Kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di negeri ini tentu didasarkan pada cita-cita luhur. Apa cita-cita luhur HTI? Betulkah HTI ingin menyelamatkan negeri ini dari segala bentuk penjajahan saat ini? Benarkah HTI ingin negeri ini terlepas dari neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terbukti berbahaya bagi negeri ini? Ini berarti, HTI sesungguhnya tengah melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa, khususnya perjuangan para ulama? Bagaimana caranya? Apa pula kontsribusi HTI bagi negara dan bangsa ini?
Untuk mengetahui jawabannya, Redaksi kembali mewawancarai Juru Bicara HTI, Ustadz M. Ismail Yusanto. Berikut hasil wawancaranya.
Bisa dijelaskan secara singkat tentang Hizbut Tahrir, Ustad?
Ya. Hizbut Tahrir adalah partai, kutlah atau kelompok politik Islam. (Dakwah) politik kegiatannya. Islam sebagai dasar atau mabda’ (ideologi)-nya. Hizbut Tahrir berasal dari kata hizb[un] artinya partai dan tahrîr artinya pembebasan. Jadi, Hizbut Tahrir berarti Partai Pembebasan, Liberation Party atau Party of Liberation.
Hizbut Tahrir berjuang atau berdakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam. Artinya, Hizbut Tahrir dengan dakwahnya ingin mengajak kaum Muslim semuanya untuk mengamalkan kembali seluruh syariah Islam; dalam masalah akidah, ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlak, dakwah, muamalah dan ‘uqûbât dengan jalan menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam institusi Khilafah. HT percaya, hanya melalui institusi Khilafah sajalah syariah lslam dapat diterapkan secara kâffah, ukhuwah dapat diwujudkan secara hakiki dan dakeah ke seluruh penjuru dunia bisa dilancarkan kembali. Saat itulah kerahmatan Islam yang dijanjikan akan bisa dirasakan oleh seluruh manusia, Muslim atau non-Muslim.
Jadi, nyatalah bahwa apa yang diperjuangkan oleh HT adalah demi umat manusia secara keseluruhan. Bukankah kehidupan masyarakat yang adil, damai dan sejahtera itu yang mereka inginkan? Kapitalisme yang kini memimpin dunia telah terbukti gagal mewujudkan tatanan masyarakat yang diidam-idamkan itu. Yang terjadi bukan keadilan dan kesejahteraan, tapi justru ketidakadilan di mana-mana. Bukan pula kedamaian, melainkan konflik dan peperangan yang terus terjadi. Negeri yang semula damai bahkan sekarang hancur diacak-acak oleh mereka.
Bagaimana Hizbut Tahrir cara mewujudkan tujuan itu?
Melalui dakwah. Dakwah fikriyyah, siyâsiyyah, lâ ‘unfiyah (tanpa kekerasan)
Penjelasannya seperti apa, Ustadz?
Perjuangan HT diawali dengan menggugah kesadaran umat Islam akan jatidiri mereka sebagai seorang manusia yang diciptakan Allah SWT untuk beribadah dan mewujudkan kerahmatan Islam di atas muka bumi. Kesadaran ini hanya mungkin dilakukan dengan metode fikriyyah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw., yakni memasukkan pemikiran Islam ke dalam diri umat dan membantah ide-ide atau pemikiran yang tidak islami. Dakwah seperti ini dilakukan tanpa kekerasan (lâ ‘unfiyah) karena kekerasan tidak akan menghasilkan kesadaran. Sesat pikir hanya bisa diluruskan oleh pikiran baru yang lebih benar, bukan dengan kekerasan.
Adapun yang dimaksud dengan dakwah siyâsiyyah adalah dakwah yang menyangkut urusan umat. Ini sesuai dengan definisi politik atau siyâsah yaitu ri’âyah as-su’ûn al-ummah (pengaturan urusan umat). Maksudnya, dalam dakwahnya, HT terlibat dalam berbagai persoalan umat yang nyata, baik dalam kaitan dengan ekonomi, sosial-budaya, pendidikan maupun politik itu sendiri.
