HTI

Iqtishadiyah

Tawaran Solusi Ekonomi Dari Hizbut Tahrir


Sebagai sebuah partai politik Islam, Hizbut Tahrir (HT) telah mengadopsi pemikiran Islam yang komplit untuk membangun kembali kehidupan yang islami. Partai yang didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhan ini, salah satu pemimpin umat terbaik Universitas Al-Azhar,  senantiasa hadir untuk memberikan solusi Islam atas berbagai problem yang muncul di tengah-tengah umat.  Pada saat yang sama, kelemahan pemikiran selain Islam, terutama kapitalisme dan sosialisme-komunisme beserta turunannya, diungkap baik dari tataran filosofis, implementasi, hingga pertentangannya dengan Islam. Dengan demikian risalah Islam yang paripurna senantiasa aktual dalam menyelesaikan berbagai problematika manusia.

Di antara aspek yang dibahas secara mendalam oleh HT adalah aspek ekonomi. Hal ini karena ekonomi, di samping politik, merupakan ide yang paling banyak berpengaruh pada kehidupan manusia. Tak aneh jika negara-negara Barat banyak merekayasa ide-ide di bidang ini, termasuk upaya mereka menerapkannya di tengah-tengah umat manusia, tak terkecuali umat Islam.

Pemikiran-pemikiran HT dalam aspek ekonomi bertebaran di berbagai buku, booklet dan selebaran yang dikeluarkan oleh partai ini. Salah satunya adalah Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam). Buku ini tidak hanya menelanjangi kelemahan pilar-pilar utama sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme-komunisme, namun juga merumuskan sebuah sistem ekonomi Islam secara komprehensif dan sistematis.

Buku lainnya adalah Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah). Buku ini antara lain merinci secara sistematis model kebijakan fiskal negara Khilafah. Sumber-sumber  penerimaan dan pengeluaran negara dipaparkan secara gamblang dengan merujuk pada dalil-dalil syariah dan pendapat para ulama salaf. Buku ini juga memaparkan pokok-pokok sistem moneter dalam Islam. Pembahasan mengenai keunggulan mata uang dinar dan dirham atas uang kertas melengkapi isi buku ini.

Referensi lain yang dikeluarkan oleh HT dalam bidang ekonomi adalah As-Siyâsah al-Iqtishâdiyyah al-Mutsla’ (Politik Ekonomi Ideal). Selain itu di dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr (Rancangan Undang-undang Dasar) HT juga menguraikan secara rinci pasal-pasal dalam bidang ekonomi yang akan diterapkan dalam sebuah negara.

Amir HT saat ini, al-‘Alim Atha Abu Rasythah, secara khusus juga telah menulis dua buku khusus mengenai ekonomi, yaitu Krisis Ekonomi, Sebab dan Solusinya Menurut Islam dan Politik Industrialisasi dan (Metode) Membangun Negara Industri. Beliau juga aktif memberikan analisis mengenai perkembangan ekonomi, baik yang berskala global dan regional. Selain itu, beliau banyak mengeluarkan pandangan dan ijtihad mengenai pemikiran dan hukum ekonomi dan bisnis yang terjadi dalam kehidupan umat dewasa ini, termasuk yang terjadi di Indonesia.

 

Kontribusi Nyata

Kehadiran HT di negara ini telah memberikan kontribusi nyata, baik dari aspek pemikiran maupun tindakan, untuk membenahi dan memajukan negara ini, termasuk di bidang ekonomi. Pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh HT, yang notabene murni pemikiran Islam, telah memberikan warna baru yang mencerahkan mengenai konsep ekonomi yang ideal bagi negara ini.

Berbagai persoalan ekonomi yang membelenggu negara ini, bagi HT, merupakan dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang sangat liberal. Selama sistem ini diterapkan, cita-cita negara ini untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tak akan pernah tercapai.

Buktinya, sejak merdeka secara de jure lebih dari 70 tahun, kemiskinan, pengangguran, kesenjangan ekonomi, masih menjadi persoalan yang amat pelik untuk diselesaikan. Bukan Indonesia saja yang mengalami problem yang disebabkan oleh kapitalisme. Negara-negara yang menjadi kampiun dalam menerapkan sistem ini, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, juga terus bergulat dengan berbagai krisis ekonomi dan berbagai persoalan ekonomi lainnya.

