Keputusan Mahkamah Konstitusi soal anggaran pendidikan 20 persen dari APBN sebenarnya bukan hal yang luar biasa. Negara lain banyak yang mengalokasikan anggarannya untuk pendidikan lebih besar daripada itu. Meski demikian, keputusan tersebut seolah-olah luar biasa dan kemudian dijadikan retorika politik untuk meraih citra dan simpati politik.
Padahal, jika dicermati, dalam anggaran pendidikan 20 persen tersebut, tidak seluruhnya untuk pendidikan. Entah salah persepsi pemerintah atau sengaja untuk menyiasati Undang-Undang Dasar 1945, dalam anggaran 20 persen tersebut sudah termasuk di dalamnya gaji pendidik.
Bukannya tidak mendukung upaya meningkatkan kesejahteraan pendidik, tetapi dimasukkannya komponen gaji, anggaran yang betul-betul untuk pendidikan akan terkurangi. Bahkan, bukan mustahil sebagian besar anggaran pendidikan yang jumlahnya sekitar Rp 207,1 triliun dalam RAPBN 2009 akan terpakai untuk gaji, biaya operasional, dan kegiatan administratif. Apalagi, jumlah pendidik, termasuk di dalamnya dosen dan tutor, tidaklah sedikit.
Di sisi lain, persoalan pendidikan yang harus dibenahi sangat banyak dan beragam serta membutuhkan dana yang sangat besar. Siswa yang putus sekolah untuk tingkat sekolah dasar, misalnya, masih sekitar 841.000 siswa dari sekitar 28,1 juta siswa SD/madrasah ibtidaiyah (MI). Sebagian besar karena faktor ekonomi keluarga.
Begitu pun untuk siswa SMP dan madrasah tsanawiyah (MTs) yang putus sekolah masih sekitar 211.643 siswa setiap tahun. Selain itu, tiap tahun sekitar 452.000 tamatan SD/MI tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Dari sisi sarana pendidikan, hingga saat ini masih ada sekitar 200.000 ruang kelas SD yang rusak dan 12.000 ruang kelas SMP yang rusak. Di tingkat SMP, sebanyak 34,3 persen sekolah belum mempunyai perpustakaan dan 38,2 persen tidak memiliki laboratorium.
Secara umum, jumlah buta aksara juga masih tinggi, yakni 10,1 juta orang, menurut klaim Depdiknas, dan sekitar 70 persen di antaranya perempuan. Jumlah buta aksara ini lebih dua kali lipat dari jumlah penduduk Singapura. Padahal, penuntasan buta aksara yang diklaim Depdiknas hanya sekitar 2,4 juta orang per tahun.
Beasiswa dan BOS
Memang untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah mengucurkan dana yang lumayan besar. Untuk mengatasi siswa putus sekolah, misalnya, disediakan beasiswa bagi 690.000 siswa SD/MI yang besarnya Rp 360.000 setiap tahun.
Pemerintah juga mengucurkan biaya operasional sekolah yang jumlahnya dinaikkan. Jika tahun 2008 jumlah BOS untuk siswa SD/MI Rp 254.000 per siswa, tahun 2009 naik menjadi Rp 397.000 per siswa untuk siswa yang bersekolah di kabupaten serta Rp 400.000 untuk siswa yang bersekolah di kota. Adapun BOS SMP naik dari Rp 354.000 per siswa tiap tahun menjadi Rp 570.000 per siswa untuk yang sekolah di kabupaten serta Rp 575.000 per siswa untuk yang bersekolah di kota.
Meski demikian, jumlah ini tetap saja tidak mencukupi karena besarnya unit biaya pendidikan. Untuk tingkat SD, misalnya, unit cost atau besaran biaya rata-rata untuk siswa SD sekitar Rp 750.000 per siswa setiap tahun, sedangkan untuk siswa SMP sekitar Rp 1,5 juta per siswa setiap tahun.