Ada tuduhan, meski HT berprinsip lâ ‘unfiyah (tanpa kekerasan), pada akhirnya HT akan menggunakan kekerasan dengan mendorong ahlul-quwwah merebut kekuasaan, misalnya melalui kudeta?
Perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah tentu memerlukan kekuatan, yakni kekuatan politik. Kekuatan politik adalah kekuatan masyarakat didukung oleh ahlul-quwwah dan ahlus-sulthah (orang-orang yang memiliki kekuatan politik dan militer) yang sama-sama telah memiliki kesadaran Islam untuk menuntut perubahan ke arah Islam. Jadi, kekuatan utama adalah umat yang sadar itu. Di sinilah pentingnya penyadaran umat harus terus-menerus dilakukan melalui dakwah fikriyyah. Umat yang tidak sadar justru akan menghalangi tegaknya syariah dan Khilafah seperti yang kita lihat sekarang. Mengapa perjuangan penegakan syariah di Indonesia demikian sulit padahal ini negeri mayoritas Muslim dan hampir seluruh pejabat tingginya pun Muslim? Jawabnya, ya karena banyak yang belum sadar sehingga mereka bukannya mendukung malah menghalangi perjuangan itu. Hanya umat yang sadar yang akan membela syariah dan Khilafah dengan segala cara. Ketika ini terjadi, yang melakukan adalah umat, bukan semata-mata HT.
Thalabun-nushrah atau meminta pertolongan kepada ahlul-quwwah dan ahlus-sulthah adalah bagian dari metode dakwah Rasulullah saw. Rasul saw. pun pernah meminta pertolongan kepada Kaisar Najasyi. Pertolongan itu diperlukan untuk perlindungan terhadap keberlangsungan dakwah atau untuk meraih kekuasaan. Ini yang juga dilakukan ketika Rasulullah meminta pertolongan kepada sejumlah kabilah yang kemudian mendukung Rasul saat hijrah dari Makkah ke Madinah. Boleh jadi pihak penolong itu memiliki kekuatan fisik, kemudian dalam menolong itu umpamanya menggunakan kekerasan. Itu adalah hak yang bersangkutan dalam mewujudkan kehendaknya melindungi orang yang ingin dilindungi.
Adapun kabar bahwa HT terlibat dalam kudeta di sejumlah negara di Timur Tengah, itu tidaklah benar.
HT mendefinisikan diri sebagai partai politik dan aktivitasnya adalah politik. Namun, faktanya HTI berbadan hukum sebagai ormas?
Memang benar HT adalah partai politik dan aktivitasnya adalah (dakwah) politik. Namun, dalam konteks peraturan perundangan yang ada di Indonesia, HT saat ini secara legal formal lebih tepat berada dalam payung legalitas Ormas. Pasalnya, partai politik dalam pengertian sekarang adalah partai yang akan menjadi peserta kontastasi politik dalam Pemilu, sedangkan HTI tidak.
HT menghendaki penerapan syariah melalui kekuasaan secara formal. Ada yang khawatir dengan itu karena masyarakat negeri ini beragam. Bagaimana tanggapan Ustadz?
Pertama, harus dipahamkan bahwa syariah Islam itu bisa dan pasti bisa diterapkan sekalipun dalam masyarakat heterogen atau beragam. Tentu karena Islam memang diturunkan untuk mengatur seluruh umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim. Di bawah pengaturan syariah, warga non-Muslim mendapatkan kebebasan memilih agama dan mengikuti ketentuan agamanya menyangkut masalah-masalah akidah dan ibadah, juga semua hal yang terkait akidah seperti makanan, minuman dan pakaian. Adapun menyangkut muamalah (politik, ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan), semua warga harus tunduk pada syariah Islam.
Dalam sistem Islam warga non-Muslim adalah ahl-dzimmah. Harta, jiwa dan kehormatan mereka harus dilindungi. Hukuman setimpal harus dijatuhkan bagi siapa saja yang mencederai, mengambil harta atau menodai kehormatan mereka meski pelakunya Muslim. Sebagai warga negara, hak-hak non-Muslim dijamin. Tidak ada diskriminasi antara Muslim dan non-Muslim. Mereka dijamin sandang, papan dan pangannya; juga pendidikan, kesehatan dan keamanannya. Inilah bentuk nyata dari apa yang disebut rahmatan lil alamin.
