بسم الله الرحمن الرحيم
Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim ‘Atha` bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Laman Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
Hukum Bapak Menikahkan Putrinya Meski Putrinya Tidak Suka/Tidak Rela
Kepada Nazik al-Malaikah
Soal:
Assalâmu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Saya punya pertanyaan dan saya berharap ada jawaban pertanyaan saya dengan cepat.
Apakah boleh dilangsungkan pernikahan sementara si gadis tidak rela dengan pernikahan itu?
Dan apa jalan menyelesaikan masalah tersebut dalam kondisi akad pernikahan itu telah dituliskan (didokumentasikan secara tertulis) tetapi belum terjadi persenggamaan hingga sekarang. Saya bukannya dipaksa untuk tanda tangan, tetapi saya diberitahu bahwa laki-laki yang mengkhitbah atau pengantin laki-laki ada di depan pintu dan saya menyetujuinya. Tetapi saya merasa bahwa saya berada di bawah tekanan dan paksaan untuk qabul saya di dalam hal itu tanpa seorang pun berbicara kepada saya …
Jawab:
Wa’alaikumussaam wa rahmatullah wa barakatuhu.
Berkaitan dengan kasus ini, kami telah menyebutkan di an-Nizhâm al-Ijtimâ’iy bab az-Ziwâj, sebuah hadits Rasul saw seputar topik ini:
(Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata:
«جاءتْ فتاةٌ إلى رسولِ اللهِ ص فقالتْ: إن أبي زَوَّجَني ابنَ أَخيهِ لِيَرْفَعَ بي خَسيسَتَهُ. قال فَجَعَلَ الأمرَ إليها فقالتْ قد أَجَزْتُ ما صَنَعَ أبي، ولكنْ أردْتُ أن أُعْلِمَ النساءَ أنْ ليسَ إلى الآباءِ مِنَ الأمْرِ شيءٌ» أخرجه ابن ماجه
“Seorang gadis datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: “bapak saya mengawinkan saya dengan putera saudara laki-lakinya untuk menaikkan derajatnya”. Buraidah berkata: “lalu Rasulullah saw menjadikan perkara itu kembali kepada gadits itu. Gadits itu berkata: “saya telah memperbolehkan apa yang diperbuat bapak saya, tetapi saya ingin memberitahu para wanita bahwa bapak tidak memiliki wewenang sedikitpun atas perkara itu” (HR Ibnu Majah).
Selesai.
Dinyatakan di Mishbâh az-Zujâjah fî Zawâid Ibni Mâjah karya Abu al-‘Abbas Syihabuddin al-Bushiri al-Kinani asy-Syafi’iy (w. 840 H):
(Dari Abdullah bin Buraidah dari bapaknya, ia berkata: seorang gadis datang kepada Nabi saw lalu dia berkata: “bapak saya mengawinkan saya dengan putera saudaranya untuk mengangkat derajatnya melalui saya”. Buraidah berkata:
«فَجعل الْأَمر إِلَيْهَا فَقَالَت قد أجزت مَا صنع أبي وَلَكِن أردْت أَن تعلم النِّسَاء أَنه لَيْسَ للآباء من الْأَمر شَيْء»
“Maka Nabi saw menjadikan perkaranya kembali kepada gadits itu. Gadis itu berkata: “saya telah memperbolehkan apa yang diperbuat oleh bapak saya, tetapi saya ingin agar para wanita tahu bahwa para bapak tidak memiliki wewenang sedikitpun dari perkara tersebut”.
Al-Bushiri berkata: ini merupakan sanad shahih, para perawinya tsiqah …..).
Berdasarkan hal itu maka bapaknya si gadis wajib mengambil persetujuan gadis itu, dan agar meyakinkan/menegaskan persetujuan dari yang diminta izinnya itu, di mana ijab dan qabul itu berlangsung dengan keridhaan dan pilihan sendiri.
Kami telah menjelaskan hal itu secara gamblang di an-Nizham al-Ijtimâ’iy bab az-Ziwâj yang telah disebutkan di atas, di situ dinyatakan:
(Jika seorang wanita dikhitbah, maka hanya dia lah yang memiliki hak dalam menerima perkawinan itu atau menolaknya. Tidak seorang pun di antara para walinya dan tidak pula yang lain, berhak mengawinkan wanita itu tanpa izin darinya, begitu juga tidak berwenang memaksa wanita itu dengan perkawinan itu. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«الثَّيِّبُ أحقُّ بِنَفْسِها مِنْ وَلِيِّها، والبِكْرُ تُسْتأْذنُ في نَفْسِها وإِذنُها صُماتُها» أخرجه مسلم
“Seorang janda lebih berhak dengan dirinya dari walinya, dan seorang gadis diminta izin dalam hal dirinya dan izinnya adalah diamnya dia” (HR Muslim).
Yakni diamnya dia. Dan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:
«لا تُنْكَحُ الأَيِّمُ حتى تُسْتَأْمَرَ، ولا البِكْرُ حتى تُسْتَأْذَنَ. قالوا: يا رسولَ اللهِ، وكيفَ إذْنُها؟ قال: أن تَسْكُتَ» متفق عليه
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan sampai diminta perintahnya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan sampai diminta izinnya”. Mereka berkata; “ya Rasulullah, dan bagaimana izinnya?” Beliau bersabda; “dia diam saja”. (Muttafaq ‘alayh).
Dan dari Ibnu ‘Abbas ra:
«أن جاريةً بكْراً أَتَتْ رسولَ اللهِ e فَذَكَرَتْ أَن أَباها زَوَّجَها وهِيَ كارِهَةٌ، فَخَيَّرها النبيُّ صلى الله عليه وسلم» أخرجه أبو داود
“Seorang gadis datang kepada Rasulullah saw lalu dia menyebutkan bahwa bapaknya mengawinkannya sementara dia tidak suka, lalu Nabi saw memberinya pilihan” (HR Abu Dawud).
Dan dari Khansa` binti Khidam al-Anshariyah:
«أن أباها زَوَّجها وهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذلك فأَتَتْ رسولَ اللهِ صلى اله عليه وسلم فَرَدَّ نِكاحَها» أخرجه البخاري
“Bapaknya mengawinkannya sementara dia seorang janda dan dia tidak suka hal itu lalu dia datang kepada Rasulullah saw maka Beliau membatalkan pernikahannya” (HR al-Bukhari).
Hadits-hadits ini gamblang bahwa seorang wanita jika tidak mengizinkan pernikahan dia maka perkawinan itu tidak terjadi. Dan jika dia menolak perkawinan ini atau dia dinikahkan sementara dia tidak suka maka akadnya difasakh kecuali jika dia kembali dan rela).
Anda lihat teks yang jelas dalam masalah ini dengan apa yang kami sebutkan di atas. Saya ulangi, (hadits-hadits ini gamblang bahwa seorang wanita jika tidak mengizinkan pernikahan dia maka perkawinan itu tidak terjadi. Dan jika dia menolak perkawinan ini atau dia dinikahkan sementara dia tidak suka maka akadnya difasakh kecuali jika dia kembali dan rela).
Saya berharap di dalam ini ada kecukupan, wallâh a’lam wa ahkam.
Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
14 Jumada al-Akhirah 1441 H
08 Februari 2020 M
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer/jurisprudence-questions/65753.html