Selain melakukan koreksi yang cukup tajam, HT juga secara serius memberikan solusi atas berbagai persoalan yang menimpa negara ini, termasuk dalam bidang ekonomi. Ketika krisis ekonomi mengguncang Indonesia, dan negara-negara Asia lainnya, tahun 1997, HT secara khusus mengeluarkan booklet yang berjudul Keguncangan Pasar Modal: Sebab dan Solusinya Menurut Islam. Menurut HT, krisis pada saat itu disebabkan oleh tiga hal utama: eksistensi perseroan terbatas dan pasar modal yang menjadi ajang spekulatif, perbankan ribawi, serta mata uang kertas yang tak ditopang oleh aset riil (fiat money). Krisis yang kembali menimpa Indonesia tahun 2008 semakin mengukuhkan kebenaran pendapatan HT, bahwa sektor keuangan dan moneter negara ini dan juga negara-negara kapitalisme amat rapuh.

HT juga secara aktif melakukan koreksi yang bersifat konstruktif terhadap berbagai kebijakan rezim negara ini yang dianggap semakin liberal, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan turunannya. HT, misalnya, telah mengkritisi berbagai undang-undang yang dipandang menyalahi Islam, menzalimi rakyat, merugikan dan mengancam kemandirian negara, serta sarat dengan kepentingan asing. UU tersebut antara lain: UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Pelaksana Jaminan Sosial, UU Mineral dan Batubara, dan sebagainya. Bahkan sejak UU tersebut dirancang, dibahas oleh Pemerintah dan DPR, hingga sebagian diajukan ke Mahkamah Konstitusi, HT terlibat aktif memberikan koreksi sekaligus solusi baik dalam bentuk diskusi, presentasi hingga aksi di berbagai kota dan provinsi.

HT juga secara lugas menentang berbagai kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan APBN. Dengan mengadopsi sistem kapitalisme, pendapatan negara ini didominasi oleh pajak. Akibatnya, pajak hampir hadir dalam berbagai sendi kehidupan rakyat. Miskin ataupun kaya harus membayar pajak. Di sisi lain, orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan besar, seperti perusahan tambang dan teknologi, saat ini masih banyak yang luput dari penarikan pajak. Bahkan para pemodal dan wajib pajak kakap diberi fasilitas istimewa dalam hal pajak. Kebijakan tersebut antara lain tax amnesty (pengampunan atas denda pajak), tax holiday (pembebasan pajak), tax allowance (pengurangan pajak), dan sebagainya.

Pada saat yang sama, sumber-sumber potensial penerimaan negara, terutama dari pengelolaan sumberdaya alam, justru banyak diserahkan kepada swasta terutama pihak asing. Salah satunya adalah PT Freeport Indonesia.  Perusahaan yang telah menguras emas dan tembaga di Papua sejak tahun 1965 itu hingga kini selalu mendapat berbagai keistimewaan. Pemerintah bahkan harus merevisi berkali-kali peraturan turunan UU Minerba Tahun 2009 setelah tidak diindahkan oleh perusahaan asal Amerika Serikat itu.

Padahal jika sumberdaya alam negara ini dikelola oleh negara melalui BUMN, pendapatan negara dari sumber tersebut amat besar. Dengan demikian pemasukan dari pajak dapat ditekan bahkan dihilangkan. Apalagi dalam Islam, pajak merupakan alternatif terakhir setelah sumber-sumber pendapatan yang syar’i tidak mencukupi untuk menutupi pengeluaran negara yang wajib untuk ditunaikan. Itu pun hanya dikenakan secara temporal kepada penduduk Muslim yang kaya saja.

Hal lain yang banyak dikritik oleh HT terkait kebijakan Pemerintah dalam mengelola APBN adalah kecanduan Pemerintah untuk berutang. Bahkan utang pada rezim saat ini meningkat pesat dibandingkan rezim sebelumnya. Utang-utang ini telah membebani APBN karena pokok dan bunganya harus dibayar tiap tahun dalam jumlah fantastis. Pada saat yang sama, belanja untuk kepentingan rakyat, khususnya subsidi, terus dikurangi. Yang lebih berbahaya dari itu adalah sebagian dari utang-utang itu banyak ditunggangi kepentingan pemberi utang baik dari lembaga multinasional semisal Bank Dunia dan Asia Development Bank, maupun dari negara-negara kreditur. Pemberian utang dari Pemerintah Cina, misalnya, mensyaratkan agar tenaga kerja dan barang modal proyek-proyek yang dibiayai negara itu harus berasal dari Cina. Selain itu mereka juga menuntut konsesi atas pengoperasian proyek-proyek tersebut. Dengan demikian utang tersebut tak hanya mengandung riba yang diharamkan secara qath’i dalam Islam, namun juga telah menggadaikan kedaulatan negara ini.