Oleh karena kehebatan Islam, di Spanyol yang pernah 800 tahun dikuasai Islam, hidup damai sejahtera orang-orang Yahudi dan Nasrani. Inilah Espanol in Three Religions. Fakta sejarah juga menunjukkan, tidak pernah tercatat pengusiran dan pembantaian warga minoritas non-Muslim oleh mayoritas Muslim. Bahkan Amr bin al-‘Ash, ketika menaklukkan Mesir dari kekuasaan Romawi yang Kristen, dibantu oleh penduduk suku Koptik yang juga beragama Kristen
Kisah manis kerukunan umat Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayah direkam dengan indah oleh Will Durant dalam The Story of Civilization. Kata Will Durant: Orang-orang yang Yahudi yang ditindas oleh Romawi, membantu umat Islam yang datang untuk membebaskan Spanyol. Tak sedikit pemuda Kristen yang cerdas mempelajari fikih dan bahasa Arab, bukan untuk mengkritik atau meruntuhkannya, melainkan untuk mendalami keindahan gaya bahasanya. Mereka tak segan membelanjakan banyak uang untuk memenuhi perpustakaan mereka dengan referensi Islam dan bahasa Arab.
Namun, dengan ingin menegakkan Khilafah, HT dianggap tidak menghargai konsensus atau kesepakatan pendiri bangsa yang dicapai dengan susah-payah? Bahkan ada juga yang menganggap, dengan ingin menegakkan Khilafah, HT tidak menghargai hasil perjuangan para ulama?
HTI tidak merasa apa yang saat ini diperjuangkan bertentangan dengan apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri bangsa. HTI berjuang untuk melawan penjajahan baru (neo-imperialisme) dan sistem yang menjajah (neo-liberlisme) serta membawa bangsa dan negara ini kepada kemerdekaan yang hakiki. Bukankah para pendiri bangsa dan negara ini tegas menolak penjajahan dengan segala bentuknya? Jadi, dengan apa yang dilakukan, HTI justru merasa sedang melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa itu, termasuk para ulamanya.
Neo-liberalisme dan neo-imperialisme adalah ancaman nyata bagi negeri kita Indonesia. Dalam usaha menguasai negeri ini, negeri imperialis tidak perlu menggirimkan pasukan atau menembakan pelurunya, tetapi cukup mengajukan draft undang-undang yang telah mereka siapkan, hingga lolos menjadi sebuah undang-undang. Lewat perundang-perundang itu, mereka bisa melakukan penguasaan aset negara dan mengeruk kekayaan alam negeri ini dengan legal.
Sejumlah undang-undang penting juga telah diamandemen. Misal, warga non-pribumi bisa menjadi presiden; warga negara asing bisa memiliki properti seratus persen; kepemilikan asing atas sumberdaya alam serta atas faslitas yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti air, jalan tol dan lainnya.
Lihatlah, semua yang melakukan perubahan dan menyetujui undang-undang ini bukan HTI, tetapi justru partai-partai yang berkuasa. Semua ini terjadi bukan karena syariah atau sistem Khilafah, tetapi justru sistem demokrasi liberal yang sedang diterapkan di negeri ini. Jadi bagaimana bisa dikatakan, Khilafah akan mengancam negara ini? Semua itu terjadi saat ini, yakni saat demokrasi liberal mengendalikan kepentingan negeri ini. Merekalah yang mestinya dituding sebagai biang kerusakan negara. Khilafah hanyalah dijadikan kambing hitam untuk menutupi kesalahan mereka dalam menggemban amanah rakyat.
Karena itu benar sekali apa yang dikatakan oleh Peneliti Ekonomi Politik Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, kepada Mediaumat.com, Ahad (14/5/2017) bahwa rencana pembubaran HTI adalah serangan terhadap para pejuang kemerdekaan, pejuang kedaulatan, yang disponsori oleh asing dan taipan. Hal itu terjadi, menurut dia, lantaran selama ini HTI selalu menolak neo-liberalisme dan neo-imperialisme, penguasaan kekayaan alam oleh asing dan taipan; menolak demokrasi liberal; melawan pengkhianatan Pemerintah dan elit politik yang semakin jauh dari amanat para pendiri bangsa.