Itu berarti memang masih sangat besar biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk penyelenggaraan pendidikan dasar. Beban biaya lebih besar harus ditanggung masyarakat untuk mengenyam pendidikan menengah dan tinggi. Karena itu, tidak salah jika ada yang menyebut, pendidikan murah bagi masyarakat masih merupakan impian.
Hasil penelitian
Di bidang penelitian, banyak temuan atau inovasi yang dilakukan peneliti-peneliti Indonesia. Meski demikian, hasil-hasil penelitian tersebut kurang dipublikasikan sehingga tidak diketahui masyarakat, termasuk kalangan industri. Padahal, penelitian tersebut sebagian bisa diterapkan untuk memecahkan persoalan masyarakat. Hasil penelitian tersebut juga banyak yang bernilai komersial.
Di sisi lain, anggaran serta penghargaan untuk peneliti masih sangat minim. Itulah sebabnya Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman mengusulkan agar 8.000 peneliti yang tersebar di berbagai lembaga masing-masing mendapat biaya penelitian Rp 100 juta setahun. Anggaran yang dibutuhkan seluruhnya hanya sekitar Rp 800 miliar. Tak terlalu mahal jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang diperoleh.
Sementara itu, di bidang lingkungan, sepanjang tahun 2008, nyaris tidak ada perubahan signifikan. Pembalakan liar terus berlangsung dan penegakan hukum di bidang lingkungan masih sangat lemah. Izin eksplorasi hutan juga terus dikeluarkan.
Di sisi lain, rehabilitasi lahan yang dicanangkan pemerintah lebih banyak bersifat seremonial dan mencari citra politik yang positif.
Luas lahan kritis di sepanjang daerah aliran sungai, misalnya, tercatat sekitar 77 juta hektar yang tersebar di berbagai wilayah Tanah Air. Jika sudah demikian, tinggal menunggu waktu saja beragam bencana akan datang. Masyarakat juga yang akan menjadi korban dan alam yang kemudian disalahkan.
Sumber: Laporan Akhir Tahun Humaniora, Kompas.Com, 02/12/08
Pendidikan bermutu tinggi dengan biaya murah atau bahkan gratis itu bisa diwujudkan dengan beberapa syarat. Syaratnya tiga saja –menurut pribadi–: sistem pendidikannya (seperti kurikulumnya, tempat belajarnya, alat bantu pengajaran dan lain-lain) efisien; penyelenggara pendidikannya kafâ’ah (capable) dan amanah (tidak korupsi); dan—ini yang penting: ada dana publik yang dikelola negara yang memang didedikasikan untuk itu. Semua ini saling terkait.
Sistem yang tidak efisien menyebabkan biaya tinggi. Ini juga terkait dengan opini publik yang dominan saat ini. Pendidikan identik dengan pendidikan ala Barat. Walhasil, banyak lulusan SMA atau bahkan sarjana tapi belum bisa apa-apa. Sebenarnya kita malu, di masyarakat banyak kita jumpai orang-orang yang “street-smart”, orang-orang hebat yang maestro di suatu keahlian, tanpa lewat bangku sekolah formal. Ada montir cakap yang ternyata tidak lulus SD, ada pebisnis sukses yang hanya lulusan SMP, dan ada ustadz faqih yang fasih berbahasa Arab tetapi bukan alumni perguruan tinggi formal. Ini kan tidak diperhitungkan di budaya kita sekarang. Di sisi lain, sistem yang ada (seperti kecilnya penghasilan guru dibandingkan dengan profesi lainnya) membuat anak-anak umat yang cerdas enggan terjun ke dunia pendidikan.
not a campaign: di padang, katanya, walikota terpilih yang baru akan menggratiskan pendidikan ampe sma…we’ll see…
DI KAMPANYE PILPRES LEBIH HEBAT LAGI….MAU NURUNIN HARGA SEMBAKO…..SAMPE…..GRATISAN….TAPI JUAL ASET NEGARA DULU…KALAU PERLU JUAL PULAU-PULAU YANG ADA DI NUSANTARA……