HT juga sangat keras mengecam kebijakan Pemerintah yang semakin liberal dalam menangani urusan publik. Hak-hak publik terbengkalai, sementara pihak swasta, khususnya pihak asing, semakin diuntungkan. Peran Pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan semakin minim. Meskipun anggaran telah dipatok 20 persen dalam APBN, namun kenyataannya, penyediaan fasilitas pendidikan formal semakin mahal. Keterbatasan Pemerintah tersebut akhirnya diisi oleh lembaga-lembaga pendidikan swasta. Akses anak usia sekolah, terutama kelas menengah bawah, untuk mengecap pendidikan formal yang berkualitas menjadi semakin terbatas.

Hal serupa terjadi pada penyediaan fasilitas kesehatan. Dengan mengadopsi Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pemerintah telah berlepas tanggung jawab dalam membiayai pelayanan kesehatan rakyat. Rakyat dipaksa untuk membayar premi asuransi setiap bulan, baik mereka sakit ataupun tidak. Jika menunggak, mereka akan dikenakan denda.

Penyediaan air bersih, listrik, bahan bakar dan fasilitas publik semisal jalan tol, juga dilakukan melalui pendekatan bisnis. Subsidi pada barang-barang publik tersebut sebagian besar telah dicabut. Rakyat golongan menengah-bawah, yang jumlahnya mayoritas di negara ini, banyak yang kesulitan untuk menikmati fasilitas tersebut. Yang lebih tragis dari itu, masih banyak rakyat yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka secara layak, baik pangan, sandang dan papan. Pemerintah juga abai dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang menganggur. Kebijakan afirmatif untuk membantu mereka seperti pemberian pelatihan dan bantuan modal amat sangat minim.

Perbedaan kemampuan mengakses berbagai sarana tersebut berdampak pada ketimpangan yang semakin lebar di negara ini. Mereka yang tidak mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang berkualitas baik, asupan gizi yang layak, serta pelayanan kesehatan yang prima, menjadi lebih sulit dalam berkompetisi dalam kegiatan ekonomi yang bertumpu pada persaingan bebas. Padahal pada fitrahnya, rakyat yang hidup di negara ini berbeda-beda dari sisi fisik, mental dan intelektual. Membiarkan mereka yang lemah tentu merupakan tindakan yang biadab dan tak berperikemanusiaan. Inilah prinsip kapitalisme, survival of the fittest. Yang kuatlah yang menang; sementara yang lemah akan tersisih dan tergilas.

 

Motivasi Perjuangan

Kebijakan Pemerintah di atas jelas tidak adil, tidak beradab dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Di dalam politik ekonomi Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap rakyatnya; apapun suku, agama, dan rasnya; baik pangan, sandang maupun papan. Pemerintah juga wajib menyediakan pendidikan, kesehatan dan keamanan secara gratis. Pemerintah pun wajib melakukan berbagai kebijakan afirmatif untuk mengangkat kesejahteraan rakyatnya seperti memberikan lapangan pekerjaan, bantuan usaha seperti modal tanpa bunga, keterampilan, hingga tanah pertanian. Semua hal ini telah diajarkan di dalam Islam. Ia juga telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. dan para khalifah sesudah beliau dalam bingkai negara Khilafah. Inilah politik ekonomi yang diadopsi dan diperjuangkan oleh HT di negara ini.

Demikianlah bentuk keseriusan HT dalam membenahi dan memajukan ekonomi negara ini.  Oleh karena itu, pandangan Pemerintah bahwa HT tidak memberikan kontribusi positif merupakan bentuk pengingkaran, jika tidak dikatakan sebagai kebodohan, terhadap realitas pemikiran dan tindakan HT selama ini.

Meskipun demikian, kiprah dan dakwah HT semata-mata didorong oleh akidah untuk menunaikan seruan Allah SWT; kewajiban untuk mewujudkan partai politik Islam yang menyampaikan kebenaran, melakukan amar makruf dan nahi munkar. Dalam melakukan hal ini, tiada yang diharapkan HT kecuali mengharap keridhaan-Nya. HT tak mengharap balas jasa dan pujian manusia. HT juga tak gentar terhadap celaan orang-orang yang mencela, karena Allah adalah sebaik-baik penolong dan sebaik-baik pelindung.

WalLâhu a’lam bis-shawâb. [Muis]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*