Apa arti penting eksistensi HT untuk negeri ini dan bangsa ini?
Kita merasa HTI sangat penting bagi bangsa dan negara ini. HTI berjuang untuk membawa negara ini ke kemerdekaan hakiki melalui penerapan syariah secara kâffah, menentang neo-liberalisme dan neo-imperialisme. Melalui kegiatan amar makruf nahi mungkar, HTI yakin negeri ini akan bergerak menuju baldah thayyibah wa rabb[un] ghafûr.
Kita harus tahu, pihak asing dan aseng paham betul bahwa jika kaum Muslim bersatu, lalu dengan itu mampu membangkitkan kembali Khilafah Islam, hal itu merupakan mimpi buruk bagi mereka. Kepentingan dan bisnis mereka di negeri-negeri Islam yang bercokol puluhan tahun akan sirna. Karena itu mereka berupaya sekuat tenaga untuk menghentikan kelompok Islam yang mengusung politik dalam gerakannya. Kebangkitan Islam politik selalu mereka halang-halangi. Mereka selalu memberikan cap negatif bagi kelompok Islam politik. Mereka menyebut kelompok radikal, teroris, fundamentalis agar umat Islam takut menampakkan jatidirinya sebagai seorang Muslim yang taat.
Hal ini persis seperti yang dikatakan oleh Lord Curzon, sekretaris luar negeri Inggris tahun 1919-1924, “Kita harus menghentikan apapun yang bisa membawa persatuan Islam dalam bentuk apapun di antara anak-anak kaum Muslim. Karena kita sudah berhasil mengakhiri Kekhalifahan, kita harus memastikan bahwa tidak pernah terjadi lagi persatuan bagi kaum Muslim, apakah itu persatuan intelektual ataupun budaya.”
Oleh karena itu, sungguh aneh kalau rezim ini justru malah mau membubarkan HTI yang tengah berjuang membela negeri ini, sedangkan yang mengancam negara ini malah dibiarkan.
Seperti apa kontribusi HT untuk bangsa dan negeri ini?
HTI telah memberikan kontribusi penting bagi pembangunan SDM negeri ini yang bertakwa dan berkarakter mulia. Ini sangat diperlukan di tengah berbagai krisis yang tengah dialami oleh negara ini seperti korupsi yang berpangkal pada lemahnya integritas SDM yang ada.
HTI juga terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai kebijakan dan peraturan perundangan liberal yang bakal merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal, juga UU Sisdiknas dan lainnya. Beberapa kebijakan Pemerintah yang menjadi sorotan HTI adalah penggelolaan sumberdaya alam yang dikuasai asing, menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Dasar Listrik (TDL), serta mahalnya biaya hidup yang menyebabkan masyarakat semakin terpuruk kesejahterannya.
HTI dalam berbagai dakwahnya, baik lewat media cetak, video, seminar maupun audiensi dengan pengambil kebijakan selalu menawarkan konsep pengaturan kehidupan umat dalam cara pandang Islam. HTI tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan solusi. Sumberdaya alam yang jumlahnya melimpah dalam pandangan Islam adalah milik rakyat yang harus dikelola negara, bukan diserahkan kepada swasta apalagi asing. Jika swasta atau asing diminta menggelola sumberdaya alam, orientasi mereka hanya untung dan untung.
Berbagai persoalan kekinian dikupas dengan rapi dan dengan argumentasi yang kuat baik secara fakta maupun hukum syariah (ketentuan al-Quran), dalam media-media HTI. Inilah yang menjadi daya tarik sehingga kaum Muslimpun mengetahui bahwa agama Islam itu mengatur segala persoalan, termasuk menggelola negara. Melalui media-media terbitannya HTI memiliki kontribusi dalam mencerdaskan masyarakat sehingga mereka memiliki kesadaran politik yang benar.
HTI juga melakukan sejumlah kegiatan sosial seperti sosialisasi anti narkoba. HTI pun terlibat dalam usaha membantu para korban bencana alam di berbagai tempat, seperti tsunami Aceh (2004), gempa Jogjakarta (2006) dan lainnya. []