknya. Pasalnya, dakwah bersumber dari nilai-nilai islami yang tetap, sedangkan budaya tumbuh sebagai hasil relasi nilai dan perilaku manusia yang akan selalu berubah.

Tahun 70 – 80-an, misalnya,  bila kita hadir dalam acara pesta atau resepsi  pernikahan di kota-kota di Jawa khususnya, selepas mata memandang akan tampak ibu-ibu yang hadir berpakaian kebaya dengan gelung menghiasi rambut kepalanya. Waktu itu memang seperti itulah corak pakaian yang dianggap resmi untuk resepsi pernikahan. Sekarang, lihatlah, keadaan sudah sangat jauh berbeda. Hampir tidak ada lagi perempuan  yang berpakaian seperti itu. Yang tampak sekarang adalah kerudung.

Ya, kerudung, yang pada awal tahun 80-an sempat begitu dimusuhi. Waktu itu, siswi-siswi SMA di Bandung, Bogor, Jakarta, juga Surabaya, setelah menemukan kesadaran baru dalam berpakaian, melengkapi seragam sekolahnya dengan kerudung. Namun, alih-alih mendapat apresiasi, mereka justru mendapat pelarangan dan intimidasi. Akhinya, karena bersikeras tak mau melepas kerudung, mereka dipecat dari sekolah atau dipaksa mengundurkan diri. Nasib serupa dialami banyak mahasiswi di berbagai perguruan tinggi. Di Yogjakarta, misalnya, ada mahasiswi perguruan tinggi besar ketika hendak ujian dihalangi. Dia harus memilih, boleh terus ikut ujian dengan harus melepas kerudung atau tetap berkerudung tetapi tidak bisa ikut ujian. Pendek kata, kerudung dianggap sebagai simbol ekstremisme agama. Siapa saja yang memakai kerudung akan dituduh macam-macam, termasuk tudingan anti Pancasila.

Berkat dakwah yang dilakukan secara konsisten, suasana berubah. Kerudung kini tidak lagi dimusuhi. Bahkan setelah 11 tahun tak henti diperjuangkan, akhirnya kerudung ditetapkan resmi menjadi bagian dari seragam sekolah SMA, SMP bahkan juga SD. Kini kita sudah sangat biasa melihat perempuan, bahkan juga anak-anak, berkerudung. Belum lama polisi wanita juga boleh berkerudung. Lalu menyusul wanita TNI juga boleh memakai pakaian yang puluhan tahun lalu sempat begitu dibenci.

Bukan hanya soal kerudung. Di lapangan ekonomi, ketika pertama kali di tahun 1973 mulai dicetuskan, gagasan bank syariah juga ditolak mentah-mentah. Para pegiatnya juga mendapat tudingan macam-macam. Namun, usaha untuk mengembangkan bank tanpa riba itu tidak pernah surut. Hasilnya, 19 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1992 berdirilah Bank Muamalat. Ini bank syariah pertama, yang didirikan dengan memanfaatkan loop hole kebolehan bank memungut zero interest (bunga 0%) dalam UU Perbankan ketika itu yang mewajibkan tiap bank memungut bunga. Beberapa tahun kemudian, untuk mengakomodasi perkembangan bank syariah yang  tumbuh pesat, UU Perbankan diubah dengan memasukkan satu pasal khusus tentang bank syariah.   Itu pun tak cukup. Karena sifat dasar perbankan syariah sangatlah berbeda dengan bank konvensional, akhirnya dibuat khusus UU Perbankan Syariah meski tetap dalam payung besar sistem perbankan konvensional.

Jadi, ketika dakwah terus dilakukan, perubahan pasti akan terjadi, dan akan terus terjadi. Mengapa? Seruan dakwah itu akan mempengaruhi ruang berpikir manusia. Ketika pemikiran orang berubah, berubah pula tanggapan terhadap ajaran Islam. Yang dulu ditolak, kini diterima, bahkan dibela. Yang dulu dianggap buruk, kini dianggap baik, dan makin banyak orang tertarik. Dulu dibenci, kini dicintai.  Ketika pemikiran orang berubah, berubah juga perlakunya.

Contoh lain, ketika didirikan, Bank Muamalat tidaklah menggunakan kata syariah. Ada resistensi cukup tinggi terhadap istilah ini. Namun, lagi-lagi berkat dakwah, resistensi itu terus menyurut meski belum bisa disebut hilang sama sekali. Kini istilah syariah sudah sangat populer. Dipakai dalam berbagai bentuk usaha. Selain bank syariah atau asuransi syariah, pegadaian syariah, ada juga hotel syariah, perumahan syariah, kolam renang syariah dan salon  syariah dan lainnya.

++++

Jadi, teruslah berdakwah. Tak mengapa bila apa yang kita sampaikan itu dikatakan tak cocok atau tak sesuai dengan budaya masyarakat sekarang. Kerudung dulu juga dianggap tak cocok dengan budaya masyarakat. Bank syariah bahkan nyaris tak ada tempat sama sekali dalam sistem perbankan nasional. Istilah syariah pun awalnya dianggap menyeramkan. Begitulah memang. Selalu ada jarak antara yang semestinya menurut ajaran Islam dan yang ada di tengah masyarakat senyatanya. Selalu ada beda antara das sein dan das solen. Justru karena itulah diperlukan dakwah untuk menjelaskan, memahamkan serta meyakinkan sebelum akhirnya diamalkan. Dengan begitu tak ada lagi jarak antara ajaran dan kenyataan.

Oleh karena itu penting sekali terus membuka pintu bagi penyampaian dakwah kepada masyarakat. Inilah satu-satunya pintu perubahan ke arah yang baik menurut tolok ukur Islam. Karena itu setiap usaha menutup pintu dakwah harus ditolak. Jikalau satu pintu ditutup, dakwah tidak boleh berhenti. Harus dicari pintu lain. Seperti air. Ketika jalannya ditutup, ia akan bergerak ke kiri atau ke kanan. Ketika kiri kanan juga tertutup, dia akan bersabar mengumpulkan kekuatan untuk mendobrak bendungan penghambat jalan itu.  Ketika bendungan terlalu kuat, ia tetap tak menyerah. Dengan bantuan sinar matahari, air mengubah dirinya menjadi uap. Lalu karena angin ia bergerak melintasi bendungan. Ketika udara dingin, uap air itu berubah kembali menjadi tetes-tetes air lalu jatuh ke bumi, dan bergerak lagi. Terus, tak pernah berhenti.

Demikianlah, 1001 satu hambatan dakwah datang silih berganti dalam nama Fir’aun, kafir Quraisy, Persia, Romawi, Konstantinopel, Kapitalisme, Komunisme, Sekularisme, Orde Lama, Orde Baru, rezim ini, rezim itu, termasuk rezim koplak atau lainnya. Semua tumbang dan pasti tumbang. Adapun dakwah terus berjalan. Tak pernah benar-benar bisa dihentikan oleh siapapun, kecuali oleh Allah SWT, ketika Kiamat tiba. [HM Ismail Yusanto]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*